Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kelom Geulis Percantik Dunia...

Kompas.com - 01/07/2014, 10:41 WIB
PAMOR kelom geulis dari Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, kembali naik. Dikenal piawai mencipta barang kerajinan, pelaku usaha kerajinan kini membawa kelom geulis mempercantik dunia.

Ketertarikan Aldila Dipamela (21) menekuni usaha muncul sekitar tahun 2008. Saat itu, ia mulai membuat kalung dan gelang dari bahan flanel dan dijajakan kepada temannya. Dila mendapatkan untung tak sedikit. Pernah dalam sebulan, ia mendapatkan Rp 500.000 dari usahanya.

Keuntungan itu diputar kembali untuk membeli beragam baju yang ia jual kembali. Mayoritas ia beli dari Mangga Dua dan Tanah Abang di Jakarta karena lebih murah dan modelnya tidak kalah dengan butik ternama. Ditambah uang jajannya, sekali belanja ia bisa menghabiskan Rp 2,5 juta. Setiap baju dibelinya antara Rp 150.000 dan 200.000 per helai.

Lama-kelamaan, ia bosan hanya menjadi konsumen. Ia penasaran ingin memiliki produk unik dan khas. Ide itu muncul saat melihat pameran kerajinan di Tasikmalaya. Ada kelom, batik, dan payung geulis. Namun, jika hanya meniru, ia khawatir usahanya tidak berkembang. Beberapa ide kreatif diapungkan sehingga akhirnya ia teringat kemampuan merajut dari seorang kerabatnya.

”Saya pilih kelom geulis dipadupadankan dengan rajutan pada awal tahun 2011. Talinya diganti dengan beragam pola rajutan. Hari itu juga saya menghubungi saudara yang ahli merajut dan membeli banyak benang warna-warni,” kata Dila.

Kelom geulis adalah sandal berbahan kayu mahoni khas Tasikmalaya. Di zaman kejayaannya, tahun 1960-1980-an, kelom geulis identik dengan istilah mojang geulis (gadis cantik) dari Priangan. Dalam berbagai dokumentasi lawas, mojang berdandan mengenakan kebaya, berpayung kertas, dan berkelom geulis. Desain dengan banyak lekukan dengan dominasi motif bunga berwarna cerah menambah kecantikannya. Namun, seiring perkembangan zaman, kelom geulis tidak lagi diminati karena dianggap ketinggalan zaman.

Proses produksi dimulai. Hasil rajutan dengan motif kembang api hingga pagar di depan rumahnya dipadukan dengan kelom dari kayu buatan perajin di Gobras, Kota Tasikmalaya. Dila oleh perajin diberi keringanan bisa memesan puluhan pasang saja. Padahal, biasanya pemesan konvensional memesan ratusan pasang sekali pemesanan. ”Modelnya saya coba dengan kaki sendiri,” ujar dia.

Inovasi produk yang diberi label Ryla ini dengan mudah menarik minat konsumen. Dipromosikan lewat internet, peminat datang dari sejumlah daerah. Harganya Rp 100.000-Rp 125.000 per pasang. Minat konsumen yang tinggi membuatnya semakin bersemangat. Variasi pola rajutan ditambah. Tahun 2014, ada 150 model kelom rajut yang diproduksi dengan beragam motif.

Variasi rajutan pun menambah produksi kelom geulis. Omzetnya meroket dari Rp 70 juta per bulan tahun 2011 menjadi Rp 912 juta tiga tahun kemudian. Metode pemasarannya juga mulai beragam. Selain melalui internet, Dila membangun outlet di Kota Tasikmalaya. Bahkan, ia membidani kelahiran lebih dari 220 distributor. Kelom geulis rajut buatannya merambah hingga Roma, Italia, pula. ”Pasar di Roma sangat cerah. Tidak kurang dari 20 pasang laku setiap bulan. Mungkin masih sedikit, tetapi akan besar pada saatnya nanti,” yakin Dila.

Inovasi

Dila tidak sendiri. Kelom asal Tasikmalaya itu sebelumnya sudah berjaya di tangan Ana Suryana (51), warga Gobras, Kota Tasikmalaya. Kreativitas Ana bisa meninggalkan citra kelam kelom geulis. Beragam kreasi baru diciptakan. Kini, beragam kreasinya menjadi kiblat dan patokan bagi perajin kelom geulis lainnya. Ada yang menjiplak, tetapi ada juga yang terinspirasi.

Simak kelom batik. Mengaku terinspirasi topeng batik dari Yogyakarta, ia mengganti kuas dengan canting dan lilin untuk mendapatkan goresan eksotis. Beberapa kali ia gagal melukis dan mencelup, tetapi akhirnya mendapatkan kualitas batik di atas kayu yang ideal. Untuk polanya, ciri khas daerah, seperti kujang dari Tasikmalaya atau motif mega mendung dari Cirebon, dipakai untuk menguatkan unsur tradisionalnya.

”Saya juga berimprovisasi dengan bordir khas Tasikmalaya hingga kelom ukir dengan pahat tangan,” ujar Ana, yang mengusung merek Sagitria. Tidak hanya memasukkan unsur tradisi, dia juga bereksperimen menggunakan cat semprot (airbrush). Metode yang kerap dilakukan di atas sepeda motor atau mobil itu dia tuangkan di atas kayu. Hasilnya, warna lebih tajam dan cerah khas airbrush menghiasi kelomnya.

Ana juga berekspresi dalam bentuk kelom. Ia menciptakan kelom dengan hak terbalik yang ternyata laku keras. Ia membuat tas kelom pula. ”Untuk tas, bahan kelom saya tambahkan kulit imitasi dan kain sedemikian rupa sehingga berbentuk tas tanpa menghilangkan ciri khas kelom geulis. Peminatnya banyak karena saya jarang punya persediaan,” kata Ana, yang pernah menjadi korban pemutusan hubungan kerja dari tempat kerjanya di PT Dirgantara Indonesia sekitar 10 tahun lalu.

Perlahan, tetapi pasti, melalui berbagai kreasinya, kelom geulis buatan Ana menarik konsumen dalam dan luar negeri. Pekerja pun ditambah dari hanya satu orang tahun 2000, ia kini mempekerjakan 38 orang. Kapasitas produksi bertambah dari tiga kodi (60 pasang) per dua minggu menjadi 5.000 pasang per bulan dengan harga Rp 130.000-Rp 230.000 per pasang.

Perjuangannya membuahkan hasil manis. Sejak tahun 2002, pasar Jepang, Taiwan, dan Singapura adalah pemohon kelom geulis terbanyak produksinya. Permohonan dari sebuah perusahaan di Jepang bahkan pernah mencapai nilai Rp 500 juta. Pembeli dari Afrika, Amerika Serikat, Belanda, dan Filipina juga menyukai kelom geulis.

”Produk yang beragam memudahkan pilihan konsumen. Setiap konsumen mempunyai selera yang berbeda,” ungkap Ana. (Cornelius Helmy)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com