Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Keindahan Punggung Nusa Penida

Kompas.com - 29/08/2014, 13:46 WIB
SANUR masih membiru oleh sisa malam. Dinginnya ombak Selat Badung membuat langkah kaki bertambah cepat mendekati kapal. Kapal pun berangkat menempuh perjalanan 50 menit menyeberangi selat yang memisahkan ”Pulau Dewata” dan Nusa Penida.

Kapal kami melempar jangkar di pantai tak berdermaga. Kaki-kaki penumpang mencebur turun di pantai. Beberapa penumpang menjerit riang ketika ombak membasahi celana mereka. Di tengah kegaduhan itu, Ketut, sopir mobil sewaan kami, menyapa, ”Nah, akhirnya bertemu. Ini kunci mobilnya, itu mobilnya, yang berwarna perak metalik. Silakan menikmati perjalanan di Nusa Penida,” kata Ketut.

Kami terbengong-bengong, kebingungan membayangkan bagaimana cara mencari jalan di pulau yang baru kami injak ini. Ketut tertawa, seperti tak mau tahu dengan keraguan kami. ”Jalan saja, bawa saja mobilnya. Sampai jalan aspal, langsung belok kiri, akan sampai di hotel kalian,” lanjut Ketut.

Dengan tersenyum-senyum kebingungan dan saling pandang, kami memuat barang bawaan kami ke mobil. Mengikuti kata Ketut, begitu mencapai jalan aspal, kami langsung membanting setir ke kiri, mencari hotel kami. Pelan, menyusuri rimbunnya jalanan aspal yang hanya selebar 3 meter di sepanjang pesisir Nusa Penida, kami perlahan menyadari seberapa perjalanan bisa ditempuh di pulau seluas 200 kilometer persegi itu.

”Sepertinya kita memang tidak mungkin tersasar di pulau ini karena jalannya melulu itu-itu saja. Yang lebih pasti, kita memang tak mungkin bisa melarikan mobil ini ke luar pulau,” canda kami.

Ragam warna

Satu jam berikutnya, kami telah menikmati kelok-kelok tajam di perbukitan yang membentang di sepanjang Nusa Penida. Debar meniti tanjakan dan turunan, dengan tikungan-tikungan patah mewarnai perjalanan menuju Banjar Tanglad, sebuah desa para petenun terbaik Nusa Penida.

Menyusuri punggung-punggung bukit menuju Banjar Tanglad, terasakan keringnya iklim Nusa Penida. Beberapa kali kami terpesona bentang alam perbukitan kapur kering yang sekaligus menyiratkan kerasnya kehidupan warga Nusa Penida. Paras alam dan suasana alamnya sama sekali berbeda dari gemerlap industri pariwisata Pulau Dewata, sekaligus menyimpan sejarah panjang relasi Nusa Penida dan Bali.

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG Perahu nelayan bersandar di Pantai Nusa Penida, Bali.
Perbukitan kapur itu sejak masa prasejarah Nusantara telah dihuni warganya yang liat beradaptasi dengan alam. Dari masa ke masa, Nusa Penida dikuasai Kerajaan Gelgel, menjadi bagian dari Kerajaan Klungkung hingga masa pendudukan Belanda. Kini, Nusa Penida menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Klungkung, kabupaten terkecil di Provinsi Bali.

Bertaut dengan Bali, Nusa Penida pun bertaut dengan wastra Bali. Para petenun Tenganan Pegringsingan di Kabupaten Karangasem, Bali, selama beratus tahun memanfaatkan akar mengkudu dari Nusa Penida sebagai bahan pewarna merah yang indah. ”Tidak ada merah yang lebih merah selain merahnya akar mengkudu Nusa Penida,” ujar Kepala Desa Tenganan Putu Yudiana (35) saat kami jumpai dua hari sebelum perjalanan ke Nusa Penida.

Pemerhati wastra Nusantara mengenal keelokan rangrang, tenunan khas Nusa Penida, yang membangun komposisi warna geometris dengan lubang-lubang tenunan yang khas. Tenun cepuk Nusa Penida begitu bertuah, menjadi busana wajib penari ritual rejang, diburu para pemerhati tenunan Nusantara.

