Tingginya tingkat kesulitan yang tidak sepadan dengan harga jual membuat sebagian motif tenun menghilang dari sentra tenun Sa’dan To’barana, Toraja Utara, Sulawesi Selatan. Tetty Rantelabi (46) atau Mama Sabbi menjadi satu dari segelintir orang yang masih menguasai motif langka, seperti matapa’.
Motif matapa’ ini mirip dengan anyaman tikar dengan dua warna bergantian. Dari sejak pertama kali memasukkan benang pakan (benang horizontal), penenun harus fokus menghitung setiap benang. Untuk selembar tenun matapa’ lebar 55 cm panjang 3,5 meter dibutuhkan waktu dua pekan dengan harga hanya Rp 250.000. ”Enggak ada lagi yang bikin,” kata Mama Sabbi.
Di Sa’dan, motif lain yang tergolong sulit seperti paruki’ masih dihidupi oleh perajin karena harga jualnya yang tinggi. Motif paruki’ dibuat dengan menenun di atas tenunan sehingga memunculkan corak seperti anyaman. Aksen yang ditonjolkan biasanya berupa ukiran manik-manik seperti yang biasa dipakai sebagai perhiasan perempuan Toraja.
Penenun di Sa’dan Matallo, Meri Pagappong (42), membutuhkan waktu dua pekan untuk memproduksi selembar tenun dengan lebar 65 cm dan panjang 4 meter. Usaha yang dikerahkannya cukup sepadan karena tenun paruki bisa dijual hingga Rp 1,5 juta. Hanya sepertiga dari harga jual yang digunakan untuk membeli bahan baku benang. Saking tingginya minat, konsumen harus antre berbulan-bulan sebelum pesanan tenun paruki’ tiba di tangan.
Modifikasi kreatif
Demi memenuhi selera pasar pula, penenun harus ekstra kreatif. Belakangan, petenun Mamasa justru mengembangkan teknik baru yang disebut dengan kariri. Kariri adalah teknik penggunaan tiga benang dalam satu lubang yang menghasilkan motif baru yang jauh lebih kaya. Usia teknik ini belum terlalu lama, setidaknya baru diaplikasikan dalam satu tahun terakhir, tetapi sangat digemari.
Dengan berkreasi, menurut penenun dari Mamasa, Mama Eben (30), pemasaran tenun bagi warga lokal menjadi semakin mudah. Saking banyaknya permintaan, tenun buatan Mama Eben selalu ludes terjual dan ia pun kini hanya membuat tenun berdasarkan pesanan. Salah satu kreasi tenun buatannya bermotif zig zag.
Pemilik butik Toraja Melo, Dinny Jusuf, yang banyak memasarkan tenun asli Toraja di Jakarta juga mencoba mendongkrak kreativitas penenun agar bisa menyesuaikan diri dengan selera pasar urban Jakarta. Toraja Melo sempat melatih 250 perajin di Sa’dan untuk membagi tentang warna tenun yang disukai pasar.
Dari awalnya hanya mengenal warna merah, hitam, putih, dan kuning, perajin berkenalan dengan warna-warna cantik, seperti merah hati atau coklat. ”Kita mendesain apa yang disukai pasar. Dulu, pewarna alam mereka hanya dari batuan, tanah liat, dan jelaga yang warnanya itu-itu saja. Saya bermimpi membawa tenun Toraja untuk something wearable,” tambah Dinny.
Bupati Mamasa Ramlan Badawi juga membuka pintu bagi kreativitas warga. Ia berharap tenun Mamasa bisa dibuat menjadi lebih tipis sehingga cocok dipakai di dataran rendah yang panas. Demi perkembangan tenun pula, Pemerintah Kabupaten Mamasa membuat koperasi, menggelontorkan dana sekitar Rp 500 juta per tahun bagi penenun, dan mewajibkan pegawai negeri sipil memakai tenun asli Mamasa pada setiap hari Sabtu.
Menurut Ramlan, saat ini masih terdapat lebih dari 1.000 penenun yang tersebar di 17 kecamatan di Mamasa. Sebanyak 40 persen dari warga di total 178 desa juga masih punya keahlian menenun. Kendala utama pemasaran tenun-tenun cantik Mamasa ini terletak pada buruknya infrastruktur jalan. Regenerasi penenun juga tidak berjalan lancar. Anak muda lebih suka merantau dibandingkan menenun di desa-desa terpencil.
Jika pasar lokal lebih menyukai tenun modifikasi, kolektor kain dari Amerika, Jepang, dan Australia justru memburu tenun-tenun tua Toraja yang kini tak lagi diproduksi. Tak jarang, pemandu wisata di obyek-obyek wisata Toraja terang-terangan menawarkan tenun tua kepada wisatawan. ”Koleksi tenun terbaik kita justru lari ke kolektor di Tokyo, Canbbera, dan New York. Banyak yang bisa menenun, tetapi tidak semua bisa menenun dengan teknik yang baik,” ungkap Dinny. (SF)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.