Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Agustinus Ongge, Upaya Melestarikan Ukiran Kayu dan Lukisan Sentani

Kompas.com - 26/07/2014, 12:45 WIB

Pada 1992, dia meraih juara II tingkat nasional dalam kegiatan Industry Trade Tourism di Jakarta, untuk kategori Seni Lukis Kulit Kayu.

Agustinus merasa senang sebab lukisan kulit kayu bermotif Sentani umumnya mendapat apresiasi dari berbagai pihak setiap kali dia mengikuti pameran.

”Mereka menganggap lukisan saya merupakan salah satu hasil kebudayaan dunia. Atas saran mereka pula, saya kemudian membuka sanggar yang khusus mengajarkan tentang kebudayaan Sentani,” ujarnya.

Selain memajang hasil karyanya di sanggar, hasil karya Agustinus juga bisa kita nikmati di sejumlah tempat ibadah di Kota Jayapura. Salah satunya di Gereja Katedral Kristus Raja, Jayapura.

”Saya bangga bisa menampilkan hasil karya di tempat ibadah. Buat saya, Tuhan telah memberikan hikmat untuk mengerjakan karya seni ini,” kata dia.

Berbagi

Keinginan melestarikan budaya Sentani membuat Agustinus selama puluhan tahun tak meminta bayaran kepada muridnya yang belajar ukir kayu dan lukisan Sentani. Bahkan, dia menggunakan uang pribadi dari hasil penjualan karyanya untuk membeli peralatan bagi para murid, seperti kuas dan cat.

”Semua murid saya mendapatkan ilmu dengan gratis. Syaratnya, mereka punya motivasi yang kuat dan mau belajar. Sebab, melukis atau membuat ukiran kayu dengan motif Sentani ini relatif sulit. Kalau saya bisa berbagi ilmu dan anak-anak itu mampu menguasainya, kepuasan batin ini tak terkira,” ujar dia.

Agustinus menambahkan, sebenarnya dia mulai membagikan ilmu mengukir kayu dan melukis motif Sentani sejak 1989 di Pulau Asei. ”Waktu itu, sekitar 10 anak, keponakan yang menumpang di rumah, menjadi murid saya yang pertama,” cerita dia.

Kepiawaiannya melukis dan mengukir motif Sentani membuat Agustinus merasa wajib melestarikan hasil kesenian yang diwariskan leluhurnya sejak enam generasi yang lalu. Selain itu, motif-motif tersebut juga mengandung filosofi kehidupan sehari-hari masyarakat Sentani.

”Motif Kha yang berlambang ikan, misalnya, mengandung makna kehidupan nelayan Sentani yang sejahtera. Sementara motif Fou yang berlambang lingkaran, bermakna ikatan hubungan kekeluargaan yang tak boleh terputus,” ujarnya.

Meski mengaku tak mudah mengajari anak-anak berusia sekitar 10 hingga 11 tahun, dia tak putus asa. ”Anak seusia mereka memang lebih suka bermain daripada berlatih. Sering terjadi, di tengah sesi latihan melukis, anak-anak malah main kejar-kejaran. Kalau sudah begini, saya biarkan sebentar, baru saya bujuk agar mereka kembali konsentrasi berlatih,” kata Agustinus. (Fabio Maria Lopes Costa)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com