Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kejayaan Pringsewu

Kompas.com - 10/06/2014, 12:55 WIB
PRINGSEWU adalah sebuah kabupaten di Provinsi Lampung yang baru berumur lima tahun. ”Pringsewu” adalah kata dalam bahasa Jawa yang berarti ’bambu seribu’. Konon daerah itu bermula dari lahan bambu yang dibuka menjadi desa, kemudian, berkembang menjadi kecamatan, lantas menjadi kabupaten.

Kekhasan Pringsewu sebagai daerah penghasil bambu kian meredup. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Suyanto, warga Dusun Jogja, Kecamatan Gading Rejo, Kabupaten Pringsewu, Lampung. Bagi Suyanto, bambu tetap bersinar dan menguntungkan.

”Sebelum menjadi perajin bambu, saya lebih banyak menghabiskan waktu sebagai tukang kayu dengan membuat mebel atau ukiran. Namun, karena majunya teknologi dan mesin-mesin, sekarang ini mebel dan ukiran lebih cepat dibuat dan dijual dengan harga murah,” ungkap dia, beberapa waktu lalu.

Berawal dari kondisi itu, Suyanto akhirnya memutuskan mencari bambu sebagai bahan untuk menyalurkan bakat keterampilannya. Menurut dia, keterampilan berbahan dasar bambu lebih luas. Hampir semua bagian bambu bisa dimanfaatkan menjadi berbagai jenis hasil karya.

”Kulit bambu bisa dipakai untuk membuat bakul (wadah dari anyaman bambu). Ruas-ruas bambu bisa dijadikan asbak dan hiasan dinding, pangkal bambu (bonggol) bisa dibentuk menjadi patung hewan, bahkan kentongan,” tutur ayah dua anak ini.

Suyanto berpendapat, semakin tinggi kreativitas seseorang dalam menggarap bambu, semakin tinggi pula nilai ekonominya. Dalam berkreasi menggunakan bambu, modal utama Suyanto hanya dua, yakni bambu dan kreativitas.

Saat ini, usaha Suyanto lebih fokus pada pembuatan topi dan bakul. Sisa dari bahan-bahan itu baru diolah menjadi hasil karya lain yang tetap laku dijual.

Satu batang bambu biasanya dibeli dari pemilik pohon bambu seharga Rp 4.000-Rp 6.000. Kulit bambu diolah menjadi bakul, sedangkan batang bambu diolah menjadi topi. Satu batang bambu bisa menjadi 10-15 topi dan lima bakul berdiameter 20 sentimeter.

Tidak semua bambu bisa dijadikan bahan dasar untuk membuat topi dan bakul. Biasanya yang dipilih adalah bambu apus berumur 1-2 tahun dengan ciri kulit ari belum terkelupas.

”Umur bambu itu menentukan hasilnya. Kalau terlalu tua, bambu susah dibentuk, sedangkan kalau terlalu muda menjadi terlalu lentur dan mudah sobek karena kadar airnya terlalu tinggi,” ujar dia.

Lebih menarik

Mula-mula, bambu yang sudah dipilih dipotong-potong untuk memisahkan ruas-ruasnya. Bambu itu lantas dibelah menjadi lembaran selebar 1-2 sentimeter. Supaya tidak berjamur, lembaran-lembaran itu dijemur 2-3 jam untuk menghilangkan kadar air.

Agar lebih menarik, lembaran-lembaran itu diwarnai. Ada dua cara pewarnaan yang biasa dilakukan. Pertama, bambu direbus bersama pewarna, lalu didiamkan semalaman. Kedua, bambu dicelupkan ke dalam larutan pewarna selama 5-10 menit. Setelah diwarnai, lembaran bambu dijemur lagi.

”Dalam sehari, kami bisa merampungkan 5 hingga 10 topi. Semuanya kami lakukan secara manual tanpa mesin,” kata Suyanto.

Saat ini, Suyanto dibantu 20 pekerja paruh waktu yang kebanyakan petani. Para pekerja dibayar Rp 25.000-Rp 35.000 per hari sesuai dengan tingkat produktivitasnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com