Tempe ternyata jauh dari kata ndeso. Bahkan, pencintanya rela memproduksi sendiri di negeri-negeri yang jauh. ”Saya cinta Indonesia dan punya persentuhan pribadi. Dari situ saya dapat motivasi berbisnis tempe. Tempe buatan saya terkenal dari mulut ke mulut,” kata Ana Larderet, perempuan cantik asal Perancis.
Pertalian Ana dengan tempe berawal ketika ia kuliah satu tahun di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. ”Selama itu, saya jatuh cinta dengan tempe yang menjadi makanan kesukaan saya. Rasanya memang cocok di lidah,” tambah Ana.
Begitu pulang ke Perancis pada 2011, Ana sering merindukan rasa tempe. Beruntung, ia memiliki sahabat dekat, Rustono, yang memproduksi tempe di Jepang dan bersedia mengiriminya tempe dari Jepang ke Perancis. Dari Rustono pula Ana belajar memproduksi tempe.
Sebenarnya, menurut Ana, bisnis apa pun tidak bisa menjadi pekerjaan yang menyenangkan jika tidak ada tujuan yang lebih besar, jika tidak ada dampak sosial yang lebih luas. Tempe mewujudkan kesederhanaan dan nilai berbagi tersebut. ”Rasanya sederhana, gizinya sehat, dan pembuatannya tidak rumit,” ujarnya.
Tak hanya ke komunitas warga Indonesia, promosi tempe juga gencar menyasar mahasiswa di Swiss. Dari awalnya belum pernah mencicipi tempe, banyak mahasiswa yang kemudian kecanduan tempe. Sadar bahwa permintaan tempe tinggi, Ana semakin optimistis bahwa tempe bisa diterima oleh lidah Eropa.
Tentu saja, tambah Ana, perlu lebih banyak waktu dengan orang Eropa karena mereka belum tahu tentang tempe dan harus dididik dulu. ”Namun, saya tidak khawatir tentang masa depan tempe. Dengan strategi marketing yang tepat, tempe bisa menjadi sangat terkenal, apalagi produk vegetarian semakin dihargai,” kata Ana.
Begitu lulus S-2, Ana melanjutkan bisnis tempenya di Perancis. Sembari mengurus perizinan, ia terus memproduksi tempe. Tempe buatannya terbukti banyak disukai konsumen dengan harga berkisar 4 euro-8 euro (1 euro setara Rp 15.000). Ana bermimpi tempe buatannya bisa menembus restoran-restoran di Perancis dan menyebar ke negara lain di Eropa.
Tempe Jepang
Dengan bantuan teknologi komunikasi Skype, guru produksi tempe Ana, Rustono, segera memamerkan ruang produksi dan ruang penyimpanan tempe miliknya di Jepang. Di ruang penyimpanan itu, ia menyimpan stok tempe beku yang masa simpannya mencapai satu tahun. Tempe produksinya telah didistribusikan ke seluruh Jepang dengan harga 350 yen atau Rp 40.000 per 250 gram.
Padahal, selama beberapa bulan pertama, produksi tempenya tidak laku dijual. Ia juga sempat empat bulan gagal memproduksi tempe karena perbedaan suhu dan kelembaban udara. Pada 1998, Rustono membuat tempe pertamanya di dapur rumahnya di Otsu, Shiga. ”Imajinasi harus lebih besar dari masalah. Orang Jepang awalnya tidak yakin dengan wajah asing saya. Please, ini impian saya. Saya pertaruhkan seluruh hidup saya untuk ini,” ujarnya.
Rustono kemudian belajar proses pembuatan tempe kepada lebih dari 60 perajin tempe tradisional di Indonesia. Dengan memasukkan teknologi, ia mempertahankan suhu ruangan produksi di atas 30 derajat celsius sehingga produksi tempe tetap bisa berjalan meski musim salju. Hingga kini, Rustono memproduksi tempe dengan ragi dari Indonesia dan memakai air langsung dari mata air di daerah Kyoto.
Begitu mengantongi izin produksi, tempe itu ditawarkan ke beberapa hotel dan restoran. Jalan yang ditempuh ternyata tak mudah. Satu hari menawarkan tempe ke lima lokasi berbeda dan lima kali pula ia menerima penolakan. Gagal di lima tempat, keesokan harinya Rustono mendatangi 10 hingga 20 lokasi.