Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Diaspora Karnaval Pendalungan

Kompas.com - 05/07/2014, 12:08 WIB
MESKIPUN termasuk sebagai daerah agraris, Kabupaten Jember, Jawa Timur, berupaya menjelma sebagai daerah perdagangan dan industri berbasis sektor pertanian dan perkebunan. Untuk itu, pemerintah daerah mendorong masuknya berbagai investasi agar daerah itu terus berkembang.

Struktur ekonomi di Jember selama ini masih didominasi tiga sektor utama, yakni pertanian (35,49 persen); perdagangan, hotel, dan restoran (26,60 persen); serta industri (11,06 persen). Ketiga sektor ini memberikan kontribusi 73,15 persen.

Sektor yang mengalami percepatan pertumbuhan tertinggi adalah perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 11,68 persen. Pertumbuhan terendah dialami pertanian, hanya 4,51 persen.

Mengejar harapan itu diperlukan jiwa kewirausahaan yang tinggi, tangguh, dan kreatif. ”Untuk menggapai cita-cita itu, pengusaha muda harus tumbuh dan berkembang melalui kreativitas yang tinggi,” kata Rendra Wirawan, Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Kabupaten Jember.

Menumbuhkan ekonomi kreatif harus belajar dari alam dan kekayaan di daerah. Kabupaten Jember yang dibentuk Pemerintah Hindia Belanda pada 1 Januari 1927 memang tidak memiliki akar budaya khusus yang kuat, kecuali tradisi dan budaya pesantren.

Jember Fashion Carnaval

Jember dikenal sebagai daerah pendalungan, artinya hampir semua tradisi atau budaya yang ada dipunyai juga oleh daerah lain. Asal-usul warga Jember sebagian besar dari migrasi daerah tapal kuda (tapal kuda daerah yang memiliki tradisi dan budaya Madura) dan Mataraman (daerah yang memiliki kultur Jawa).

Budayawan dari Universitas Jember, Prof Ayu Sutarto, menyebutnya sebagai masyarakat pendalungan, tidak memiliki akar kesenian, budaya, dan tradisi yang kuat. Hampir sebagian besar warganya datang dari daerah asal masyarakat migrasi itu.

Hery Yuswadi dalam buku Pemetaan Kebudayaan di Propinsi Jawa Timur mengungkapkan, pendalungan adalah gambaran wilayah yang menampung beragam kelompok etnik dengan latar belakang budaya berbeda, yang kemudian melahirkan proses hibridisasi budaya. Jember Fashion Carnaval (JFC) lahir dari hasil hibridisasi budaya yang sangat kreatif oleh putra daerah, Dynand Fariz.

Setiap tahun sekumpulan anak muda yang berjumlah hampir 1.200 orang berparade di jalan sepanjang 3,6 kilometer, yang dijadikan tempat untuk memamerkan busana hasil rancangannya. Setiap tahun tema yang diangkat selalu berbeda, menyesuaikan dengan isu global yang terjadi tahun itu.

Sebagai contoh, ketika Aceh diterjang tsunami, tema yang diusung untuk JFC adalah tsunami. Juga saat digelar Piala Dunia sepak bola empat tahun lalu, dalam parade ada yang menampilkan tema dunia sepak bola.

”Sekarang ada enam provinsi yang kerja sama dengan JFC untuk menggelar karnaval, yakni Jawa Tengah, DKI Jakarta, Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, dan Bali,” kata Hendy Rendrawan dari manajemen JFC.

JFC mengilhami enam provinsi untuk menggelar kegiatan serupa. Agar terjadi standardisasi karnaval, baik secara nasional maupun internasional, dibentuk Asosiasi Karnaval Indonesia (Akari). Presiden Jember Fashion Carnaval Dynand Fariz ditunjuk sebagai Ketua Akari. JFC digelar rutin setiap Agustus.

Atraksi fashion di atas catwalk sepanjang 3,6 kilometer di jalan protokol pusat kota Jember itu ditonton sedikitnya 120.000 orang.

Menurut catatan Kantor Pariwisata dan Kebudayaan Jember, pengunjung yang datang setiap tahun sekitar 50.000 orang yang berasal dari luar Jember. Bahkan, tidak sedikit yang datang dari luar negeri. Mereka memiliki kepentingan dengan JFC, antara lain sebagai fotografer atau jurnalis.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com