Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 15/07/2014, 09:43 WIB
TEMPE, makanan rakyat khas Indonesia, menembus dunia. Cita rasanya yang sederhana membuat warga dunia jatuh cinta. Pencinta tempe di luar negeri bahkan menjulukinya sebagai ”magic food”, makanan ajaib!

Tempe ternyata jauh dari kata ndeso. Bahkan, pencintanya rela memproduksi sendiri di negeri-negeri yang jauh. ”Saya cinta Indonesia dan punya persentuhan pribadi. Dari situ saya dapat motivasi berbisnis tempe. Tempe buatan saya terkenal dari mulut ke mulut,” kata Ana Larderet, perempuan cantik asal Perancis.

Pertalian Ana dengan tempe berawal ketika ia kuliah satu tahun di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. ”Selama itu, saya jatuh cinta dengan tempe yang menjadi makanan kesukaan saya. Rasanya memang cocok di lidah,” tambah Ana.

Begitu pulang ke Perancis pada 2011, Ana sering merindukan rasa tempe. Beruntung, ia memiliki sahabat dekat, Rustono, yang memproduksi tempe di Jepang dan bersedia mengiriminya tempe dari Jepang ke Perancis. Dari Rustono pula Ana belajar memproduksi tempe.

Sebenarnya, menurut Ana, bisnis apa pun tidak bisa menjadi pekerjaan yang menyenangkan jika tidak ada tujuan yang lebih besar, jika tidak ada dampak sosial yang lebih luas. Tempe mewujudkan kesederhanaan dan nilai berbagi tersebut. ”Rasanya sederhana, gizinya sehat, dan pembuatannya tidak rumit,” ujarnya.

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG Pasangan presenter Ivy Batuta dan Edu Napitupulu menyiapkan makan malam di tempat tinggalnya di kawasan Kemang, Jakarta, Rabu (9/7/2014). Hampir setiap hari Ivy Batuta menyantap tempe sebagai makanan favoritnya.
Tak ingin menunda berbisnis tempe, Ana segera memproduksi tempe sembari melanjutkan kuliah S-2 di Swiss. ”Saya memproduksi mulai dari nol. Berkali-kali gagal, busuk setiap kali, tetapi saya tidak menyesal. Saya mendekati diaspora warga Indonesia di Swiss. Setelah beberapa bulan, saya memperoleh pelanggan,” tambahnya.

Tak hanya ke komunitas warga Indonesia, promosi tempe juga gencar menyasar mahasiswa di Swiss. Dari awalnya belum pernah mencicipi tempe, banyak mahasiswa yang kemudian kecanduan tempe. Sadar bahwa permintaan tempe tinggi, Ana semakin optimistis bahwa tempe bisa diterima oleh lidah Eropa.

Tentu saja, tambah Ana, perlu lebih banyak waktu dengan orang Eropa karena mereka belum tahu tentang tempe dan harus dididik dulu. ”Namun, saya tidak khawatir tentang masa depan tempe. Dengan strategi marketing yang tepat, tempe bisa menjadi sangat terkenal, apalagi produk vegetarian semakin dihargai,” kata Ana.

Begitu lulus S-2, Ana melanjutkan bisnis tempenya di Perancis. Sembari mengurus perizinan, ia terus memproduksi tempe. Tempe buatannya terbukti banyak disukai konsumen dengan harga berkisar 4 euro-8 euro (1 euro setara Rp 15.000). Ana bermimpi tempe buatannya bisa menembus restoran-restoran di Perancis dan menyebar ke negara lain di Eropa.

Tempe Jepang

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Rekomendasi untuk anda
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com