Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ayuni Aristia Falastari, Menjaga Kelestarian Tari-tarian Lombok

Kompas.com - 20/07/2014, 14:23 WIB
KALAU SENI dan budaya tradisi Indonesia diklaim negara lain, itu sudah ”lagu lama”. Kita seharusnya bisa mendendangkan ”lagu baru” berupa kerja yang konkret agar beragam seni budaya Nusantara bisa tetap terjaga dan lestari. Khususnya bagi kaum muda, seharusnya mereka mau mengenal dan menekuni khazanah budaya bangsanya sendiri.

Dalam konteks tersebut, sosok Ayuni Aristia Falastari yang baru berusia 20 tahun mempunyai peranan penting, setidaknya bagi masyarakat di sekitarnya. Perempuan berpanggilan akrab Las ini memiliki obsesi melindungi seni tari Lombok dari ancaman kepunahan.

Las, warga Desa Lenek, Kecamatan Aikmel, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, ini tidak hanya berusaha melindungi seni tari Lombok dengan cara menguasainya, tetapi dia pun berusaha menginventarisasi dan mendokumentasikannya.

Posisi Las kian penting karena sampai sekarang bisa dikatakan dokumentasi dan inventarisasi tari-tarian Lombok amat minim. Las tidak hanya menguasai tari-tarian Lombok, tetapi dia juga berusaha mengajak teman-temannya, generasi muda, untuk mendalami tradisi seni lokal ini.

Meski untuk obsesinya itu, Las tidak jarang harus menghadapi masukan, tantangan, ataupun kritik dari sebagian orang tentang tari-tarian Lombok. Salah satu contohnya tentang seni tari dan gamelan Lombok yang dinilai kental oleh pengaruh Bali.

Hal itu sulit dimungkiri karena salah satu kerajaan Bali pernah melakukan ekspansi ke Lombok. Dalam masa ekspansi tersebut, sangat terbuka kemungkinan munculnya asimilasi budaya antara warga pendatang dan warga lokal.

Pada masa itu, baik warga pendatang maupun warga lokal bisa saling mengambil dan saling memberi budaya masing-masing sehingga terciptalah seni tari Lombok, seperti yang ditemukan dan dipelajari Las sekarang ini.

Oleh karena itu, Las enggan mempertentangkan hal tersebut. Alasan dia antara lain karena kebudayaan bersifat universal dan kesenian Lombok sekarang ini dalam proses ”menjadi”, bukan lagi pada proses ”menemukan”.

Langgam gerakan

Bagi Las, menjaga kesenian tradisional bukan berarti saling klaim peninggalan nenek moyang suatu puak. Oleh karena universalitas tersebut, tidak heran apabila seni tari Lombok memiliki pengaruh dari luar meski langgam gerakan tariannya tetap mempunyai warna lokal.

Salah satu contohnya, gerakan kaki dalam tari Lombok umumnya hanya dengan mengangkat kaki sampai sebatas di bawah lutut. Begitu pula dengan gerakan tangannya yang cenderung lebih ”lembek” dibandingkan tarian Bali yang umumnya lebih ”tegas”.

Gerakan tangan pada tarian Lombok pun tidak sampai diangkat hingga sejajar dengan bahu sang penari, seperti umumnya tarian Bali. Selain itu, pada gerakan bola mata (nyeliet dan nyeledet) juga tidak selincah gerakan bola mata para penari tarian Bali.

Perbedaan lainnya, pada tarian Bali umumnya ekspresi raut wajah sang penari menjadi salah satu faktor penting. Sementara pada tarian Lombok, penari tampil nyaris tanpa perubahan mimik.

Mengajar

Bagi sebagian orang, mungkin sulit memahami hal-hal tersebut, tetapi bagi mereka yang menekuni dunia tari, kekhasan masing-masing tarian Nusantara bisa diketahui dan dipahami.

