Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenang Mbah Maridjan di Kinah Bali Rejo

Kompas.com - 29/05/2014, 12:50 WIB
Kontributor Travel, Sri Noviyanti

Penulis

YOGYAKARTA, KOMPAS.com — Kinah Bali Rejo pelan-pelan bercakap diri. Dusun yang porak-poranda akibat erupsi empat tahun silam itu belum hijau kembali. Tanahnya masih dipenuhi pasir tapi pelan-pelan pemandangannya sudah bisa dinikmati kembali.

Untuk sebagian orang, dusun ini penuh kenangan. Masih ingat dengan Mas Penewu Surakso Hargo atau yang lebih dikenal dengan sebutan Mbah Maridjan? Ia menjadi salah satu korban dari ganasnya erupsi Merapi.

Mbah Maridjan dikenal sebagai juru kunci merapi yang fenomenal. Abdi dalem yang menyerahkan sisa hidupnya untuk Merapi.

Empat tahun berlalu, lokasi rumah Maridjan selalu ramai wisatawan. Tempat itu berada tepat di lereng Merapi. Lokasi ini memang menjadi favorit wisatawan.

Mereka biasanya rela parkir di lahan yang berjarak lebih dari 1 kilometer dari bekas rumah Maridjan ini. Rangkah, sebuah kawasan di dekat sana. Di situ lahan parkir terakhir bagi wisatawan yang ingin menelusuri lokasi wisata Merapi.

KOMPAS.com/SRI NOVIYANTI Gunung Merapi dilihat dari Rangkah

Dari Rangkah, wisatawan bisa menyewa ojek seharga Rp 20.000, motor trail seharga Rp 50.000 per jam hingga mobil jip yang berkisar Rp 250.000 untuk melakukan wisata Lava Tour. Tarifnya bervariasi, pintar-pintar saja menawar.

Lokasi rumah Maridjan menjadi pemberhentian pertama, bagi saya tempat ini yang paling menarik karena memiliki banyak kenangan. Hari itu, saya datang ketika Kinah Bali Rejo sudah mulai gelap.

Adzan maghrib datang dari masjid yang tak begitu jauh. Sebenarnya pada jam-jam ini, lokasi tersebut sudah ditutup tapi saya masih melihat beberapa wisatawan yang tak rela selesai menikmati alamnya.

Saya berhenti di pos pertama, ada keterangan di papan yang bertuliskan "Tempat Pemberhentian Pertama". Sengaja, papan-papan ini menunjukkan tempat-tempat yang akan disinggahi untuk perjalanan Lava Tour. Karena hari sudah mulai gelap, saya hanya sempat berhenti di tempat pertama, lokasi bekas rumah Maridjan.

Rumah Maridjan memang sudah rata dengan tanah, lahan tersebut disulap menjadi museum kecil yang menampung bangkai-bangkai bersejarah hasil erupsi empat tahun silam. Lahannya diberi pagar yang terbuat dari bambu. Sementara itu di bagian depan berdiri sebuah pendapa yang dapat dijadikan tempat istirahat bagi para pengunjung.

Asihono atau yang akrab disapa Asih, putra ketiga Maridjan yang saat ini menjadi juru kunci pengganti, malam itu belum pulang. Ia terlihat masih mengobrol dengan beberapa pemuda setempat.

"Dari mana? Jakarta ya?" ia menyapa saya sambil berdiri dari duduknya lalu menyuruh seorang pemuda untuk menyalakan lampu di pendapa.

Penerangan dari pendapa cukup membuat bangkai-bangkai sisa erupsi tadi makin jelas terlihat. Dengan ramah, Asih mempersilakan saya melihat-lihat. Sambil menemani langkah saya, ia mulai berkisah.

"Sepanjang kawasan ini, dulunya milik si Mbah," ungkapnya.

Si Mbah adalah panggilan untuk Maridjan di dusun itu. Kami memulai dari bagian yang menurut Asih adalah lokasi ditemukannya jasad Maridjan.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com