Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kreativitas Dalam Kata-Kata

Kompas.com - 05/07/2014, 18:06 WIB
MESKIPUN berjualan kaus oblong, PT Aseli Dagadu Djokdja bukan perusahaan kaus. ”Dagadu tak pernah punya pabrik kaus. Kami perusahaan kreatif, karena yang kami ’jual’ kreativitas,” kata Direktur PT Aseli Dagadu Djokdja A Noor Arief.

Dagadu Djokdja adalah legenda dalam dunia perkausan di Yogyakarta dan Indonesia. Sebagian besar orang yang pernah berkunjung ke ”Kota Pelajar” itu pernah membeli, setidaknya melihat, kaus Dagadu.

Fokus pada kreativitas merupakan kunci kesuksesan Dagadu selama 20 tahun. Bermula pada Januari 1994, Dagadu hanya usaha kecil-kecilan sekelompok anak muda, sebagian besar kuliah di Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, yang menyukai desain grafis.

”Kaus itu awalnya dipakai teman-teman,” kata Arief. Keunikan desain Dagadu ternyata membuat kaus itu meledak di pasaran. Kini, penjualan Dagadu mencapai 1.200 kaus per hari. Pada 8 Desember 1994, harian Kompas memuat surat pembaca dari Nowo Yuliarso, pengelola Dagadu, yang menulis banyak kaus yang desainnya persis dengan Dagadu.

”Kami melawan pembajakan melalui media massa dan bertemu langsung dengan pelaku. Sekarang pembajakan jauh menurun,” kata dia.

Ciri khas kaus Dagadu adalah lokalitas Yogyakarta yang dibalut pelesetan kata. Contohnya, singkatan UN dari United Nations dipelesetkan menjadi United Ngayogyakarta. Desain lain, kata Jurassic Park dipelesetkan menjadi Jogja Asik Park.

Sasaran Dagadu adalah warga Yogyakarta yang bangga pada kotanya dan wisatawan yang membutuhkan cendera mata.

Selain Dagadu, ada sejumlah merek kaus yang mengangkat lokalitas, yang sebagian tak diproduksi. Belakangan muncul merek baru, salah satunya Jogist alias Jogja Istimewa. Saptuari Sugiharto (35) menyebut Jogist dibuat Saptuari pada 28 Maret 2011, saat polemik Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta memanas.

Salah satu desain kaus Jogist adalah Ngekep Tugu Jogja (Memeluk Tugu Jogja) karena ada mitos mahasiswa yang memeluk Tugu Yogyakarta akan cepat lulus kuliah.

”Jegol”

Kaus sebagai media mengungkapkan kreativitas juga dipilih Lalu Mauziarman atau Amang (24) yang memilih merek Jegol yang dalam bahasa Sasak berarti ’gila’.

”Nusa Tenggara Barat, khususnya Lombok, kaya sumber daya alam. Tinggal menunggu orang jegol dan kreatif untuk mengolah agar memberi manfaat bagi orang banyak,” ujar Amang.

KOMPAS/KHAERUL ANWAR Ujar-ujaran lokal, seni dan tradisi etnis Sasak Lombok, Nusa Tenggara Barat, menjadi artikel yang diangkat dalam kaus produk Jegol. Amang menunjukkan produk kausnya yang bertuliskan ”Tampi Asih” (terima kasih), dan instrumen ”Gendang Belek” (gendang besar).
Merek Jegol tercetus saat ia kuliah di Teknik Planologi Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. ”Saya harus membawa sesuatu yang bisa dibanggakan setelah menyelesaikan kuliah,” tutur dia.

Bersama enam rekannya asal Lombok, Amang merintis bisnis urban fashion, seperti kaus, kemeja, dan topi pada November 2008 dengan modal yang disisihkan dari kiriman orangtua masing-masing.

Dengan modal awal Rp 600.000, mereka mencetak kaus dengan desain kuliner Lombok, Bulayak The Sate. Bulayak adalah penganan khas berbahan baku beras, dibungkus daun kelapa. Juga cidomo (kereta khas dengan penarik seekor kuda). Selain ke teman asal Lombok yang kuliah di Malang, penjualan dilakukan dalam jaringan (daring/online).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com