Las yang menekuni tarian Lombok, misalnya, bisa membedakan gerakan-gerakan tarian khas Lombok dan gerakan khas tarian dari daerah lain.

Sama seperti nasib tarian tradisional di daerah lain, kaum muda umumnya kurang bersemangat untuk mempelajarinya. Namun, Las memilih untuk menekuni sekaligus melestarikan tarian Lombok.

Kini, dia menguasai 10 tarian Lombok, seperti tari Gagak Mandiq (karya maestro tari dan penabuh gamelan Lombok, Amak Raya), tari Gandrung, tari Tangis, dan tari Mataq (panen). Selain itu, Las juga tengah mempelajari 10 tarian lain, di antaranya tari Selaparang, tari Tandak Gero, dan tari Rantok.

Dia juga memiliki 45 murid, dari siswa SD sampai SMA. Dia melatih 25 murid tiga kali seminggu di Rumah Budaya Lenek dan 20 murid lainnya berlatih di Sanggar Seni Bebadosan di kampungnya, Desa Lenek, dua kali seminggu.

Di samping itu, Las juga melatih tari untuk para pelajar di sekolah yang mengajarkan seni tari sebagai muatan lokal di Desa Lenek. Para pelajar ini minimal harus bisa membawakan satu tarian untuk mendapatkan nilai di rapor mereka.

Las bersama anak didiknya kerap diminta mengisi berbagai acara di tingkat kecamatan sampai Pemerintah Kabupaten Lombok Timur. Las juga menjadi duta seni, seperti pada Bulan Citra Budaya NTB 2011 di Sumbawa Besar, Pulau Sumbawa. Dia juga sering diminta menari untuk menyambut tamu-tamu penting.

Keluarga seniman

Persinggungan Las dengan seni tari dimulai sejak duduk di kelas I SD. Awalnya, sang ayah, Ruslan Efendi, yang mengajari dia menari. Sang ayah adalah seorang penabuh gamelan.

Ketika ayahnya meninggal, Las belajar menari dari sang ibu, Kamiwati, dan kakaknya, Elya Arisanti, yang juga penari. Selain kepada mereka, dia juga belajar menari dari beberapa seniman tari di desanya.

”Waktu masih kecil, saya suka mengintip kalau ada kakak-kakak yang sedang berlatih menari,” ujar anak ketiga dari tiga bersaudara ini.

Dari sekadar sebagai penonton, Las lalu mempraktikkan sendiri hasil pantauannya. Selagi rumahnya sepi, dia mengurung diri di kamar, memutar gending, lalu menirukan gerakan-gerakan tari yang dia lihat.

”Hanya sekitar dua kali melihat orang menari, saya bisa lancar menarikan satu tarian,” ungkap dia.

Ada rekan sebaya yang menyindir dia karena menekuni tari tradisional. Namun, Las memilih mengikuti kata hatinya. Dia menyadari tarian tradisional kurang mendapat perhatian, bahkan lambat laun bisa hilang karena semakin tak diminati generasi muda.

Komitmennya itu membuat Las berusaha memenuhi permintaan menari sekalipun tidak dibayar. ”Dalam dunia seniman di Lombok dikenal ungkapan culuk menang, talo perasak atau yang penting dapat menghibur orang, saya sudah senang,” kata dia.

Dengan prinsip itu, penghasilan Las tidak menentu. ”Kalau pentas resmi, saya mendapat honor sekitar Rp 150.000,” ucap Las. Sementara honornya sebagai pengajar tari di sekolah relatif kecil, Rp 50.000 untuk berapa pun jumlah muridnya.

Meski penghasilannya terbatas, Las berharap suatu hari nanti bisa mengenyam bangku kuliah di perguruan tinggi yang membuka jurusan seni tari. ”Saya ingin punya pengetahuan teori, enggak cuma bisa menari karena praktik,” ujar Las. (KHAERUL ANWAR)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com