Banda menyimpan potensi wisata luar biasa, baik dari sisi sejarah maupun keindahan alamnya. Warga Banda juga sangat ramah terhadap pendatang. Di sepanjang jalan, siapa pun yang kami jumpai selalu tersenyum.
Potensi wisata
Itu potensi tersendiri bagi daerah wisata, sayangnya belum dikemas secara menarik. ”Kalau ada penginapan bagus ditambah rumah makan dan pemandu wisata, pengunjung bisa sepekan atau bahkan lebih di Banda ini. Banyak situs sejarah menarik di sini,” kata Staf Khusus Wakil Menteri Perhubungan Noor Cholis.
Bimbo La Bow, Kepala Desa Tanah Rata, Kecamatan Banda, menjelaskan, pelancong asing kerap datang ke Banda untuk menyelam atau snorkeling. Namun, mereka sering mengeluh karena kesulitan transportasi dan akhirnya membatalkan rencana kunjungan selanjutnya. Mereka lebih betah di Bali atau Lombok karena fasilitas lebih memadai.
Banda hanya dikunjungi kapal laut sekali sebulan dan pesawat perintis tiga kali sepekan. Untuk mencapai Banda dari Ambon dengan kapal laut, butuh waktu hingga 16 jam. Bimbo membayangkan, jika frekuensi penerbangan dan kunjungan kapal ditambah, jumlah pelancong makin banyak ke Banda.
Soekarno
Situasi di Banda mirip dengan Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT), salah satu kota yang kami singgahi. Di sini berdiri rumah bersejarah, rumah pengasingan Soekarno. Meskipun dirawat, rumah itu terkesan ala kadarnya. Padahal, ketika di Ende inilah Soekarno menelurkan Pancasila.
Belanda mengasingkan Soekarno di Ende sejak tahun 1934 karena wilayah ini terpencil. Saat itu terdapat sekitar 2.600 pejuang yang diasingkan Belanda ke Boven Digoel, Papua. Belanda tidak mengasingkan Soekarno ke Boven Digoel lantaran khawatir itu mempermudah Soekarno menyusun kekuatan.
Di Ende, Soekarno sangat rajin shalat. Tempat shalat favoritnya adalah Masjid Besar Ar-Rabithah, sekitar 1 kilometer dari rumah pengasingan. Masjid yang berusia lebih dari 500 tahun itu masih kokoh berdiri meskipun pernah diguncang gempa pada 1992. ”Soekarno setiap subuh shalat di sini,” kata Takmir Masjid Ar-Rabithah Ibrahim Djakaria.
Selain ke masjid, Soekarno juga sering menghabiskan waktu di pantai sembari duduk di bawah pohon sukun. Warga memercayai, perenungan Soekarno di bawah pohon bercabang lima itulah yang kemudian menghasilkan Pancasila, dasar negara Indonesia. Kini, sekitar 2 meter dari batang pohon itu terdapat patung Soekarno duduk. Sore itu, wajah Soekarno berkilatan keemasan diterpa cahaya matahari.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.