Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Soekarno, Hatta, dan Wajah Lain Indonesia

Kompas.com - 09/09/2014, 11:53 WIB

Soekarno

Situasi di Banda mirip dengan Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT), salah satu kota yang kami singgahi. Di sini berdiri rumah bersejarah, rumah pengasingan Soekarno. Meskipun dirawat, rumah itu terkesan ala kadarnya. Padahal, ketika di Ende inilah Soekarno menelurkan Pancasila.

Belanda mengasingkan Soekarno di Ende sejak tahun 1934 karena wilayah ini terpencil. Saat itu terdapat sekitar 2.600 pejuang yang diasingkan Belanda ke Boven Digoel, Papua. Belanda tidak mengasingkan Soekarno ke Boven Digoel lantaran khawatir itu mempermudah Soekarno menyusun kekuatan.

Di Ende, Soekarno sangat rajin shalat. Tempat shalat favoritnya adalah Masjid Besar Ar-Rabithah, sekitar 1 kilometer dari rumah pengasingan. Masjid yang berusia lebih dari 500 tahun itu masih kokoh berdiri meskipun pernah diguncang gempa pada 1992. ”Soekarno setiap subuh shalat di sini,” kata Takmir Masjid Ar-Rabithah Ibrahim Djakaria.

Selain ke masjid, Soekarno juga sering menghabiskan waktu di pantai sembari duduk di bawah pohon sukun. Warga memercayai, perenungan Soekarno di bawah pohon bercabang lima itulah yang kemudian menghasilkan Pancasila, dasar negara Indonesia. Kini, sekitar 2 meter dari batang pohon itu terdapat patung Soekarno duduk. Sore itu, wajah Soekarno berkilatan keemasan diterpa cahaya matahari.

Saat tiba di Alor, NTT, kami disambut dengan tari cakalele. Begitu pun saat kami mendarat di Bandara Frans Seda, Maumere, dan Bandara Tambolaka, Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT. Persamaan tarian itu, para penari membawa pedang dan tameng. Mereka mengawal tamu yang datang.

Antonius Anton Sogelaka (81), guru sekaligus sesepuh Maumere, mengatakan, tari papak khas Maumere itu berarti sambutan dan penghormatan bagi tamu. Bagi warga, tamu ibarat pahlawan perang yang perlu dilindungi keselamatannya. Jika sesuatu terjadi pada tamu, tuan rumah harus bertanggung jawab sepenuhnya. Tari cakalele dari Alor dan tari papak dari Sumba pun maknanya lebih kurang sama.

KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQ Para penari berpose setelah menari cakalele saat menyambut rombongan Kementerian Perhubungan di Bandar Udara Mali, Alor, Nusa Tenggara Timur, Sabtu (30/8/2014).
Sikap ini rupanya membuat pendatang, terutama pelancong mancanegara, betah berada di NTT. Di Alor, kami menjumpai beberapa pelancong anak-anak menyantap mi instan di pintu masuk bandara. Sikap mereka seperti warga berada di kampungnya sendiri. ”Kami sudah sepekan di sini dan senang karena warganya baik-baik,” kata Kelly, ibu dari anak-anak bule itu.

Warga Alor menjuluki pulaunya sebagai ”Pulau Berkat”. ”Siapa pun yang pernah menginjakkan kakinya di Alor selalu mendapat berkat karena pulau ini pulau berkat,” kata Bupati Alor Amon Djobo. Berkat itu dapat diartikan bahwa warga Alor ramah, murah senyum, dan melindungi tamu sehingga pendatang merasa betah.

Menyinggahi daerah di Maluku dan NTT seperti melihat wajah lain Indonesia. Semangat Hatta, Soekarno, dan keindahan alam timur Indonesia belum cukup untuk mendongkrak wilayah itu maju. (Mohammad Hilmi Faiq/C Anto Saptowalyono)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com