Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 26/08/2014, 18:07 WIB

Warna-warna yang cerah dan menyala lebih disukai pelanggan Ayu. Endek bermotif gringsing jadi pilihan buat mereka yang tidak mampu membeli tenun gringsing asli. Endek memunculkan beragam corak dari pewarnaan benang pakan (benang yang disisipkan melintang di antara untai benang lungsin). Kombinasi pewarnaan ikat dan colet pada benang pakannya membuat endek klasik kaya warna ketimbang kain tenun ikat yang lain.

Merana

Berawal dari puri para bangsawan, tenun Bali mengalami pencanggihan dalam segala lingkup tradisi puri. Hingga tibanya zaman industrialisasi tenun Bali yang mengubah arah sejarah endek. Pemilik Pertenunan Berdikari di Singaraja, Bali, Ni Nyoman Sujani, menyebutkan, para penenun endek meninggalkan alat tenun tradisional Bali, cagcag, sejak tahun 1960-an.

Dengan teknik pewarnaan ikat dan colet benang pakannya, Pertenunan Berdikari merekonstruksi berbagai motif klasik tenun endek koleksi Sujani. Sejak 1960-an, penggunaan alat tenun bukan mesin (ATBM) dan pewarna kimia membuat produksi endek melimpah, tetapi baru tahun 1980-an endek berjaya. Endek memasyarakat antara lain berkat gagasan Gubernur Bali Ida Bagus Mantra yang melombakan desain motif tenun endek tahun 1980.

”Berkat Gubernur Ida Bagus Mantra, endek dikenakan dalam berbagai busana nasional. Presiden Soeharto pun pernah memakai kemeja berbahan tenun endek,” ujar Sujani.

Kejayaan endek juga dirasakan pemilik tenun ikat sekar jepun, Etmy Kustiyah Sukarsa, yang memproduksi endek sejak 1985. Presiden Megawati Soekarnoputri pernah memesan endek sekar jepun. ”Saya tidak berambisi menerima pesanan ribuan meter. Saya jual seni,” kata Etmy sambil menunjukkan pesanan endek dari desainer Didiet Maulana.

Rona endek digenapi kreasi tenun patra desainer tekstil I Gusti Made Arsawan yang dua tahun terakhir menggarap teknik ikat, colet, dan cat semprot (air brush) dalam pewarnaan benang pakan. Dengan mempertahankan ”rancang bangun” tenun endek, I Gusti Made Arsawan mengadopsi berbagai pakem pepatra ukiran arsitektur Bali sebagai motif. Setiap motifnya yang ditenun tunggal pun naik catwalk.

”Dengan air brush, kami bisa mewarnai benang pakan dengan belasan warna, membuka kemungkinan untuk motif yang lebih rumit dan detail,” kata I Gusti Made Arsawan. Ia juga berkolaborasi dengan para desainer, seperti Edward Hutabarat, Samuel Wattimena, dan Didiet Maulana.

Endek karya Ida Bagus Adnyana, pemilik perusahaan tenun Putri Ayu di Gianyar, pun dipinang menjadi busana para pemimpin negara peserta KTT APEC. Ida Ayu Selly Fajarini, istri Wali Kota Denpasar Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra, seperti seorang ”duta endek”, getol mengenakan kain endek untuk berbagai busana kasual rancangannya. ”Endek produksi massal kompetitif dalam harga dan nyatanya cocok diolah menjadi beragam busana sehari-hari. Sementara endek kualitas terbaik, seperti tenun patra, naik daun diburu para sosialita kita,” kata Selly.

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG Para perempuan mengenakan kain tradisional saat melaksanakan upacara keagamaan di Pura Geriya Tanah Kilap, Denpasar, Bali. Kain-kain tradisional Bali menjadi bagian tidak terpisahkan dalam berbagai upacara keagamaan.
Beberapa tahun terakhir, rona endek didera persaingan harga murah, cemerlang, dan halusnya tenunan dari Troso, Jepara. Minat para penenun Troso menenun motif endek membuktikan endek tengah merona dan terus naik daun. Namun, tak terelakkan, harga kompetitif yang ditawarkan para penenun Troso membuat para penenun endek di Bali merana kehilangan pasar.

Sujani bersaksi tentang kelesuan para penenun di tengah meronanya endek di catwalk dan pasar kain di Bali. ”Para perajin saya masih menenun karena saya tidak tega menutup pabrik. Omzet kami relatif impas dengan ongkos menjalankan pabrik Berdikari,” kata Sujani.

I Gusti Made Arsawan, pemain yang justru sedang menikmati naik daunnya endek kualitas premium, juga mengkhawatirkan nasib tenun endek klasik. ”Jika endek tenunan Bali diperlakukan sekadar tenun produksi massal, apa nilai lebihnya dibandingkan dengan tenunan Troso? Tradisi endek hanya akan selamat jika ia dikembalikan keberadaannya sebagai warisan budaya,” ujar I Gusti Made Arsawan. (Mawar Kusuma/Cokorda Yudistira/Aryo Wisanggeni)

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Rekomendasi untuk anda
28th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com