Jarum jam menunjuk lepas pukul 10.00 Wita, beberapa saat lalu. Namun, matahari masih redup menyinari Sade akibat terhalang mendung. Kesibukan mencolok tampak di beruga, semacam balai tradisional mirip gazebo yang berada di belakang area parkir, tepat di pinggir jalan utama Sengkol-Kuta di NTB.
Puluhan warga berbagai usia berkumpul. Sebagian menikmati sajian nasi dengan sayur kedelai yang hanya diberi bumbu asam dan garam, sebagian sibuk membuat kulit ketupat, dan sisanya memasak di tungku kayu. Saat itu, sebagian warga Sade tengah mempersiapkan tradisi ngenguris atau ngurisan, sebuah ritual memotong rambut pertama bayi yang baru lahir.
Puncak acara ngenguris sendiri dilaksanakan keesokan harinya di makam leluhur. Masyarakat Sasak di Sade masih teguh memegang tradisi. Dan, kegiatan itu dilaksanakan secara gotong royong dari awal hingga usai. ”Ayo, siapa pun boleh datang dan ikut menikmati,” ujar seorang warga sambil menyodorkan sepiring nasi.
Sementara itu semakin siang wisatawan yang datang ke Sade silih berganti, terutama wisatawan lokal. Mereka tiba dalam kelompok kecil dan langsung disambut oleh pemandu yang notabene merupakan pemuda setempat. Mengenakan sarung dan ikat kepala, mereka ramah menjelaskan kondisi sosial dan sejarah perkembangan kampung mereka.
Seusai mendapat penjelasan singkat di halaman beruga sekanam, wisatawan langsung diajak menyusuri perkampungan. Wisatawan memang bukan hal baru di mata orang Sade, termasuk anak-anak. Mereka fasih merayu wisatawan agar membeli cendera mata, mulai dari gelang, kalung, gantungan kunci, hingga tentu saja kain tenun buatan orangtuanya.
Semua menenun
”Semua warga di sini menenun meskipun mereka punya lahan. Rata-rata lahan di sini sempit. Saya sendiri belajar menenun sejak kecil, saat berumur 10 tahun,” ujar Naya’an (40), yang tengah menyelesaikan sebuah songket di depan rumahnya. Perempuan Sasak bisa menghabiskan waktu satu bulan untuk menenun songket. Sementara untuk ukuran yang lebih kecil, seperti taplak meja atau sajadah, hanya membutuhkan waktu satu minggu.
Tenun Sasak memiliki banyak motif, di antaranya sabuk antang, subhanala, tapok kemolo, dan ragi genep. Namun, dalam perkembangannya, saat ini ada beberapa produk buatan luar desa yang dijual di Sade, seperti tas. Bahan tas berasal dari tenun karya warga Sade. Oleh karena tidak ada mesin jahit, kain itu dijahit di luar. Semua produk dihargai bervariasi, mulai puluhan sampai ratusan ribu, tergantung jenis dan ukuran.
Selain kain, rumah tradisional menjadi salah satu obyek menarik. Saat ini, ada 150 rumah tradisional dengan jumlah penghuni sekitar 700 jiwa di kampung itu. Ada lima bentuk bangunan di dalamnya, yakni beruga sekenam yang biasa dipakai sebagai tempat musyawarah memecahkan masalah, sunatan, dan perkawinan; beruga sekebat untuk kegiatan seperti akikah; balai jajar, balai kodong, dan balai tani. Selain itu, ada lumbung yang bentuknya khas.
Rumah orang Sasak umumnya terdiri atas dua ruang. Ruang depan untuk orangtua dan anak, sedangkan ruang belakang untuk dapur, tempat tidur gadis, dan tempat melahirkan. Orang Sasak tidak mengenal lamaran sehingga untuk menikah si pria harus membawa lari si perempuan atau kawin lari. Setelah itu mereka baru memberi tahu orangtua.
Selain dua ruang, rumah tradisional suku Sasak memiliki teras rendah dengan tangga tiga buah. Semua itu memiliki filosofi. Teras rumah yang rendah mengandung maksud agar tamu merunduk. Ada atau tidak pemilik rumah, mereka yang hendak bertamu pasti merunduk. Adapun jumlah anak tangga melambangkan supaya kita semua ingat kepada Yang Maha Kuasa, ingat kepada ibu, dan kepada ayah.
”Perkampungan ini berdiri sejak 1907 dan tahun 1979 sudah menjadi tempat wisata. Dahulu, semua rumah di kawasan ini adalah tradisional. Namun, sebagian kini berubah dengan rumah model baru, yakni mereka yang tinggal di luar kampung. Yang tinggal di dalam kampung Sade ini merupakan generasi kelima belas,” ujar Ariyadi (23), warga setempat.
Begitulah aktivitas keseharian yang melekat dengan dunia pariwisata menjadi denyut nadi warga Sade yang terus berputar. Kearifan mereka merupakan modal untuk bisa bertahan sekaligus mengikuti perkembangan zaman tanpa meninggalkan tradisi. Abdul Manaf (23), salah satu pemandu wisata, mengatakan, rata-rata pengunjung mencapai 500 orang per hari. Pengunjung ramai waktu libur sekolah atau sekitar bulan Agustus. (Defri Werdiono)
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.