Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Yang Muda yang Berkebun

Kompas.com - 16/06/2014, 20:15 WIB
KAUM muda menyuntikkan gairah baru pada lahan-lahan pertanian di Taiwan. Lewat inovasi, lahan perkebunan bertransformasi menjadi resor tanpa kehilangan fungsi produksinya.

Tak ada danau atau peri di resor pertanian bernama Fairy Lake ini. Meski begitu, ketika pagi atau senja datang, juga sesaat setelah hujan, resor di atas bukit ini seperti ”mengambang” di tengah lautan awan. Hutan lebat di sekitar bukit menyimpan kelembaban tinggi yang naik menjadi awan ketika ditingkahi matahari. Itulah mengapa resor ini dinamai Fairy Lake.

Bangun pagi, duduk di beranda kayu, menikmati pemandangan lepas dari puncak bukit ditemani kicauan burung adalah momen menyenangkan. Saat langit bersih dari awan, kebiruan Selat Taiwan membatasi hamparan hijau di kejauhan. Selat itulah yang memisahkan Taiwan dengan daratan Tiongkok.

Wangi aroma kopi menyeret langkah kaki ke kedai di pinggir tebing yang menyajikan kopi produksi kebun Fairy Lake sendiri. Kopi jenis arabika itu tumbuh subur di bawah pohon-pohon longan. Cita rasanya tidak terlalu asam, gurih, beraroma manis khas, seolah ada jejak rasa longan di dalamnya.

”Kopi ini termasuk tiga kopi terbaik di Taiwan,” kata Leo Fang, pemandu dari Taiwan Leisure Farms Development Association, asosiasi petani pemilik resor tersebut.

Di belakang meja kedai, Strong Wu (30) tangkas menjadi barista. Namun, ia tidak sekadar meracik kopi dan melayani penikmat kopinya. Strong juga pengelola kebun dan resor pertanian itu. Mendengar komentar tentang kopi hasil kebunnya, ia berkata merendah, ”Baru 30 tahun kami di sini menanam kopi. Di negeri Anda, Indonesia, kopi adalah tradisi ratusan tahun. Saya belum pernah ke Indonesia, tetapi saya suka sekali kopi Mandailing dari Indonesia.”

Strong adalah generasi keenam dari keluarga Wu yang turun-temurun memiliki dan menggarap kebun seluas 52 hektar itu. Sebagai anak tunggal, ia dikirim ke kota untuk merampungkan sekolah. Setamat sekolah, ia masuk militer sebelum akhirnya memutuskan kembali ke Fairy Lake lima tahun lalu.

Meskipun lahan pertanian— dan belakangan resor—itu sudah dimiliki keluarga Wu selama 200-an tahun, tak terasa jejak ”tua” di situ. Di beranda kayu yang menghadap bentangan lembah hijau, misalnya, internet nirkabel terkoneksi memuaskan. Suasana alam dan kesederhanaan ”rumah” petani—mayoritas bangunan kayu yang sederhana tetapi apik—berpadu dengan kegairahan anak muda.

Fairy Lake memiliki 15 pegawai berusia 20 hingga 30-an tahun. Mereka mendesain kaus unik untuk seragam yang dipadukan dengan celana jins atau celana pendek. Di luar urusan manajemen, Strong selalu menyempatkan untuk melayani tamu-tamunya dengan wajah cerah dan penuh canda, mulai dari mengangkat koper hingga membuatkan kopi. ”Begitulah cara kami di desa menerima tamu,” ujar Leo Fang.

Putih telur

Istri Strong, Haru (30), mencipta ulang semua menu restoran dan kedai di Fairy Lake. Sambil menyeruput kopi latte longan, kue kering buatan kru dapur yang dipimpin Haru memanjakan lidah. Kue berbahan putih telur ini punya sedikit rasa manis yang wangi dalam takaran pas dari sirup longan, kacang almond, dan potongan longan kering.

