Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Agustinus Ongge, Upaya Melestarikan Ukiran Kayu dan Lukisan Sentani

Kompas.com - 26/07/2014, 12:45 WIB
MELESTARIKAN kebudayaan daerah bagi sebagian orang masih dipandang sebelah mata. Oleh karena itu, di sini dibutuhkan orang dengan dedikasi yang konsisten. Hal inilah yang dibuktikan Agustinus Ongge, warga Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua. Hampir 25 tahun Agustinus mengajari ratusan anak-anak setempat tentang kebudayaan berbagai motif ukiran kayu dan lukisan kulit kayu khas Sentani.

Ketika kami menemui Agustinus bersama seorang rekannya, Martha Ohe, pada pembukaan Festival Danau Sentani di Kampung Khalkote, Sentani, pertengahan Juni lalu, wajah pria berusia 60 tahun itu tampak serius. Dia tengah mengawasi 12 anak binaannya yang begitu antusias melukis berbagai motif khas Sentani di atas kulit kayu.

Rupanya Agustinus dan anak-anak tersebut sedang berupaya menciptakan rekor Muri dengan membuat lukisan khas Sentani di atas kulit kayu sepanjang 100 meter. Sebanyak 100 motif yang dilukis anak-anak itu antara lain bermotif Fou dalam bentuk lingkaran dan motif Kha dalam bentuk ikan.

Jerih payah mereka tidak sia-sia, sekitar satu jam kemudian, Manajer Muri Paulus Pangka menyatakan hasil kerja Agustinus dan Martha serta anak-anak tersebut layak dicatatkan sebagai rekor baru.

”Penciptaan rekor Muri ini semata-mata bertujuan untuk memperkenalkan kebudayaan motif Sentani ke seluruh pelosok Indonesia dan dunia internasional. Murid-murid saya telah mengerjakan semua lukisan ini selama sekitar sebulan,” ujar Agustinus.

Dia kemudian bercerita, 12 anak yang melukis itu adalah sebagian dari sekitar 50 anak yang sekarang sedang dibina di sanggar miliknya. Sanggar yang dia beri nama Sentani Art itu baru didirikan Agustinus sekitar setahun yang lalu. Sanggar tersebut mengambil tempat di rumahnya, di Kompleks BTN Kampung Harapan, Kabupaten Jayapura.

Selain menjadi tempat untuk mengajari anak-anak berbagai motif ukiran dan lukisan Sentani, dia juga memajang hasil karya lukisan kulit kayu di Sentani Art. Semua karya itu bisa dibeli pengunjung. Selain di Jayapura, Agustinus juga membuka Sentani Art di Singapura.

”Respons masyarakat internasional terhadap lukisan kayu atau ukiran kayu dengan motif asli Sentani bisa dikatakan tinggi. Oleh karena itu, saya berkomitmen untuk terus mempertahankan kerajinan tradisional ini. Salah satu caranya, saya berusaha mengajari anak-anak yang berminat mempelajari ukiran dan lukisan motif Sentani sebaik mungkin,” kata ayah dari delapan anak ini.

Sebelumnya, Agustinus pernah membuka sanggar di kampung halamannya, Pulau Asei, Sentani. Sanggar itu dia beri nama Wayo Art.

”Saya mengajar sekitar 150 anak di Wayo Art dari tahun 1992 hingga 2013. Sekarang, banyak murid saya yang telah membuka usaha kerajinan ukiran kayu dan lukisan bermotif khas Sentani. Ini membahagiakan,” tutur Agustinus yang juga menjadi Koordinator Bidang Kebudayaan dan Kesenian Dewan Adat Sentani.

Otodidak

Agustinus pertama kali mengenal motif lukisan dan ukiran kayu Sentani dari orangtuanya, pasangan Markus Ongge dan Dorkas Kere, pada 1974. Dia bercerita, waktu itu, ia duduk di kelas I SMP dan telah mampu membuat lukisan motif Sentani di atas kulit kayu.

”Melihat bagaimana orangtua bekerja, saya bisa menggambar motif khas Sentani setelah belajar secara otodidak sekitar dua tahun,” kata dia.

Setelah mahir menguasai ukiran dan lukisan motif Sentani, Agustinus mulai memamerkan karyanya pada sejumlah kegiatan di Jayapura. Alhasil, tak sedikit orang yang mengapresiasi karya dia.

Pada 1985, salah satu karya lukisan kayunya mengantar Agustinus menjejakkan kaki di Jakarta untuk pertama kali. Waktu itu, dia terpilih mengikuti Pameran Produksi Indonesia yang digelar di Taman Mini Indonesia Indah.

Pada 1992, dia meraih juara II tingkat nasional dalam kegiatan Industry Trade Tourism di Jakarta, untuk kategori Seni Lukis Kulit Kayu.

Agustinus merasa senang sebab lukisan kulit kayu bermotif Sentani umumnya mendapat apresiasi dari berbagai pihak setiap kali dia mengikuti pameran.

”Mereka menganggap lukisan saya merupakan salah satu hasil kebudayaan dunia. Atas saran mereka pula, saya kemudian membuka sanggar yang khusus mengajarkan tentang kebudayaan Sentani,” ujarnya.

Selain memajang hasil karyanya di sanggar, hasil karya Agustinus juga bisa kita nikmati di sejumlah tempat ibadah di Kota Jayapura. Salah satunya di Gereja Katedral Kristus Raja, Jayapura.

”Saya bangga bisa menampilkan hasil karya di tempat ibadah. Buat saya, Tuhan telah memberikan hikmat untuk mengerjakan karya seni ini,” kata dia.

Berbagi

Keinginan melestarikan budaya Sentani membuat Agustinus selama puluhan tahun tak meminta bayaran kepada muridnya yang belajar ukir kayu dan lukisan Sentani. Bahkan, dia menggunakan uang pribadi dari hasil penjualan karyanya untuk membeli peralatan bagi para murid, seperti kuas dan cat.

”Semua murid saya mendapatkan ilmu dengan gratis. Syaratnya, mereka punya motivasi yang kuat dan mau belajar. Sebab, melukis atau membuat ukiran kayu dengan motif Sentani ini relatif sulit. Kalau saya bisa berbagi ilmu dan anak-anak itu mampu menguasainya, kepuasan batin ini tak terkira,” ujar dia.

Agustinus menambahkan, sebenarnya dia mulai membagikan ilmu mengukir kayu dan melukis motif Sentani sejak 1989 di Pulau Asei. ”Waktu itu, sekitar 10 anak, keponakan yang menumpang di rumah, menjadi murid saya yang pertama,” cerita dia.

Kepiawaiannya melukis dan mengukir motif Sentani membuat Agustinus merasa wajib melestarikan hasil kesenian yang diwariskan leluhurnya sejak enam generasi yang lalu. Selain itu, motif-motif tersebut juga mengandung filosofi kehidupan sehari-hari masyarakat Sentani.

”Motif Kha yang berlambang ikan, misalnya, mengandung makna kehidupan nelayan Sentani yang sejahtera. Sementara motif Fou yang berlambang lingkaran, bermakna ikatan hubungan kekeluargaan yang tak boleh terputus,” ujarnya.

Meski mengaku tak mudah mengajari anak-anak berusia sekitar 10 hingga 11 tahun, dia tak putus asa. ”Anak seusia mereka memang lebih suka bermain daripada berlatih. Sering terjadi, di tengah sesi latihan melukis, anak-anak malah main kejar-kejaran. Kalau sudah begini, saya biarkan sebentar, baru saya bujuk agar mereka kembali konsentrasi berlatih,” kata Agustinus. (Fabio Maria Lopes Costa)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com