Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Belitung, Geliat Negeri Laskar Pelangi

Kompas.com - 05/07/2014, 10:25 WIB
INGGRIS mengidamkannya, Belanda menguasainya. Semua karena Belitung mengandung timah. Kini, magnet baru pulau itu adalah pariwisata.

Tiket pesawat ke pulau seluas 4.800 kilometer persegi itu diburu mereka yang ingin merasakan pantai berpasir putih dengan hiasan granit raksasa. Kunjungan ke Belitung ibarat menikmati sensasi berhentinya waktu.

Belitung masuk dalam radar pariwisata nasional setelah film Laskar Pelangi, yang diadaptasi dari buku karya Andrea Hirata yang orang Belitung asli, sukses meraih lebih dari empat juta penonton di tingkat nasional.

Warga pulau ini memiliki modal sosial yang kuat, yaitu keterbukaan atas keragaman. Sejak Belanda membuka pertambangan timah di Belitung dan Bangka sejak tahun 1700-an, berbagai suku dan bangsa singgah di sana. Belitung juga telah menjadi bandar yang ramai karena berada dalam jalur pelayaran Palembang-Selat Malaka sejak masa Kerajaan Majapahit.

Pariwisata yang diandalkan menjadi motor baru perekonomian terutama bertumpu pada orang muda. Mereka aktif mengajak masyarakat Belitung terlibat dalam bisnis pariwisata, langsung maupun sebagai penunjang.

”Kami tidak ingin Belitung seperti daerah lain, masyarakat terpinggirkan karena pemodal luar menguasai hampir semua lini,” ujar pengusaha Belitung, Isyak Meirobie (36).

Pariwisata relatif baru di Belitung dan membutuhkan dana besar untuk pengembangannya. Namun, itu bukan alasan memberi porsi besar kepada pemodal luar. ”Setiap orang yang sanggup membuka warung dan penginapan, itu investor. Orang Belitung sanggup menyediakan itu,” ujar pebisnis pariwisata Belitung, Agus Pahlevi (30).

KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO Pemandangan Pulau Lengkuas dengan daya tarik mercusuar tua di Belitung, Jumat (15/4/2011). Pulau Belitung terkenal dengan keindahan lokasi wisata pantai pasir putih berbatu granit artistik.
Isyak dan Agus sepakat, pariwisata Belitung tidak perlu meniru pola daerah lain, tetapi harus menemukan keunikannya agar dapat bersaing. ”Saya masuk bisnis kuliner karena belum ada restoran yang menempati rumah asli dan menyajikan masakan khas Belitung,” tutur Isyak.

Kemasan wisata

Wisata Belitung masih mengandalkan keindahan pantai, tetapi Agus berpendapat, seperti laiknya bisnis apa pun, pariwisata Belitung memerlukan kreativitas agar semakin menarik.

Jika hanya mengandalkan pantai, pelancong hanya menginap dua hari. Seluruh pantai Belitung tuntas dikunjungi dalam waktu kurang dari 30 jam.

Oleh karena itu, Agus bersama sejumlah pebisnis pariwisata di sana mengemas berbagai paket wisata, seperti pelesir ke laut dan ke hutan Belitung. ”Untuk selam, ada di dekat lokasi kapal karam atau terumbu karang,” kata dia.

Ia juga mengemas paket wisata yang memberikan kesempatan kepada pelancong terlibat dalam kehidupan sehari-hari orang Belitung. Hidup bersama suku Sekak atau Orang Laut Belitung, tinggal bersama nelayan, atau ikut memanen lada, misalnya. ”Dengan kemasan itu, pelancong bisa menginap sampai sepekan di Belitung. Masyarakat juga merasakan dampak langsung,” ujar dia lagi.

Sementara Budi Setiawan (38) dari Kelompok Pencinta Lingkungan Belitung (KPLB) mengemas wisata konservasi. KPLB mengelola Pulau Kepayang untuk wisata dan konservasi penyu. Mereka mengembangkan wisata budaya dan konservasi mangrove di Pulau Mendanau. ”Salah satu paketnya, berpisah dari peradaban modern,” ujar Budi.

Pulau kecil yang dapat dicapai dengan menumpang perahu motor selama 40 menit dari Belitung itu memiliki beberapa daerah yang belum teraliri listrik. Sinyal telepon seluler tidak tersedia di sebagian wilayah di barat Belitung itu. ”Kami utamakan wisata minat khusus. Peneliti kemaritiman berbagai negara ingin meriset Pulau Mendanau dan sekitar Selat Nasik,” kata Budi.

Budi membuat daftar hal yang bisa diteliti di sekitar pulau itu, lalu ditawarkan kepada berbagai universitas dan lembaga penelitian di banyak negara. ”Mereka antusias sekali,” katanya.

KOMPAS/KRIS RAZIANTO MADA Jelajah hutan untuk mencari salah hewan khas Belitung, pelilean (Tarsius Bancanus sp), dapat menjadi salah satu alternatif wisata di Belitung, Kepulauan Bangka Belitung. Wisata Belitung tidak hanya di pantai dan laut. Hutan-hutan Belitung juga menawarkan alternatif wisata di pulau itu.
Di Batu Mentas, mereka mengelola kawasan konservasi pelilean (Tarsius bancanus sp) bersama masyarakat setempat. Hal serupa didapatkan Didi alias Madong dan kawan-kawannya di sekitar Bukit Peramun. ”Dulu, pelilean diburu karena dianggap membawa sial. Sekarang, kami mendapat penghasilan dari menjaga habitatnya,” ujar Didi.

Sayangnya, gairah kaum muda itu belum diimbangi pemerintah. Isyak dan Agus mengaku tidak paham apa rencana pemerintah terhadap dunia pariwisata. ”Saya tidak melihat APBD difokuskan untuk pariwisata,” ujar Isyak.

Agus menilai promosi pariwisata Belitung tidak fokus. Polanya cenderung konvensional dan kurang tepat sasaran. ”Promosi oleh pemerintah sudah sering. Tinggal diperbaiki kualitas metodenya,” kata Agus.

Agus dan Isyak juga menanti kepastian Bandara HAS Hanandjoeddin diperluas dan ditingkatkan statusnya. Dengan landasan 2.250 meter dan enam penerbangan sehari, bandara itu belum menjadi pintu masuk memadai bagi Belitung. ”Belitung perlu bandara dengan landas pacu lebih panjang dan penerbangan ke pasar baru, seperti Tiongkok atau Singapura,” ujar Agus. (Kris R Mada)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com