Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ukat Mulyana, "Robot" Sisingaan dari Cimaung

Kompas.com - 06/08/2014, 16:07 WIB

Sekelompok seniman waktu itu melakukan perlawanan dengan membuat sisingaan atau singa-singaan. Harimau atau singa digambarkan sebagai binatang buas dan jahat. Maka, mereka membuat dua boneka sisingaan yang melambangkan Singa Belanda dan Singa Inggris.

Dalam setiap pergelaran, kedua patung singa itu ditumpangi anak-anak. Simbolisasi ini merupakan pesan bahwa generasi yang akan datang harus mampu ”menunggangi singa-singa” itu, tidak sebaliknya seperti para orangtua mereka. Oleh karena itu, hingga kini dalam setiap pergelaran sisingaan selalu ditampilkan dua patung singa yang ditumpangi anak-anak.

Berkembang

Tahun 1978 grup sisingaan Setiawargi tampil memukau di Balai Sidang Jakarta. Kelompok seni rakyat itu berhasil keluar sebagai juara nasional setelah mengalahkan seni-seni tradisi yang dipentaskan oleh 27 utusan provinsi dari seluruh Indonesia. Sejak itu Ukat juga mendapatkan surat keputusan (SK) dari Mendikbud sebagai pegiat kesenian rakyat.

Di Kabupaten Subang, sisingaan tumbuh dan berkembang karena apresiasi masyarakat masih tinggi. Seni ini biasanya ditanggap (diundang) oleh keluarga yang menyelenggarakan hajat khitanan untuk anak-anaknya.

”Kalau anak dikhitan, rasanya kurang sempurna hajatannya apabila tidak nanggap sisingaan,” ujar Teguh Meinanda (56), tokoh masyarakat Desa Tambakmekar.

Oleh karena itulah pada musim khitanan, biasanya pada bulan Islam, Rayagung (Zulhijah) dan Maulud, grup-grup sisingaan Subang sedang marema atau banyak undangan. Di samping hari-hari besar kenegaraan, setiap minggu pada musim ramai itu Lingkung Seni Setiawargi bisa tampil dua kali di tempat berbeda.

Ukat biasanya membawa 25 personel, mulai dari tukang pikul dua patung sisingaan hingga tukang kendang dan tukang ngibing atau pencak. Sebelum dikhitan, biasanya anak itu menunggang patung sisingaan yang dipikul empat orang berkeliling kampung. Keempat orang itu juga ikut berjoget seirama mengikuti ketukan kendang.

Di belakang mereka, puluhan orang sekampung ikut berjoget sambil berjalan beriringan, mengikuti irama kendang dan musik pengiring yang dikeraskan lewat sound system. Iring-iringan sisingaan itu bak pesta rakyat, beriringan di pinggir jalan-jalan perkampungan atau jalan raya.

Sekali tampil, setiap anak buahnya rata-rata mendapat honor Rp 100.000. Sebagai pimpinan rombongan, Ukat mendapat tiga kali lipatnya ditambah sewa sound system Rp 800.000. Tarif undangan sisingaan rata-rata Rp 3 juta-Rp 3,5 juta.

”Adakalanya (kami) dibayar lebih, tetapi ada juga yang kurang dari itu. Kami biasanya maklum saja jika kekurangannya dibayar cap nuhun,” seloroh Ukat.

Kekurangan bayaran itu akan sirna oleh keharuan yang tak ternilai setelah Ukat melihat keluarga yang punya hajat bahagia dan bangga bisa menggelar sisingaan. (Dedi Muhtadi)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com