Saya abaikan saja perdebatan tersebut dan masuk ke petilasan yang teduh oleh pohon asam dan karangan berusia ratusan tahun. Toh, memang salah satu ujud perjalanan ini adalah berziarah ke tanah para leluhur.
Dari petilasan saya pacu lagi sepeda langsung ke Banten Lama yang masih 40 kilometer lagi. Menjelang senja baru saya tiba di kompleks kota kuno Banten Lama dan langsung berkeliling ke Istana Surosoan, Masjid Agung, situs Istana Kaibon, Benteng Spellwijk, Vihara Avalokitesvara, dan Pelabuhan Karangantu.
Dikerubuti nyamuk dan agas
Tapi ini bukan akhir dari perjalanan ini. Saya masih ingin melanjutkan perjalanan ke Cagar Alam Pulau Dua di Desa Sawah Luhur, Serang. Lokasinya memang agak tersembunyi dan tak banyak orang sekitar yang tahu. Dari Banten Lama saya kembali menyusuri jalan yang sama ke arah Tirtayasa. Tidak ada rambu yang menunjukkan arah jalan ke cagar alam.
Menyusuri jalur offroad sepanjang tiga kilometer, sampailah saya di batas hutan mangrove yang sekaligus menjadi pintu masuk cagar alam. Sade (50), penjaga kawasan mempersilakan saya masuk setelah mengangkat sepeda yang berat melewati palang pintu masuk cagar alam.
Saya blusukan di hutan bakau sampai bertemu pos jagawana dan terus mengayuh sampai ke pantai berpasir putih yang dipenuhi cangkang karang. Suasana sunyi dan teduh kontras dengan keramaian yang saya lalui sepanjang hari.
Kembali ke pos cagar alam, saya panjat menara pengamat setinggi 12 meter dan melayangkan pandangan ke sekitar. Sabuk hijau tanaman bakau (Avicenia marina dan Rhizopora bruguera) melengkung seperti tapal kuda dari ujung Pulau Satu di sebelah timur sampai ujung Pulau Dua di sebelah barat berbatasan dengan tambak di daratan. Dinamakan pulau karena ujung kedua pulau tadinya terpisah dari daratan Pulau Jawa.
Pulau Dua juga dikenal dengan sebutan Pulau Burung karena dijadikan habitat pelestarian aneka jenis burung. Pada bulan April-Agustus, lokasi ini semakin menarik dikunjungi karena menjadi tempat transit burung yang bermigrasi dari utara ke selatan.
Fenomena penyatuan pulau karena adanya tanah timbul secara geologis disebut tombolo. Lewat SK Menhut Nomor: 253/KptsII/1984 tanggal 26 Desember 1984, wilayah Pulau Dua lalu diperluas dari 8 ha menjadi 30 ha (Mariana Takandjandji dan Rozza Tri Kwatrina, 2010).
Sudah pukul 17.00 saat saya beristirahat di pos jagawana. Semilir angin dan deburan ombak di tengah keheningan mendatangkan kantuk. Saya terlelap entah berapa lama dan baru terjaga saat nyamuk dan agas mengerubuti badan dengan kejamnya. Hari sudah gelap. Agak tergesa saya bereskan perbekalan dan kembali ke jalan setapak menuju jalan raya. Gelap, hujan rintik, dan sesekali petir menggelegar di langit. Dan saya masih mengayuh sepeda di tengah hutan. Benar-benar kurang kerjaan!
Gumpalan awan mendung memayungi langit dan sesekali kilat menyambar. Cahaya keperakan berkelabat menerangi persawahan maha luas di kiri-kanan jalan dan saya merasa amat kecil di hadapan alam lepas seperti itu. Di petilasan, Jahidi menyambut saya dengan secangkir kopi. Istirahat panjang di petilasan yang tenang menyegarkan kembali badan yang lelah.
Rezeki dari sepeda