Keagungan dua wastra khas Nusa Penida itulah yang membawa kami menyeberangi Selat Badung demi menuju Banjar Tanglad, sebuah desa tradisional Bali yang ”tersembunyi” di antara punggung-punggung bukit kapur Nusa Penida. Tradisi tenun itu bertahan di dalam rumah-rumah dengan atap yang ditata begitu rupa demi menangkap dan menampung sebanyak mungkin air hujan. Salah satunya adalah rumah suami-istri I Ngurah Hendrawan dan Ni Gede Diari.

”Tiap tetes air hujan Nusa Penida berharga, bahkan untuk mengolah pewarna alami tenunan,” ucap Ngurah Hendrawan di beranda rumahnya. ”Warna biru adalah salah satu warna utama dalam tenunan rangrang dan cepuk, dihasilkan dari daun indigo. Kemarau membuat indigo meranggas. Beruntung kami kini bisa membuat pasta daun indigo sehingga saat kemarau tetap bisa mencelup benang pakan dengan warna indigo,” ungkapnya.

Warna-warnanya yang lembut berbeda dengan warna pewarna kimia yang kerap kali terlalu terang menyala. Namun, kelembutan warna-warna itu justru memesona. Cepuk tenunan Ngurah Hendrawan pun begitu lembut, baik tekstur maupun coraknya.

Ngurah Hendrawan dan Gede Diari adalah bagian dari sedikit petenun Nusa Penida yang kembali merawat tradisi pewarnaan alami untuk tenunan mereka. ”Padahal, sejak saya lahir, semua petenun di Banjar Tanglad sudah memakai pewarna kimia. Dengan bertanya kepada sejumlah orang tua, kami mencari lagi tata cara perwarnaan alami,” kata Gede Diari sambil mengaduk rebusan akar mengkudu dan kain benang pakan rangrang yang mendidih.

Sayang, tak ada lagi pepohonan randu penghasil kapas terbaik Nusa Penida. Sekitar tahun 1990, ulat mewabah di Nusa Penida menghancurkan pohon randu. Para petenun rangrang dan cepuk kini sepenuhnya menggantungkan kiriman benang kapas asal Jawa sebagai bahan tenunannya.

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG Panorama dari Bukit Nusa Penida, Bali.
Ngurah Hendrawan pun tak lagi mendapati para pengolah akar mengkudu yang mampu ”mengekspor” olahannya ke Bali. ”Saya saja semakin kesulitan mencari akar mengkudu. Kami harus menanam sendiri mengkudu-mengkudu untuk pewarna tenunan kami.”

Kami tertegun ketika Ngurah Hendrawan dan Gede Diari menunjukkan selembar tenunan cepuk bercorak terang menyala, kain yang akan mereka persembahkan dalam upacara ngaben atau pembakaran jenazah kerabat mereka pada Agustus ini. Corak yang sama sekali berbeda dari keanggunan tenunan cepuk Gede Diari yang memakai pewarna alami.

”Ini memang tenun cepuk dengan pewarna kimia,” ujar Gede Diari. ”Kami tak punya cukup uang untuk mempersembahkan tenunan cepuk pewarna alami untuk dibakar dalam ngaben meskipun kami bisa menenunnya sendiri,” lirih Gede Diari berkisah. Di alam yang begitu kering, Ngurah Hendrawan dan Gede Diari sepenuhnya mengandalkan penghidupan dari rangrang dan cepuk indah yang mereka tenun, namun tak pernah mereka kenakan.

Sore itu, kami meninggalkan Banjar Tanglad, menyusuri punggung-punggung bukit yang berbeda, mengikuti jalan menuju pesisir selatan Nusa Penida. Di punggung bukit terakhir, kami dipukau hamparan Samudra Indonesia yang memutih oleh mentari sore itu hingga ke ujung cakrawala. Di belakang kami, punggung-punggung bukit kembali menyembunyikan Banjar Tanglad, para petenun, juga tradisi tenunan rangrang dan cepuk mereka. (Aryo Wisanggeni G/Mawar Kusuma)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com