Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saat Sultan Menyapa Rakyat

Kompas.com - 07/07/2014, 09:27 WIB

”Erau satu-satunya acara paling meriah di Kutai. Setelah Erau, sepi lagi,” kata Yulis (28) yang siang itu menonton delegasi dari Banglades menari di tepi Sungai Mahakam. Dia datang bersama dua anaknya.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sri Wahyuni mengatakan, pihaknya merancang ritual Erau menjadi obyek wisata. Tahun depan, jumlah delegasi dari negara asing dalam International Folk Art Festival akan ditambah agar Erau lebih meriah.

Multikultur

Posisi Kutai berada di bibir Sungai Mahakam yang bermuara ke Selat Makassar. Posisinya yang mudah diakses lewat jalur air itu menyebabkan banyak pendatang. Sejak awal berdiri, Kerajaan Kutai dekat dengan Jawa, terutama Kerajaan Majapahit dan Singosari. Ketika Singosari kalah dari Majapahit, beberapa pelariannya akhirnya menetap di Kutai.

Kutai juga menjalin hubungan baik dengan Kesultanan Makassar. Hingga sekarang, banyak orang Makassar beranak cucu di Kutai. Salah satu sultan Kutai, Aji Imbut alias Sultan Muslihuddin, merupakan keturunan Kutai berdarah Bugis. Bahkan, orang- orang Inggris di Singapura pun masuk lewat Selat Makassar.

Saat ini, warga Kabupaten Kutai Kartanegara terdiri atas sejumlah suku, antara lain Dayak, Bugis, dan Jawa. Sejak Kerajaan Kutai berdiri dan masih menganut agama Hindu hingga Islam, kemudian berubah menjadi kesultanan sampai sekarang, tidak pernah terjadi konflik horizontal secara terbuka. ”Sultan selalu dapat mengayomi rakyat, juga menengahi kami ada selisih,” ujar Rusdiansyah.

Sejak tahun 1947, Kutai menjadi Daerah Swapraja Kutai, lalu berubah lagi menjadi Daerah Istimewa Kutai tahun 1953. Pada 1999, Kutai mekar menjadi empat kabupaten, salah satunya Kabupaten Kutai Kartanegara, tempat Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura berdiri.

Peran kesultanan pun surut sejak berdirinya Pemerintah RI. Namun, Sultan tetap menjadi pemimpin tradisional yang disegani karena dinilai keturunan dewa. Ketika rakyat bingung dengan status tanah, misalnya, mereka akan menanyakannya kepada Sultan dan mematuhi keputusannya.

Watak terbuka, egaliter, penuh maaf, dan saling menghormati itu mereka pelihara lewat Erau. Saat Erau, seolah warga diingatkan kembali pentingnya mencintai Tuhan dan mengasihi sesama. Tak ada sikap saling memfitnah atau menjatuhkan. (Mohammad Hilmi Faiq)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com