Kudus juga identik dengan jenang yang inspirasi Syekh Jangkung, murid Sunan Kudus.
Di Desa Kaliputu, Kecamatan Kota, pengusaha jenang Menara, Masduki, mengatakan, jenang dahulu tidak diperjualbelikan. Jenang adalah hidangan wajib setiap kali ada hajatan, terutama pernikahan dan khitanan. Setelah datang banyak pesanan, segelintir warga memberanikan diri menjual di pasar secara kiloan dalam potongan besar.
”Seiring perkembangan zaman, jenang mulai dijual sebagai jajanan anak-anak di sekolah dan kemudian menjadi oleh-oleh peziarah,” kata Masduki.
Rasa, bentuk, dan kemasan juga mengalami inovasi. Ada jenang berbalut cokelat, rasa pandan, wijen, durian, dan stroberi. ”Kami mengemas jenang secara klasik dan modern, misalnya memakai anyaman daun pandan hutan, kertas, plastik, dan anyaman bambu,” kata dia.
Kerja sama dengan biro perjalanan juga dibangun, membuat paket wisata ziarah seraya mampir ke pusat produksi jenang.
Kini di Desa Kaliputu terdapat 48 industri jenang skala besar dan kecil, antara lain Menara, Mubarok, Karomah, Rizona, Kenia, dan Murni. Ada sekitar 960 warga bekerja dalam industri jenang dari total penduduk Desa Kaliputu sebanyak 2.094 orang.
Nama industri jenang itu bernuansa islami karena mengambil inspirasi dari syiar Islam Sunan Kudus dan Sunan Muria. ”Nama Jenang Menara tak sekadar mencerminkan Menara Kudus, tetapi mengandung semangat mengembangkan nilai menghargai keberagaman dan perbedaan,” kata Masduki.
Negeri ukir
Jepara dahulu juga pelabuhan kecil, disebut Ujung Mara, dengan populasi 90-100 orang yang hidup sebagai nelayan, tukang kayu, dan petani.
Ujung Mara berkembang menjadi pelabuhan besar dan pusat armada laut Kasultanan Demak pada masa pemerintahan Pati Unus (1507-1521), panglima armada laut Kasultanan Demak. Pada zaman Ratu Kalinyamat (1549 -1579), Jepara menjadi bandar niaga utama.
Pengembangan ukir dan kerajinan mebel kayu yang berkembang pesat tidak terlepas dari peran Sultan Hadirin, suami Ratu Kalinyamat, yang menghadirkan pengukir asal Tiongkok, Tjie Wie Gan. Pengukir yang dikenal sebagai Sungging Badar Duwung itu memberi sentuhan ukiran di Masjid Mantingan dan mengajarkan seni ukir kepada warga.
Pada era RA Kartini, seni ukir dan pertukangan berkembang ke pasar internasional, utamanya Belanda, melalui lembaga hubungan dagang Belanda dengan negara kolonial, Oost en West.
Upaya Kartini itu dimuat di majalah Belanda, Eigen Haard. Redaktur Eigen Haard dalam surat dukungan simpatiknya menyatakan, ”…Kartini membawa kerajinan ukir Jepara pada era baru. Ukir bukan lagi sebagai hasil seni yang tidak mampu menghidupi perajin, tetapi berkembang menjadi industri kerajinan yang menjanjikan harapan” (Mozaik Seni Ukir, 2013).
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Jepara mencatat, pada 2010 Jepara mengekspor mebel ke 99 negara senilai Rp 1,013 triliun, kerajinan kayu dan tangan ke 14 negara senilai Rp 5,896 miliar, dan kayu olahan ke 18 negara dengan nilai devisa Rp 13,070 miliar.
Perajin kayu dan ukir, yang semula hanya memproduksi perabotan, mulai memproduksi aneka ragam miniatur benda, seperti kapal pinisi, mobil VW, dan motor Harley Davidson.
”Saat permintaan mebel sepi, saya bisa menjual miniatur kapal, mobil, dan sepeda motor sebagai cendera mata,” kata Taufiqqur Rohman (32), perajin di Desa Bapangan, Kecamatan Kota.
Mereka juga mengembangkan corak ukir ke arah minimalis bernuansa Barat.
”Kami terus membuka diri belajar mengukir motif dan aneka bentuk patung baru, termasuk membuat desain ukir menggunakan komputer,” kata Faiq (35), pengukir di Desa Mulyoharjo, Kecamatan Kota. (HENDRIYO WIDI)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.