Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

”Joged Bumbung”, Tepis Citra Erotis

Kompas.com - 14/07/2014, 16:21 WIB
PULUHAN penonton, anak-anak, hingga orang tua memadati panggung Ayodya, Taman Budaya Denpasar, di pementasan Pesta Kesenian Bali XXXVI, Senin (7/7/2014). Sesekali mereka tertawa dan bertepuk tangan gembira.

Gemulai tarian Ni Nengah Yudhiarni (21), penari Sekaa (kelompok) Satya Kanthy, Desa Tegal, Kabupaten Bangli, Bali, memukau penonton. Dia pun mampu mengimbangi penonton yang sukarela menari bersamanya.

Itulah joged bumbung. Si penari menjadi penghibur penonton dan mengajak penonton yang bersedia satu per satu turut menari di panggung. Joged itu mirip dengan tari ngibing.

Erotis? Tentu tidak. ”Tiyang (saya) justru semangat bisa menari joged bumbung ini karena ingin menghapus pencitraan erotis dan negatif. Ini murni hiburan,” kata Yudhiarni.

Perempuan berparas ayu itu bangga bisa tampil untuk ke lima kalinya di pentas Pesta Kesenian Bali (PKB) mewakili daerah kelahirannya, Bangli. Senin siang itu dia tampil bersama empat teman perempuannya dan menari bergantian. Penonton ramai dan senang.

”Apalagi, keluarga mendukung dan berpesan agar bisa menjaga diri. Jadi, tiyang dan teman-teman tetap semangat melawan citra erotis itu dan yakin suatu saat citra tersebut akan hilang dengan sendirinya,” tutur Yudhiarni.

Pelestarian

Pembina Sekaa Satya Kanthy, I Putu Ganda Wijaya (68), mengatakan, joged bumbung pantas dilestarikan. Menurut dia, ini hiburan masyarakat yang murah meriah.

Selain itu, katanya, tak hanya melestarikan tarian, tetapi juga tabuhannya. ”Kami bisa melestarikan rindik (gamelan dari bambu) dan bebas berkreasi mengiringi penari,” kata Ganda.

Mengenai erotis, menurut Ganda, itu sudah menjadi komitmen di sekaa-nya. Ia menjelaskan antara penari dan sekaa sudah sepakat tidak memunculkan gerakan-gerakan erotis tersebut.

Pentas di panggung PKB pun tetap harus diseleksi di setiap kabupaten atau kota. Ganda pun bangga bisa lolos pentas di PKB yang dinilai sebagai kebanggaan bagi para seniman, khususnya di seni pertunjukan.

Sekali pementasan, menurut Ganda, ia menghabiskan sekitar Rp 7 juta dari bantuan Pemerintah Kabupaten Bangli. ”Memang tak menghabiskan banyak anggaran. Kami bangga tampil di pentas ini,” kata Ganda.

Hiburan prajurit

Joged bumbung berawal dari hiburan para prajurit perang sekitar tahun 1940. Tetabuhannya atau musik pengiringnya berupa bambu sederhana dan dikenal muncul di Buleleng (Bali bagian utara).

Penarinya pun para prajurit lelaki. Selain sebagai hiburan prajurit, perempuan masih dianggap tabu menari apalagi untuk tarian hiburan. Perempuan kala itu bisa mendapatkan cap negatif jika ketahuan menari di depan umum. Dia dianggap gampangan.

Dalam perkembangannya, perempuan bisa menari di depan umum. Itu diawali oleh pentas perempuan-perempuan kalangan bangsawan Ubud. Pementasan itu memotivasi perempuan menari di depan publik.

Pengamat seni pertunjukan sekaligus dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, I Wayan Dibia, menjelaskan, joged bumbung berkembang mengikuti zaman dan kreasi setiap daerah. Pada pementasan di panggung PKB, katanya, joged bumbung menjadi salah satu favorit pengunjung.

Favorit karena penari, penabuh, dan penonton berinteraksi. ”Penari pun harus memiliki kemampuan menjaga diri, tidak memancing gerakan yang eksotis, serta gerakan yang spontan sehingga penonton bisa turut menikmati,” kata Dibia.

Dalam buku Ilen-Ilen Seni Pertunjukan dari I Wayan Dibia, terbitan Bali Mangsi, Denpasar, disebutkan bahwa Bali kaya akan seni pertunjukan. Seni pertunjukan beragam, mulai dari seni tari, seni drama, karawitan, hingga pedalangan yang tergolong klasik sampai garapan modern.

Pertunjukan di Bali terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu seni pertunjukan yang disakralkan (terkait religi), seni pertunjukan yang boleh sebagai bebali (seni upacara), dan sebagai balih-balih (seni sekuler).

Selain itu, pertunjukan masih dipengaruhi gaya kedaerahan meski dengan tarian yang sama, seperti joged bumbung. Dibia yakin, selama penari, sekaa, dan penonton yang ikut ngibing itu bisa menjaga diri, otomatis citra erotis tersebut tak bakal ada.

Di pengujung joged bumbung di Pesta Kesenian Bali, tepuk tangan meriah mengakhiri penampilan Yudhiarni sebagai penari terakhir. ”Lega dan bangga rasanya,” ujarnya sambil menyeka peluh. (Ayu Sulistyowati)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com