Di antara tebing dan lembah, pohon buah-buahan merebak segar. Matahari pagi belum beranjak terlalu tinggi ketika Kompas tiba di salah satu puncak di kawasan Gunung Dayuan, Taiwan, Mei 2014. Sebuah gendang besar digantungkan di pendapa kayu terbuka di atas bukit berangin itu. Menghadap lembah hijau.
”Tidak akan ada yang terganggu kalau Anda mau memukul keras-keras gendang itu di sini,” ujar Ping, pemuda yang mengantar kami mendaki bukit itu. Ajakan itu tampaknya selalu disambut penuh semangat oleh para tamu. Burung elang pun terbang rendah mengepakkan sayap di atas bukit, seolah ikut menyambut bebunyian gendang.
Bukit ini adalah bagian dari Shangrila Leisure Farm Resort, sebuah resor pertanian untuk bersantai. Pemandangan indah bukan satu-satunya yang ditawarkan perkebunan yang memproduksi beragam buah dan sayur organik ini.
Wisata kuliner adalah salah satu daya tarik lain. Menu ala pedesaan disajikan dengan cantik, diolah dari sayur dan buah organik produksi kebun sendiri, dikombinasikan dengan produk pangan hewani yang dihasilkan peternak di sekitar kebun ini.
Shangrila begitu serius menggarap pasar dalam dan luar negeri sehingga restoran di resor ini juga bersertifikat untuk menyediakan menu halal. Menu itu dimasak di dapur terpisah dengan penyuplai khusus bahan makanan hewani yang halal. Makanan halal juga disajikan dengan peralatan makanan bertanda yang hanya digunakan untuk menyajikan menu halal.
Upaya memperoleh sertifikat halal yang mesti diuji dan diperbarui tiap tahun sesuai acuan standar Malaysia itu menunjukkan kesungguhan menggaet pengunjung Muslim dari negara-negara tetangga. Di Taiwan sendiri, di antara sekitar 23 juta penduduk terdapat 60.000 anggota komunitas Muslim. ”Akhir tahun ini sudah akan terdapat 12 resor pertanian yang bersertifikat halal di Taiwan”, kata Leo Fang.
Ping bercerita, ayahnya, Chang Ching-lai (62), mulai membangun perkebunan yang menjadi cikal bakal Shangrila itu 35 tahun lalu. Ayahnya melewatkan masa kecil dan remaja sebagai buruh kasar agar bisa sekolah dan menjadi pegawai negeri sipil, jabatan bergengsi di Taiwan pada 1970-an. Kenyataannya, hanya beberapa pekan bekerja sebagai pegawai, Chang memutuskan kembali ke desa, bekerja di lahan pertanian dan berdagang hingga ia berhasil membeli dan mengolah tanahnya sendiri pada 1980.
Karena rezim perdagangan bebas dunia, petani di Taiwan, seperti juga di negara-negara berkembang lain, diempas krisis akibat limpahan produk pertanian impor yang lebih murah. Chang menyiasati hal itu dengan belajar memberi nilai lebih pada lahan dan hasil bumi yang ia panen. Mula-mula, ia mempersilakan pengunjung ikut memanen.
Chang memastikan, tanah pertanian bukan sekadar memberi hasil panen dan menyuguhkan pemandangan indah, melainkan juga bentuk tradisi dan kebudayaan yang layak dipromosikan. ”Chang adalah pelopor leisure farm di Taiwan. Ia belajar dan sudah mulai sebelum konsep wisata di area pertanian dikenal di sini,” ujar Leo Fang.
Berpihak pada alam
Di Taiwan yang memiliki luas wilayah sekitar 36.000 kilometer persegi—sedikit lebih luas daripada Provinsi Jawa Barat—saat ini terdapat lebih dari 40 resor pertanian yang dipromosikan TLFDA. Organisasi nirlaba ini bekerja sama dengan Smailing Tour mengundang Kompas dan beberapa media lain untuk berkunjung ke sebagian resor itu Mei lalu.
Perjalanan melintasi daratan Taiwan dari satu resor pertanian ke resor lain mengesankan adanya kepedulian untuk mempertahankan daya dukung lingkungan. Sulit ditemukan pemandangan sebidang tebing, apalagi lahan datar, yang gersang. Rimbun pepohonan menjadi latar infrastruktur jalan yang terbangun baik. Padahal, di antara kerimbunan pepohonan itu mencuat pemancar telekomunikasi atau jaringan listrik. Terowongan panjang jalan pun menembus perut perbukitan yang tetap berhutan.
Keterbatasan lahan juga menuntut petani di Taiwan bekerja lebih pintar untuk mengolah hasil tanaman menjadi produk bernilai tambah. Flying Cow Ranch, peternakan sapi yang sudah berumur lebih dari 30 tahun ini, misalnya, berhasil membangun pabrik pengolahan produk susu modern sejak 2007. Susu segar dari sapi pemakan rumput organik dikemas modern dan steril, juga diolah menjadi keju, biskuit, sabun, hingga pelembab kulit.
Betapapun bisnis resor pertanian menjanjikan prospek cerah, prinsip konservasi dan fungsi lahan pertanian tetap diutamakan. Di resor pertanian Toucheng, misalnya, lahan seluas 110 hektar itu mempunyai satu gedung penginapan. Hunter Lin, salah seorang pengelola Toucheng, mengatakan, mereka bermaksud menambah atau memperluas gedung itu. ”Tetapi, tidak mudah mendapat izin membangun gedung di area pertanian seperti ini karena aturan yang ketat,” ujarnya.
Begitulah, lahan pertanian ini bertransformasi menjadi resor, juga produsen produk olahan modern. Namun, penghormatan pada alam dan tradisi bertani tak memudar. (Nur Hidayati)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.