Keinginan mencoba jalur itu dengan bersepeda baru terlaksana selama dua hari, Rabu (25/6/2014) dan Kamis (26/6/2014). Karena ini menjelang bulan Ramadhan, jadilah perjalanan singkat ini semacam peziarahan ke tanah para leluhur.
Rabu (25/6/2014) sudah pukul 07.00 waktu saya keluar rumah di Kebayoran Lama langsung menuju Tangerang melalui Pesing. Secepatnya saya tinggalkan kepadatan lalu lintas Jalan Daan Mogot yang pagi itu sudah bergemuruh.
Di tengah persimpangan berdiri Tugu Otista, yang dibangun untuk mengenang jasa Otto Iskandardinata. Pantai Mauk memang menjadi saksi bisu kepergian pahlawan nasional tersebut setelah diculik anggota Laskar Hitam dan dijebloskan ke penjara Tanah Tinggi Tangerang pada 10-15 Desember 1945.
Dari Tengerang ia dipindahkan ke rumah tahanan yang sekarang menjadi Kantor Pegadaian Mauk. Pada 20 Desember, Otto dieksekusi di pesisir pantai Mauk, tepatnya di Blok Toa Sia, Kampung Pelelangan, Desa Ketapang.
Tak ada yang tahu pasti mengapa politisi, jurnalis, dan pendidik ini diculik dan dibunuh di Mauk. Salah satu pendapat menyebutkan karena Otto dianggap terlalu dekat dengan militer Jepang sehingga gagal melakukan pendekatan untuk mengambil alih perlengkapan dan senjatanya. Tanggal 10 November 1973, pemerintah menganugerahkan gelar pahlawan nasional pada Otto dan untuk mengenang jasanya Pemkab Tangerang lalu mendirikan tugu di tengah pertigaan Mauk.
Dari pertigaan itu jalan utama berbelok ke kiri dan bertemu Pasar Mauk yang semrawut dan membuat lalu lintas macet. Kalau mau lancar, dari pertigaan ambil jalan lurus yang ujungnya bertemu lagi dengan Jalan Raya Mauk-Kronjo.
Panas mulai menyengat tapi udara bersih dari hamparan sawah yang luas terasa menyegarkan. Terik mentari juga diredam oleh pepohonan rindang yang mulai tumbuh besar di pinggiran membuat perjalanan bersepeda di jalur ini semakin menyenangkan.
Setelah makan siang di simpang Kronjo, saya lanjutkan perjalanan menuju Tanara, Tirtayasa, Sujung, Pomang, sampai ke Banten Lama. Jalanan beton mendatar lurus dan panjang-panjang terasa agak membosankan. Namun karena baru pertama kali melintas di sini, saya tetap dipenuhi sukacita perjalanan. Angin yang menerpa wajah terasa segar. Di kejauhan PLTU Kronjo mengepulkan asap putih seperti perahu yang mengapung di tengah persawahan yang menghijau.
Hingga kini ada dua versi tempat yang diyakini sebagai makam Sultan Ageng Tirtayasa. Pertama tentu saja penunggu makam pahlawan nasional asal Banten tersebut di Desa Tirtayasa, Serang. M Jahidi, kuncen yang saya temui mengatakan, masyarakat sekitar dan ia sendiri meyakini hal itu sesuai dengan pendapat sejarawan Buya Hamka.
Pendapat lain diungkapkan Badan Penelitian Cagar Budaya. Berdasarkan kajian instansi tersebut, makam Sultan Ageng berada di Masjid Agung Banten tak jauh dari reruntuhan Surosowan di Banten Lama. Anehnya, plang makam dan cagar budaya justru dibuat oleh instansi yang sama di petilasan tersebut.
Dari petilasan saya pacu lagi sepeda langsung ke Banten Lama yang masih 40 kilometer lagi. Menjelang senja baru saya tiba di kompleks kota kuno Banten Lama dan langsung berkeliling ke Istana Surosoan, Masjid Agung, situs Istana Kaibon, Benteng Spellwijk, Vihara Avalokitesvara, dan Pelabuhan Karangantu.
Dikerubuti nyamuk dan agas
Tapi ini bukan akhir dari perjalanan ini. Saya masih ingin melanjutkan perjalanan ke Cagar Alam Pulau Dua di Desa Sawah Luhur, Serang. Lokasinya memang agak tersembunyi dan tak banyak orang sekitar yang tahu. Dari Banten Lama saya kembali menyusuri jalan yang sama ke arah Tirtayasa. Tidak ada rambu yang menunjukkan arah jalan ke cagar alam.
