Kota Tua
Bermula dari Kota Tua di Padang, yang sekarang menjadi Ibu Kota Propinsi Sumatera Barat. Di awal abad 18, Kota Tua adalah kota yang sangat hidup. Menjadi nadi bagi jantung kehidupan masyarakat di wilayah tersebut. Kota ini adalah pusat perdagangan, pusat pemerintahan, pusat hiburan, dan yang terpenting pusat perputaran uang.
Yang menjadi bukti kejayaan Kota Tua di masa lampau adalah bangunan-bangunan kokoh yang berdiri di wilayah Kota Tua. Misalnya Gedung Nederlandche Handel Maatschappj atau NHM yang merupakan perusahaan Belanda yang menggantikan VOC atau Verenigde Oost Indische Compagnie yaitu persekutuan dagang asal Belanda yang memiliki monopoli atas aktivitas perdagangan di Asia.
Ada pula Escomto, yang sekarang menjadi gedung sebuah bank plat merah. Kemudian Gedung Padangsche Spaarbank yang dibangun tahun 1908, juga sempat beralih fungsi sebagai Hotel Batang Arau. Kini bangunan tersebut menjadi bangunan kosong terbengkalai. Sebagian lagi, digunakan sebagai gudang-gudang penyimpanan barang yang akan diangkut ke melalui Pelabuhan rakyat Sungai Batang Arau.
“Semula Belanda tidak berani masuk ke daratan, dia hanya membuat pertahanan yang dibuat sebagai pulau di dekat Painan. Namun karena ada perjanjian Painan dengan raja-raja yang ada di Sumatera Barat mereka diizinkan untuk membuka kantor dagang itu tahun 1776,” terang Eko.
Dan, ketika mereka sudah diizinkan berdagang di Kota Padang dengan membuat sebuah fort atau benteng, di Kota Tua lah orang mulai mengatakan kuku penjajah itu mulai ada di Kota Padang.
Dosen yang meraih gelar doktoralnya dengan desertasi kawasan Kota Tua Padang ini menguraikan ada tiga pengaruh budaya di Kota Tua. Pertama, kelompok Pecinan. Bangunan mereka mendominasi wilayah pinggiran sungai. Kelompok kedua adalah kaum pribumi yang disebut Pasa Gadang. Ketiga, kolonial Belanda dengan atap tinggi berfondasi kokoh serta dinding yang tegap.
“Tiga kelompok inilah yang memainkan peran sehingga Padang ini berkembang, sehingga pada akhir abad ke-19, Padang merupakan suatu metropolitan yang ada di pesisir Sumatera Barat,” jelas Eko.
Teluk Bayur
Kota Tua berada tepat di pinggir Sungai Batang Arau. Sungai tersebut menjadi sarana transportasi air kapal-kapal dagang antar pulau. Namun, bagi Belanda, itu tidaklah cukup. Diperlukan pelabuhan dengan kapasitas lebih besar dengan akses langsung ke lautan lepas. Karenanya sejak tahun 1888, Pemerintah Belanda membangun Pelabuhan Teluk Bayur. Di awal pembangunan, pemerintah Belanda menamakan Teluk Bayur dengan Emma Waven. Nama seorang Ratu Belanda pada masa itu.
Teluk Bayur sekarang adalah pelabuhan terbesar di Pulau Sumatera, bahkan bisa disebut sebagai The Giant Port. Teluk Bayur terus berbenah, membangun banyak infrastruktur inflastruktur baru untuk menunjangnya sebagai pelabuhan berstandar internasional pada tahun 2015.
Sungai Pinang