Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gowes ke Banten Lama...

Kompas.com - 28/06/2014, 10:06 WIB
JALAN pedesaan yang menghubungkan Jakarta dengan kawasan Banten Lama itu seperti halaman belakang rumah yang lama terlupakan. Jalur sepanjang 100-an kilometer melalui kota-kota kecil seperti Mauk, Kronjo, Tanara, Jongjing, Tirtayasa, Sujung, Pomang. Nama-nama asing yang sebenarnya sebegitu dekat namun mungkin tak pernah terlintas untuk menyusurinya.

Keinginan mencoba jalur itu dengan bersepeda baru terlaksana selama dua hari, Rabu (25/6/2014) dan Kamis (26/6/2014). Karena ini menjelang bulan Ramadhan, jadilah perjalanan singkat ini semacam peziarahan ke tanah para leluhur.

Rabu (25/6/2014) sudah pukul 07.00 waktu saya keluar rumah di Kebayoran Lama langsung menuju Tangerang melalui Pesing. Secepatnya saya tinggalkan kepadatan lalu lintas Jalan Daan Mogot yang pagi itu sudah bergemuruh.

MAX AGUNG PRIBADI Kronjo-Tanara.
Suasana lega dengan udara bersih karena lalu lalang kendaraan yang berkurang baru terasa setelah memasuki Jalan Raya Mauk. Jalan mendatar  berlapis aspal mulus berseling beton mempercepat laju kayuhan sepeda besi Marin Pine Mountain 1990 hingga saya tiba di persimpangan Mauk  sekitar pukul 10.30.

Di tengah persimpangan berdiri Tugu Otista, yang dibangun untuk mengenang jasa Otto Iskandardinata. Pantai Mauk memang menjadi saksi bisu kepergian pahlawan nasional tersebut setelah diculik anggota Laskar Hitam dan dijebloskan ke penjara Tanah Tinggi Tangerang pada 10-15 Desember 1945.

Dari Tengerang ia dipindahkan ke rumah tahanan yang sekarang menjadi Kantor Pegadaian Mauk. Pada 20 Desember, Otto dieksekusi di pesisir pantai Mauk, tepatnya di Blok Toa Sia, Kampung Pelelangan, Desa Ketapang.

Tak ada yang tahu pasti mengapa politisi, jurnalis, dan pendidik ini diculik dan dibunuh di Mauk. Salah satu pendapat menyebutkan karena Otto dianggap terlalu dekat dengan militer Jepang sehingga gagal melakukan pendekatan untuk mengambil alih perlengkapan dan senjatanya. Tanggal 10 November 1973, pemerintah menganugerahkan gelar pahlawan nasional pada Otto dan untuk mengenang jasanya Pemkab Tangerang lalu mendirikan tugu di tengah pertigaan Mauk.

Dari pertigaan itu jalan utama berbelok ke kiri dan bertemu Pasar Mauk yang semrawut dan membuat lalu lintas macet. Kalau mau lancar, dari pertigaan ambil jalan lurus yang ujungnya bertemu lagi dengan Jalan Raya Mauk-Kronjo.

Panas mulai menyengat tapi udara bersih dari hamparan sawah yang luas terasa menyegarkan. Terik mentari juga diredam oleh pepohonan rindang yang mulai tumbuh besar di pinggiran membuat perjalanan bersepeda di jalur ini semakin menyenangkan.

MAX AGUNG PRIBADI Jalan rusak menjelang Tirtayasa.
Di banyak tempat berdiri bangunan mirip rumah yang dijadikan sarang burung walet. Bangunan bertingkat dua sampai lima dengan dinding kelabu bermunculan di pinggir jalan atau di tengah persawahan.

Setelah makan siang di simpang Kronjo, saya lanjutkan perjalanan menuju Tanara, Tirtayasa, Sujung, Pomang, sampai ke Banten Lama. Jalanan beton mendatar lurus dan panjang-panjang terasa agak membosankan. Namun karena baru pertama kali melintas di sini, saya tetap dipenuhi sukacita perjalanan. Angin yang menerpa wajah terasa segar. Di kejauhan PLTU Kronjo mengepulkan asap putih seperti perahu yang mengapung di tengah persawahan yang menghijau.