Sebelumnya, menu sushi memanjakan perut. Sushi ini dibubuhi telur ikan berwarna mencolok. Semua pewarna buatan Fairy Lake diolah dari sayur organik dan herbal, seperti wortel untuk warna oranye dan bit untuk warna merah. Buah-buahan pun lebih nikmat disiram dengan madu longan organik dan wijen. Teh khas kawasan ini juga tak biasa karena diracik dari daun murberi dan sedikit bubuhan gula coklat.

Daftar menu, papan penunjuk arah, ragam permainan, hingga kabin kayu sebagai kamar tidur semua didesain menarik, sederhana, tetapi bergaya muda. Kata Strong, ia memang ingin mengajak anak muda kembali ke daerah pinggiran seperti Fairy Lake. ”Sebab, banyak yang perlu kami kerjakan di sini,” ujarnya.

Selain 15 pegawai tetap, Strong juga mengelola resor dan kebunnya dengan cara yang sudah jadi tradisi di sana. ”Setiap kali tanam dan panen, petani dari desa-desa sekitar akan naik ke sini. Kami saling membantu.”

Di Fairy Lake, pohon longan, lici, kopi, jeruk, anggur, persik, dan sayur-mayur ditumbuhkan secara organik. Apple, salah seorang pegawai di Fairy Lake, menjelaskan, pengeringan buah secara tradisional juga masih dipertahankan di kebun ini.

Tradisional

Pada semacam pendapa, berjajar bak besar dengan kisi kayu memisahkan ruang atas dengan kolong. Tiap bak bisa memuat sekitar 900 kilogram buah longan segar yang masih berkulit. Longan segar itu diuapi dengan hasil pembakaran kayu bekas tebangan pohon longan di kolong. Tiap kali panen, batang pohon longan yang sudah berbuah memang perlu ditebang untuk mempertahankan kualitas buah pada musim panen berikutnya. Tebangan pohon longan itu yang digunakan dalam pengeringan buahnya.

Pengeringan secara tradisional ini memakan waktu 5 hari 4 malam, dengan suhu terjaga 90 derajat celsius. Posisi buah diaduk berkala agar semua terkena panas merata. Metode modern untuk dehidrasi buah sebenarnya jauh lebih praktis. Namun, cara tradisional yang membutuhkan kerja keras itu dipertahankan di Fairy Lake karena, dengan begitu, aroma asli, kadar gula, dan kandungan zat besi dalam longan tidak rusak.

”Longan yang sudah dikeringkan juga lebih awet disimpan dan bernilai jual lebih tinggi. Buah segarnya hanya 60 dollar Taiwan per kilogram, sedangkan longan kering bisa dijual 200 dollar Taiwan per kilogram,” ujar Apple.

Resor yang dikelola Strong dan 15 krunya yang funky itu bukan satu-satunya resor pertanian yang pengelolaannya diteruskan ke generasi lebih muda.

Di resor pertanian Dakeng, Eva Tsai justru mengibarkan namanya sebagai bartender meski dia juga mengelola pemasaran. Adiknya, Ruby, dikenal sebagai chef selebritas yang kerap tampil di acara TV. Meski begitu, sehari-hari Ruby memimpin dapur di Dakeng. Dua gadis berusia 20-an tahun itu menemukan mimpi mereka justru di resor pertanian yang masih mempertahankan aroma kental pedesaan itu.

Leo Fang, yang baru meraih gelar master ekonomi dari perguruan tinggi di Australia, juga memutuskan bekerja untuk asosiasi petani pemilik resor ini.

”Semakin saya mempelajari marketing, semakin saya tidak ingin bekerja untuk perusahaan besar. Saya memilih bekerja untuk petani yang membangun resor. Ini tak hanya menguntungkan pemiliknya, tetapi juga membantu komunitas petani yang lebih luas,” ujarnya.

Orang-orang muda ini bukan terpaksa berakhir di kebun, karena itu tanah warisan mereka. Mereka memang memilih untuk memulai di kebun. (Nur Hidayati)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com