Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Little Netherland" yang Merana

Kompas.com - 09/06/2014, 08:41 WIB
PADA pertengahan abad ke-18, nama Semarang tersohor sebagai kota modern yang menguasai perdagangan dunia, yang dikendalikan dari sebuah kawasan kecil di pesisir pantai utara Jawa. Kawasan itu dijuluki ”Little Netherland” atau Belanda Kecil.

Namun, semenjak penjajah angkat kaki dari negeri ini, kemegahan kota yang dibangun dari hasil bumi, seperti gula, kapuk, karet, kopra, dan rempah-rempah, melalui kerja paksa kaum pribumi, itu pudar dan nyaris hilang dari ingatan orang.

Kawasan yang disebut Venesia dari Timur itu—karena mempunyai kanal dan kali yang menjadi sarana transportasi dari laut menuju perkotaan—kini berubah. John Joseph Stockdale dalam buku Island of Java menulis bahwa pada zaman kolonial di sekitar Jembatan Mberok, yang berdiri di atas Kali Semarang, dipenuhi kapal pedagang dari Eropa, Tiongkok, India, dan pulau lain di Nusantara. Kini, kali tersebut dipenuhi sedimen. Airnya berwarna kehitaman dan menebarkan bau tidak sedap. Wajah sungai pun tertutup bangunan liar.

Banjir rob (limpasan air pasang laut) dan waktu terus memakan semua bangunan peninggalan penjajah itu. Ditambah ambisi sejumlah investor merombak wajah kota dengan bangunan modern, menjadikan Kota Lama Semarang bagai berada di tengah persimpangan jalan. Tak jelas ke mana arahnya.

Sejauh ini, upaya Pemerintah Kota Semarang dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah untuk merevitalisasi kawasan ini nyaris tak kelihatan. Kecuali membangun paving block di jalan dan kawasan kota tua serta membentuk Badan Pengelola Kawasan Kota Lama (BPK2L), belum ada program konkret terkait penyelamatan kota lama.

Kendati memiliki daya tarik wisata yang kuat sebagai kota tua yang dipenuhi bangunan dengan arsitektur Eropa yang menawan, upaya Pemkot Semarang untuk mendorong kawasan ini sebagai destinasi pariwisata masih terlihat setengah hati. Semua berujung pada alasan klasik, tak punya anggaran.

Masa lalu

Heeren Straat atau Jalan Toean-Toean Besar (kini Jalan Letjen Suprapto) masih ada. Di situ berjejer gedung bertingkat yang berfungsi sebagai perkantoran, pertokoan, tempat ibadah, dan rumah tinggal orang kaya. Begitu juga Hogendorp Straat (kini Jalan Kepodang) yang dipenuhi gedung bertingkat untuk kantor perbankan dan perusahaan besar, seperti perusahaan milik raja gula Oei Tiong Ham, juga masih berdiri.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA Warga keturunan Tionghoa mengikuti tradisi peringatan kedatangan Kongco Sam Poo Tay Djien atau dikenal sebagai Cheng Ho di kawasan Pecinan, Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (6/8/2013). Diperkirakan pada abad XV, Laksamana Cheng Ho dengan armada baharinya mengarungi samudra untuk mengunjungi Asia dan Afrika.
Beberapa bangunan dengan balkon, yang beberapa bagiannya sudah lapuk, seakan menjadi saksi romantisisme noni Belanda yang duduk santai di atas balkon menanti tenggelamnya sang mentari.

Bahkan, Remy Sylado dalam novelnya, Namaku Mata Hari, menggambarkan Mata Hari, seorang penari keturunan Jawa-Belanda yang menjadi mata-mata Perancis sekaligus Jerman, pernah berjalan-jalan di kawasan Kota Lama Semarang. Dengan menggunakan cikar (pedati), dia berkeliling kota melalui Jembatan Mberok (dari bahasa Belanda burg yang berarti ’jembatan’) hingga Gereja Blenduk (Koepelkerk) di tengah Heeren Straat.

Konon, Mata Hari juga pernah menari di salah satu gedung pertunjukan (tonil) Schouwburg yang jalannya diberi nama Komediestraat (karena sering untuk pertunjukan komedi). Namun, lokasi itu kini dikelilingi semak belukar. Persis pada pertengahan abad ke-18 itulah Perang Diponegoro (1825-1830) berkecamuk dan menggerogoti perekonomian pemerintah kolonial Belanda di Nusantara. Dari Pelabuhan Semarang jugalah Diponegoro dikirim ke Batavia sebagai tahanan.

Anggota BP2KL Semarang, Albertus Kriswandhono, mengatakan, dari sekitar 250 bangunan di kota lama, sebanyak 105 bangunan masuk dalam daftar cagar budaya yang harus dilestarikan. ”Memprihatinkan, di antara bangunan tua itu banyak yang tinggal legenda,” ucapnya.

Setidaknya ada 14 bangunan yang tinggal cerita, seperti ambruknya menara di bangunan eks Cultuur Maatschappij der Vorstenlanden (perusahaan bidang perkebunan dan pertanian di zaman Belanda). Kantor De Locomotief, koran terkemuka di zaman dulu, juga jadi hutan.

Kecuali di jantung kota, hampir setiap sudut di kawasan seluas sekitar 31 hektar (9 hektar kawasan konservasi) itu menyuguhkan kegersangan. Mayoritas bangunan di kota tua tak berpenghuni. Bangunan tinggal puing-puing yang dipenuhi semak.

Komitmen pemkot

Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi menegaskan, komitmen pemkot untuk menyelamatkan kota tua sudah jelas, yaitu melalui Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2003 tentang Rencana dan Tata Bangunan Kota Lama, yang ditindaklanjuti dengan pembentukan BP2KL yang mengelola Kota Lama. ”Dukungan semua pihak sangat diperlukan agar penyelamatan kawasan kota tua itu berjalan efektif,” ujar Hendrar.

KOMPAS IMAGES/FIKRIA HIDAYAT Lawang Sewu, Semarang, Jawa Tengah.
Namun, pemerhati Kota Semarang, Jongkie Tio, menilai, pemkot belum sepenuhnya mengelola kota tua. Pemkot hanya mengandalkan swasta. Sebaliknya, swasta menunggu apa langkah pemkot. ”Lihat saja, jalanannya gelap. Kalaupun kota tua itu berkembang, itu karena ada bangunan yang menjadi areal kantor. Namun, pukul 16.00 sudah tutup, sepi,” ungkapnya.

Sejauh ini, BP2KL menyusun rencana besar penataan dan pengembangan kota tua, seperti mengembalikan kawasan eks Koloniale Bank menjadi westerwal river front serta membangun wisata dan transportasi air (Berok-China Town). Bagi Pemkot Semarang, kota tua memiliki arti penting. Seperti yang ditulis di buku Senarai Bangunan dan Kawasan Pusaka Budaya Kota Semarang (2006), ibarat sebuah buku, Kota Lama Semarang mengandung informasi sejarah.

Karena itu, di balik kesuraman kota tua, jika pemerintah serius, Kota Lama Semarang bisa menjadi aset berharga. Eksotika bangunan tua, yang didukung kisah sejarah panjangnya, menjadikan tempat ini layak sebagai destinasi pariwisata kota tua seperti di luar negeri. (Sonya Hellen Sinombor dan Amanda Putri)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com