MAX AGUNG PRIBADI Jembatan Kronjo
Pukul 14.00 saya sempatkan mampir ke Petilasan Sultan Ageng Tirtayasa. Satu kilometer sebelum petilasan, jalanan rusak berat sepanjang dua kilometer sampai ke Desa Sujung.

Hingga kini ada dua versi tempat yang diyakini sebagai makam Sultan Ageng Tirtayasa. Pertama tentu saja penunggu  makam pahlawan nasional asal Banten tersebut di Desa Tirtayasa, Serang. M Jahidi, kuncen yang saya temui mengatakan, masyarakat sekitar dan ia sendiri meyakini hal itu sesuai dengan pendapat sejarawan Buya Hamka.

MAX AGUNG PRIBADI Petilasan Sultan Ageng Tirtayasa.
"Sesuai pendapat ahli dan keyakinan kita masyarakat sini. Insya Allah benar di sinilah makam Sultan Ageng Tirtayasa," kata Jahidi. Tempat itu ramai dikunjungi warga dari berbagai pelosok yang ingin berziarah, apalagi menjelang bulan Ramadhan seperti sekarang. Aliran peziarah seolah tak mengenal waktu.

Pendapat lain diungkapkan Badan Penelitian Cagar Budaya. Berdasarkan kajian instansi tersebut, makam Sultan Ageng berada di Masjid Agung Banten tak jauh dari reruntuhan Surosowan di Banten Lama. Anehnya, plang makam dan cagar budaya justru dibuat oleh instansi yang sama di petilasan tersebut.

MAX AGUNG PRIBADI Benteng Spellwijk
Saya abaikan saja perdebatan tersebut dan masuk ke petilasan yang teduh oleh pohon asam dan karangan berusia ratusan tahun. Toh, memang salah satu ujud perjalanan ini adalah berziarah ke tanah para leluhur.

Dari petilasan saya pacu lagi sepeda langsung ke Banten Lama yang masih 40 kilometer lagi. Menjelang senja baru saya tiba di kompleks kota kuno Banten Lama dan langsung berkeliling ke Istana Surosoan, Masjid Agung, situs Istana Kaibon, Benteng Spellwijk, Vihara Avalokitesvara, dan Pelabuhan Karangantu.

Dikerubuti nyamuk dan agas

Tapi ini bukan akhir dari perjalanan ini. Saya masih ingin melanjutkan perjalanan ke Cagar Alam Pulau Dua di Desa Sawah Luhur, Serang. Lokasinya memang agak tersembunyi dan tak banyak orang sekitar yang tahu. Dari Banten Lama saya kembali menyusuri jalan yang sama ke arah Tirtayasa. Tidak ada rambu yang menunjukkan arah jalan ke cagar alam.

MAX AGUNG PRIBADI Ngaprak Cagar Alam Pulau Dua
Setelah berulangkali bertanya, saya temukan jalan setapak menuju Pulau Dua yang persis berada dekat rambu penanda  95 kilometer ke arah Jakarta. Sepeda berbelok ke jalur tanah di atas pematang tambak.

Menyusuri jalur offroad sepanjang tiga kilometer, sampailah saya di batas hutan mangrove yang sekaligus menjadi pintu masuk cagar alam. Sade (50), penjaga kawasan mempersilakan saya masuk setelah mengangkat sepeda yang berat melewati palang pintu masuk cagar alam.

Saya blusukan di hutan bakau sampai bertemu pos jagawana dan terus mengayuh sampai ke pantai berpasir putih yang dipenuhi cangkang karang. Suasana sunyi dan teduh kontras dengan keramaian yang saya lalui sepanjang hari.

Kembali ke pos cagar alam, saya panjat menara pengamat setinggi 12 meter dan melayangkan pandangan ke sekitar. Sabuk hijau tanaman bakau (Avicenia marina dan Rhizopora bruguera) melengkung seperti tapal kuda dari ujung Pulau Satu di sebelah timur sampai ujung Pulau Dua di sebelah barat berbatasan dengan tambak di daratan.  Dinamakan pulau karena ujung kedua pulau tadinya terpisah dari daratan Pulau Jawa.

Pulau Dua juga dikenal dengan sebutan Pulau Burung karena dijadikan habitat pelestarian aneka jenis burung. Pada bulan April-Agustus, lokasi ini semakin menarik dikunjungi karena menjadi tempat transit burung  yang bermigrasi dari utara ke selatan.