Menyusuri jalur offroad sepanjang tiga kilometer, sampailah saya di batas hutan mangrove yang sekaligus menjadi pintu masuk cagar alam. Sade (50), penjaga kawasan mempersilakan saya masuk setelah mengangkat sepeda yang berat melewati palang pintu masuk cagar alam.
Saya blusukan di hutan bakau sampai bertemu pos jagawana dan terus mengayuh sampai ke pantai berpasir putih yang dipenuhi cangkang karang. Suasana sunyi dan teduh kontras dengan keramaian yang saya lalui sepanjang hari.
Kembali ke pos cagar alam, saya panjat menara pengamat setinggi 12 meter dan melayangkan pandangan ke sekitar. Sabuk hijau tanaman bakau (Avicenia marina dan Rhizopora bruguera) melengkung seperti tapal kuda dari ujung Pulau Satu di sebelah timur sampai ujung Pulau Dua di sebelah barat berbatasan dengan tambak di daratan. Dinamakan pulau karena ujung kedua pulau tadinya terpisah dari daratan Pulau Jawa.
Pulau Dua juga dikenal dengan sebutan Pulau Burung karena dijadikan habitat pelestarian aneka jenis burung. Pada bulan April-Agustus, lokasi ini semakin menarik dikunjungi karena menjadi tempat transit burung yang bermigrasi dari utara ke selatan.
Fenomena penyatuan pulau karena adanya tanah timbul secara geologis disebut tombolo. Lewat SK Menhut Nomor: 253/KptsII/1984 tanggal 26 Desember 1984, wilayah Pulau Dua lalu diperluas dari 8 ha menjadi 30 ha (Mariana Takandjandji dan Rozza Tri Kwatrina, 2010).
Sudah pukul 17.00 saat saya beristirahat di pos jagawana. Semilir angin dan deburan ombak di tengah keheningan mendatangkan kantuk. Saya terlelap entah berapa lama dan baru terjaga saat nyamuk dan agas mengerubuti badan dengan kejamnya. Hari sudah gelap. Agak tergesa saya bereskan perbekalan dan kembali ke jalan setapak menuju jalan raya. Gelap, hujan rintik, dan sesekali petir menggelegar di langit. Dan saya masih mengayuh sepeda di tengah hutan. Benar-benar kurang kerjaan!
Gumpalan awan mendung memayungi langit dan sesekali kilat menyambar. Cahaya keperakan berkelabat menerangi persawahan maha luas di kiri-kanan jalan dan saya merasa amat kecil di hadapan alam lepas seperti itu. Di petilasan, Jahidi menyambut saya dengan secangkir kopi. Istirahat panjang di petilasan yang tenang menyegarkan kembali badan yang lelah.
Rezeki dari sepeda
Kamis (26/6/2014) pukul 07.00 saya lanjutkan perjalanan pulang. Di Jongjing, saya bersama Suhadi (63) yang sedang mengayuh sepeda onthel menuju Jakarta. Ayah tujuh anak dan kakek enam cucu itu menempuh jarak 70 km dari rumahnya di Desa Lempuyang, Jongjing untuk menjemput rezeki sebagai pengojek sepeda. Ia biasa mangkal di Taman Fatahillah dan dua minggu sekali pulang kampung dengan sepeda tuanya.
Di Mauk kami berpisah. Saya lanjutkan perjalanan melalui Tanjung Kait, Teluk Naga, sampai Tangerang. Jalur sepanjang sekitar 25 km itu sungguh menyenangkan untuk bersepeda. Jalanan mendatar dengan aspal mulus dan teduh oleh pepohonan rindang. Di beberapa titik pandangan leluasa disegarkan oleh bentang sawah yang berbatasan dengan pantai.
Pantai Tanjung Kait berlokasi di sebelah Markas Satuan Radar 211 TNI AU. Desa nelayan itu menjadi tempat wisata untuk memancing dan menikmati aneka makanan laut segar.
Saat Gunung Krakatau meletus tahun 1883 dan terjadi tsunami, klenteng itu luput dari kehancuran dan disebut-sebut menjadi tempat perlindungan warga yang selamat. Saya lanjutkan perjalanan melintasi jalur sepi kendaraan sampai Teluk Naga, lalu terus ke Tangerang. Pukul 16.00 saya tiba kembali di rumah, mengakhiri perjalanan 220 km menyusuri halaman belakang yang menyenangkan. (Max Agung Pribadi, wartawan Warta Kota)