Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Melestarikan Selera Bersama

Kompas.com - 13/07/2014, 16:15 WIB
APAKAH yang terjadi bila sejumlah jurnalis perempuan yang telah lama berkecimpung dalam pemberitaan memutuskan untuk kuliah lagi? Mereka mengikuti kuliah program pasca sarjana di Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti dengan fokus pada Kajian Kuliner Tradisional Indonesia.

Hasilnya adalah Akademi Kuliner Indonesia (AKI). Salah seorang pendiri AKI, Shinta Teviningrum, Senin (23/6/2014) petang, di Galeri Seni Kunstkring, Jakarta, mengatakan, mereka sebelumnya bekerja di sejumlah perusahaan media yang berbeda-beda. Berkarya untuk majalah kuliner, gaya hidup, dan sebagainya.

Bidang liputan gaya hidup yang banyak berkelindanan dengan beragam kuliner tradisi, masakan internasional, dan sebagainya membuat mereka merasakan pentingnya memperdalam pengetahuan itu. ”Setelah lama menjadi wartawan di lapangan, kami merasa perlu belajar dan sekolah lagi,” kata Shinta.

Hari itu AKI dideklarasikan. Sejumlah undangan menghadiri acara bertema ”Lenggak Lenggok Kuliner Betawi”. Beragam jenis makanan dan minuman khas Betawi turut disajikan. Aroma klasik membaui ruangan yang dipenuhi lukisan cat minyak di atas kanvas.

Shinta menambahkan, sebelum AKI didirikan ada semacam perasaan yang sama di antara mereka bahwa ilmu yang diperoleh selama di lapangan tidaklah cukup untuk pengembangan pengetahuan dan kemampuan.

Mereka kemudian bertemu dengan pengajar pasca sarjana Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti, Dr Santi Palupi. ”Ibu Santi mengatakan kepada kami bahwa ada program kajian kuliner tradisional yang bisa kami ikuti,” kata Shinta.

Syaratnya, mereka mesti mencari dan mengumpulkan peserta hingga sekitar 10 orang sebelum kelas tersebut bisa dimulai. Belakangan sembilan orang bergabung dalam program tersebut.

Mereka adalah Shinta Teviningrum, Berlianti Savitri, Theresia, Firta Hapsari, Linda F Adimijaya, Fajar Ayuningsih, Heni Pridia, Lila Muliani, Mulya Sari Hadiati, dan Inti Krisnawati. Namun, dalam perjalanan pendirian AKI, Inti mundur.

”Dasar kita adalah passion,” kata Shinta.

Ini membuat usia tidak menjadi pertimbangan utama karena fokus mereka ialah menimba dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Shinta mengatakan, itu tercermin dari rentang umur di antara mereka.

”Bu Linda usianya sekitar 60 tahun, sementara yang paling muda adalah Berli, sekitar 30 tahun,” kata Shinta.

Karena hasrat yang dimiliki, tak heran mereka menjadi mahasiswa yang cenderung paling aktif. Mereka juga selalu tiba lebih dahulu di ruang kelas, sekitar satu setengah jam sebelum perkuliahan dimulai.

Pertemuan dengan Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Prof Dr Murdijati Gardjito makin menambah keyakinan mereka. Jadilah AKI kemudian didirikan oleh delapan orang tersebut bersama-sama dengan Murdijati dan Santi.

Dokumentasi

Shinta mengatakan, tujuan AKI adalah mendokumentasikan segala hal tentang kuliner tradisional Indonesia. Kemudian hasilnya bakal diterbitkan dalam buku-buku yang mengupas mendalam kuliner tradisional Indonesia dalam bahasa populer.

KOMPAS/INGKI RINALDI Sebagian aktivitas di sela-sela pendeklarasian Akademi Kuliner Indonesia (AKI), di Galeri Seni Kunstkring, Jakarta.
”AKI juga menyelenggarakan sejumlah kegiatan seperti kursus singkat, seminar, talk show, dan wisata yang berkaitan dengan kuliner Indonesia,” ujar Shinta.

Ia menambahkan, hal itu penting dilakukan karena selama ini beragam informasi tentang kuliner tradisional Indonesia masih terpecah-pecah. Pendokumentasian dari berbagai narasumber dan sumber secara mendalam diharapkan menjadi referensi yang sahih.

Sejauh ini mereka sudah menghasilkan 30 Ikon Kuliner Tradisional Indonesia (IKTI) yang disusun bersama dengan sejumlah pihak dalam naungan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Sebanyak 30 IKTI yang terdiri atas ragam kuliner dari sejumlah daerah merupakan referensi atau patokan bagi dasar pengembangan kuliner Nusantara.

Sangat dibutuhkan

Food Safety Manager Hotel Borobudur Jakarta Issafyanto Syah mengatakan, peran yang diambil AKI untuk fokus pada kuliner tradisional Indonesia sangat dibutuhkan industri perhotelan dan pariwisata. Pasalnya, selama ini cenderung tidak ada pendalaman khusus tentang pendidikan kuliner tradisional Indonesia di sejumlah lembaga pendidikan tinggi ataupun akademi.

”Hanya ada 2 SKS (satuan kredit semester) tentang hal tersebut,” ujar Issafyanto.

Ini membuat belum ada chef yang benar-benar menguasai kuliner tradisional Indonesia lewat metode pembelajaran secara sistematis. Saat ini di setiap satu hotel dengan kelas bintang tiga ke atas paling tidak punya seorang chef yang mampu menyajikan kuliner Indonesia, tapi mereka bisa bukan karena belajar tapi karena pengalaman dan terpaksa,” katanya. (Ingki Rinaldi)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com