MAX AGUNG PRIBADI Pemandangan dari menara pengamatan di pos jagawana Pulau Dua.
Pulau Dua tadinya pulau kecil dengan dataran rendah dan sebagian dijadikan areal pertanian, sedangkan Pulau Satu merupakan pulau karang yang membatasi tambak dengan laut. Pada tahun 1978 selat sepanjang kira-kira 500 meter yang memisahkan Pulau Dua dengan Pulau Jawa tertimbun oleh lumpur dan pasir sehingga Pulau Dua menyatu dengan Pulau Jawa.

Fenomena penyatuan pulau karena adanya tanah timbul secara geologis disebut tombolo. Lewat SK Menhut Nomor: 253/KptsII/1984 tanggal 26 Desember 1984, wilayah Pulau Dua lalu diperluas dari 8 ha menjadi 30 ha (Mariana Takandjandji dan Rozza Tri Kwatrina, 2010).

Sudah pukul 17.00 saat saya beristirahat di pos jagawana. Semilir angin dan deburan ombak di tengah keheningan mendatangkan kantuk. Saya terlelap entah berapa lama dan baru terjaga saat nyamuk dan agas mengerubuti badan dengan kejamnya. Hari sudah gelap. Agak tergesa saya bereskan perbekalan dan kembali ke jalan setapak menuju jalan raya. Gelap, hujan rintik, dan sesekali petir menggelegar di langit. Dan saya masih mengayuh sepeda di tengah hutan. Benar-benar kurang kerjaan!

MAX AGUNG PRIBADI Pemandangan di Tj Kait.
Warung-warung sudah tutup dan ada rasa enggan menumpang bermalam bila mengingat sulitnya air bersih di kawasan itu. Saya putuskan kembali ke petilasan dan bermalam disana meski masih itu berarti harus mengayuh 30 kilometer lagi.

Gumpalan awan mendung memayungi langit dan sesekali kilat menyambar. Cahaya keperakan berkelabat menerangi persawahan maha luas di kiri-kanan jalan dan saya merasa amat kecil di hadapan alam lepas seperti itu. Di petilasan, Jahidi menyambut saya dengan secangkir kopi. Istirahat panjang di petilasan yang tenang menyegarkan kembali badan yang lelah.

Rezeki dari sepeda

Kamis (26/6/2014) pukul 07.00 saya lanjutkan perjalanan pulang. Di Jongjing, saya bersama Suhadi (63) yang sedang mengayuh sepeda onthel menuju Jakarta. Ayah tujuh anak dan kakek enam cucu itu menempuh jarak 70 km dari rumahnya di Desa Lempuyang, Jongjing untuk menjemput rezeki sebagai pengojek sepeda. Ia biasa mangkal di Taman Fatahillah dan dua minggu sekali pulang kampung dengan sepeda tuanya.

MAX AGUNG PRIBADI Suhadi (63), pengojek sepeda asal Desa Lempuyang, Jongjing, Serang.
“Kalau rezeki, biasanya dua atau tiga minggu bisa dapat Rp 500.000,” tutur Suhadi yang sudah lima tahun ngojek sepeda setelah berhenti jadi pekerja toko bangunan. Dari kampungnya, kata Suhadi ada tiga orang seumuran yang menjadi pengojek sepeda di kawasan Jakarta Kota. Mengais rezeki dari sepeda membebaskannya dari keharusan ini itu sebagai pekerja.

Di Mauk kami berpisah. Saya lanjutkan perjalanan melalui Tanjung Kait, Teluk Naga, sampai Tangerang. Jalur sepanjang sekitar 25 km itu sungguh menyenangkan untuk bersepeda. Jalanan mendatar dengan aspal mulus dan teduh oleh pepohonan rindang. Di beberapa titik pandangan leluasa disegarkan oleh bentang sawah yang berbatasan dengan pantai.

Pantai Tanjung Kait berlokasi di sebelah Markas Satuan Radar 211 TNI AU. Desa nelayan itu menjadi tempat wisata untuk memancing dan menikmati aneka makanan laut segar.

