Ketertarikan Aldila Dipamela (21) menekuni usaha muncul sekitar tahun 2008. Saat itu, ia mulai membuat kalung dan gelang dari bahan flanel dan dijajakan kepada temannya. Dila mendapatkan untung tak sedikit. Pernah dalam sebulan, ia mendapatkan Rp 500.000 dari usahanya.
Keuntungan itu diputar kembali untuk membeli beragam baju yang ia jual kembali. Mayoritas ia beli dari Mangga Dua dan Tanah Abang di Jakarta karena lebih murah dan modelnya tidak kalah dengan butik ternama. Ditambah uang jajannya, sekali belanja ia bisa menghabiskan Rp 2,5 juta. Setiap baju dibelinya antara Rp 150.000 dan 200.000 per helai.
Lama-kelamaan, ia bosan hanya menjadi konsumen. Ia penasaran ingin memiliki produk unik dan khas. Ide itu muncul saat melihat pameran kerajinan di Tasikmalaya. Ada kelom, batik, dan payung geulis. Namun, jika hanya meniru, ia khawatir usahanya tidak berkembang. Beberapa ide kreatif diapungkan sehingga akhirnya ia teringat kemampuan merajut dari seorang kerabatnya.
”Saya pilih kelom geulis dipadupadankan dengan rajutan pada awal tahun 2011. Talinya diganti dengan beragam pola rajutan. Hari itu juga saya menghubungi saudara yang ahli merajut dan membeli banyak benang warna-warni,” kata Dila.
Kelom geulis adalah sandal berbahan kayu mahoni khas Tasikmalaya. Di zaman kejayaannya, tahun 1960-1980-an, kelom geulis identik dengan istilah mojang geulis (gadis cantik) dari Priangan. Dalam berbagai dokumentasi lawas, mojang berdandan mengenakan kebaya, berpayung kertas, dan berkelom geulis. Desain dengan banyak lekukan dengan dominasi motif bunga berwarna cerah menambah kecantikannya. Namun, seiring perkembangan zaman, kelom geulis tidak lagi diminati karena dianggap ketinggalan zaman.
Proses produksi dimulai. Hasil rajutan dengan motif kembang api hingga pagar di depan rumahnya dipadukan dengan kelom dari kayu buatan perajin di Gobras, Kota Tasikmalaya. Dila oleh perajin diberi keringanan bisa memesan puluhan pasang saja. Padahal, biasanya pemesan konvensional memesan ratusan pasang sekali pemesanan. ”Modelnya saya coba dengan kaki sendiri,” ujar dia.
Inovasi produk yang diberi label Ryla ini dengan mudah menarik minat konsumen. Dipromosikan lewat internet, peminat datang dari sejumlah daerah. Harganya Rp 100.000-Rp 125.000 per pasang. Minat konsumen yang tinggi membuatnya semakin bersemangat. Variasi pola rajutan ditambah. Tahun 2014, ada 150 model kelom rajut yang diproduksi dengan beragam motif.
Variasi rajutan pun menambah produksi kelom geulis. Omzetnya meroket dari Rp 70 juta per bulan tahun 2011 menjadi Rp 912 juta tiga tahun kemudian. Metode pemasarannya juga mulai beragam. Selain melalui internet, Dila membangun outlet di Kota Tasikmalaya. Bahkan, ia membidani kelahiran lebih dari 220 distributor. Kelom geulis rajut buatannya merambah hingga Roma, Italia, pula. ”Pasar di Roma sangat cerah. Tidak kurang dari 20 pasang laku setiap bulan. Mungkin masih sedikit, tetapi akan besar pada saatnya nanti,” yakin Dila.
Inovasi
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.