MAX AGUNG PRIBADI Kelenteng Tjo Soe Kong di Tanjung Kait.
Di dekat pantai, sebuah kelenteng kecil dengan dua pagoda berwarna kuning dan merah menarik perhatian saya. Kelenteng Tjo Soe Kong itu dibangun tahun 1792 oleh imigran asal Hok Kian, Tiongkok yang juga membangun perkebunan tebu di kawasan itu dan kota Tuasiah di bibir pantai. Perkebunan dan kota itu kini sudah lenyap karena abrasi 200 meter dari bibir pantai awal.

Saat Gunung Krakatau meletus tahun 1883 dan terjadi tsunami, klenteng itu luput dari kehancuran dan disebut-sebut menjadi tempat perlindungan warga yang selamat. Saya lanjutkan perjalanan melintasi jalur sepi kendaraan sampai Teluk Naga, lalu terus ke Tangerang. Pukul 16.00 saya tiba kembali di rumah, mengakhiri perjalanan 220 km menyusuri halaman belakang yang menyenangkan. (Max Agung Pribadi, wartawan Warta Kota)

MAX AGUNG PRIBADI Pelabuhan Karangantu
MAX AGUNG PRIBADI Benteng Spellwijk.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Panduan Lengkap ke Desa Wisata Koto Kaciak, Simak Sebelum Datang

Panduan Lengkap ke Desa Wisata Koto Kaciak, Simak Sebelum Datang

Travel Tips
Traveloka Resmikan Wahana Baru di Kidzania Jakarta, Ada Diskon 25 Persen

Traveloka Resmikan Wahana Baru di Kidzania Jakarta, Ada Diskon 25 Persen

Travel Update
Barcelona Hapus Rute Bus dari Google Maps, Ini Alasannya

Barcelona Hapus Rute Bus dari Google Maps, Ini Alasannya

Travel Update
4 Tips Berkunjung ke Desa Wisata Koto Kaciak, Datang Pagi Hari

4 Tips Berkunjung ke Desa Wisata Koto Kaciak, Datang Pagi Hari

Travel Tips
Cara Menuju ke Desa Wisata Lerep Kabupaten Semarang

Cara Menuju ke Desa Wisata Lerep Kabupaten Semarang

Jalan Jalan
4 Oleh-Oleh Desa Wisata Koto Kaciak, Ada Rinuak dan Celana Gadebong

4 Oleh-Oleh Desa Wisata Koto Kaciak, Ada Rinuak dan Celana Gadebong

Travel Tips
Istana Gyeongbokgung di Korea Akan Buka Tur Malam Hari mulai Mei 2024

Istana Gyeongbokgung di Korea Akan Buka Tur Malam Hari mulai Mei 2024

Travel Update
Desa Wisata Lerep, Tawarkan Paket Wisata Alam Mulai dari Rp 60.000

Desa Wisata Lerep, Tawarkan Paket Wisata Alam Mulai dari Rp 60.000

Jalan Jalan
Itinerary Seharian Sekitar Museum Mpu Tantular Sidoarjo, Ngapain Saja?

Itinerary Seharian Sekitar Museum Mpu Tantular Sidoarjo, Ngapain Saja?

Jalan Jalan
 7 Olahraga Tradisional Unik Indonesia, Ada Bentengan

7 Olahraga Tradisional Unik Indonesia, Ada Bentengan

Jalan Jalan
5 Tips Liburan dengan Anak-anak Menggunakan Kereta Api Jarak Jauh

5 Tips Liburan dengan Anak-anak Menggunakan Kereta Api Jarak Jauh

Travel Tips
Mengenal Desa Wisata Koto Kaciak, Surga Budaya di Kaki Bukit Barisan

Mengenal Desa Wisata Koto Kaciak, Surga Budaya di Kaki Bukit Barisan

Jalan Jalan
Aktivitas Wisata di Bromo Ditutup mulai 25 April 2024, Ini Alasannya

Aktivitas Wisata di Bromo Ditutup mulai 25 April 2024, Ini Alasannya

Travel Update
Bali Jadi Tuan Rumah Acara UN Tourism tentang Pemberdayaan Perempuan

Bali Jadi Tuan Rumah Acara UN Tourism tentang Pemberdayaan Perempuan

Travel Update
Hari Kartini, Pelita Air Luncurkan Penerbangan dengan Pilot dan Awak Kabin Perempuan

Hari Kartini, Pelita Air Luncurkan Penerbangan dengan Pilot dan Awak Kabin Perempuan

Travel Update
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com