Setelah terbang sekitar 45 menit dari Ambon, kami tiba di Banda, sebuah kecamatan kecil di Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku, Jumat (29/8/2014). Jalanan di Banda amat sepi meskipun hari beranjak siang. Satu-dua warga melongok dari jendela atau pintu rumah saat mendengar raung sirene dari sepeda motor patroli pengawal rombongan Wakil Menteri Perhubungan Bambang Susantono.
Di sebuah jalan yang lebarnya lebih layak disebut gang, kami berhenti. Di sisi kanan terdapat bangunan tua. Di sisi kanan pintu masuk tertulis ”Rumah Pengasingan Bung Hatta di Banda Naira”. Selain Hatta, kala itu Belanda juga mengasingkan Sutan Sjahrir, Cipto Mangunkusumo, dan Iwa Kusumasumantri di Banda.
Rumah itu beratap seng dan berlantai ubin. Bangunan rumah dibagi dua, yang dipisahkan oleh taman kecil. Di teras bangunan bagian belakang berderet meja, kursi, dan sebuah papan tulis. Di sinilah Hatta dan Sjahrir mengajar anak-anak kampung dengan pengantar bahasa Belanda. Mereka menyelipkan patriotisme lewat cerita sejarah dan lagu-lagu.
Pada papan tulis di teras bangunan bagian belakang itu masih tergurat tulisan kapur tulis ”Sedjarah perjoeangan Indonesia setelah soempah pemoeda di Batavia pada tahoen 1918”. Tulisan itu masih jelas terbaca. ”Itu tulisan terakhir Bung Hatta. Tulisannya sudah kabur, jadi dipertebal lagi dengan kapur tulis,” kata Emi Baadillah (73), penjaga rumah pengasingan Bung Hatta.
Emi berhidung mancung, beralis tebal, dan wajahnya lonjong. Saat dia tersenyum, segera mengingatkan pada wajah Des Alwi. ”Saya memang masih ada ikatan keluarga dengan Des. Ibu saya dan ibu Des bersaudara,” ujarnya.
Emi tergerak menjaga dan merawat rumah itu karena tertular semangat Des Alwi. Emi memakai uangnya sendiri untuk merawat rumah bersejarah itu. Biaya listrik dan air yang mencapai Rp 50.000 per bulan tidak pernah mencukupi jika mengandalkan uang dari kotak sumbangan pengunjung. Mungkin inilah alasan mengapa rumah bersejarah itu kurang terawat. Semasa Des Alwi masih hidup, dialah yang mengupayakan biaya perawatan itu.
Des memiliki perhatian serius terhadap semua situs sejarah di Banda. Des ingin agar Banda selalu dikenang sebagai pulau yang menjadi bagian penting dalam sejarah bangsa. Lewat Yayasan Warisan Budaya Banda, dia mengupayakan dana untuk perawatan. Selain rumah pengasingan Hatta, Banda juga mempunyai situs-situs penting terkait keberadaan Belanda. Di sana terdapat Benteng Belgica yang dibangun Belanda pada tahun 1611, di atas bukit dengan ketinggian 30 meter di atas permukaan laut. Dari atas benteng ini, pulau dan lautan Banda terlihat cantik.
Banda menyimpan potensi wisata luar biasa, baik dari sisi sejarah maupun keindahan alamnya. Warga Banda juga sangat ramah terhadap pendatang. Di sepanjang jalan, siapa pun yang kami jumpai selalu tersenyum.
Potensi wisata
Itu potensi tersendiri bagi daerah wisata, sayangnya belum dikemas secara menarik. ”Kalau ada penginapan bagus ditambah rumah makan dan pemandu wisata, pengunjung bisa sepekan atau bahkan lebih di Banda ini. Banyak situs sejarah menarik di sini,” kata Staf Khusus Wakil Menteri Perhubungan Noor Cholis.
Bimbo La Bow, Kepala Desa Tanah Rata, Kecamatan Banda, menjelaskan, pelancong asing kerap datang ke Banda untuk menyelam atau snorkeling. Namun, mereka sering mengeluh karena kesulitan transportasi dan akhirnya membatalkan rencana kunjungan selanjutnya. Mereka lebih betah di Bali atau Lombok karena fasilitas lebih memadai.
Banda hanya dikunjungi kapal laut sekali sebulan dan pesawat perintis tiga kali sepekan. Untuk mencapai Banda dari Ambon dengan kapal laut, butuh waktu hingga 16 jam. Bimbo membayangkan, jika frekuensi penerbangan dan kunjungan kapal ditambah, jumlah pelancong makin banyak ke Banda.
Soekarno
Situasi di Banda mirip dengan Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT), salah satu kota yang kami singgahi. Di sini berdiri rumah bersejarah, rumah pengasingan Soekarno. Meskipun dirawat, rumah itu terkesan ala kadarnya. Padahal, ketika di Ende inilah Soekarno menelurkan Pancasila.
Di Ende, Soekarno sangat rajin shalat. Tempat shalat favoritnya adalah Masjid Besar Ar-Rabithah, sekitar 1 kilometer dari rumah pengasingan. Masjid yang berusia lebih dari 500 tahun itu masih kokoh berdiri meskipun pernah diguncang gempa pada 1992. ”Soekarno setiap subuh shalat di sini,” kata Takmir Masjid Ar-Rabithah Ibrahim Djakaria.
Selain ke masjid, Soekarno juga sering menghabiskan waktu di pantai sembari duduk di bawah pohon sukun. Warga memercayai, perenungan Soekarno di bawah pohon bercabang lima itulah yang kemudian menghasilkan Pancasila, dasar negara Indonesia. Kini, sekitar 2 meter dari batang pohon itu terdapat patung Soekarno duduk. Sore itu, wajah Soekarno berkilatan keemasan diterpa cahaya matahari.
Saat tiba di Alor, NTT, kami disambut dengan tari cakalele. Begitu pun saat kami mendarat di Bandara Frans Seda, Maumere, dan Bandara Tambolaka, Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT. Persamaan tarian itu, para penari membawa pedang dan tameng. Mereka mengawal tamu yang datang.
Antonius Anton Sogelaka (81), guru sekaligus sesepuh Maumere, mengatakan, tari papak khas Maumere itu berarti sambutan dan penghormatan bagi tamu. Bagi warga, tamu ibarat pahlawan perang yang perlu dilindungi keselamatannya. Jika sesuatu terjadi pada tamu, tuan rumah harus bertanggung jawab sepenuhnya. Tari cakalele dari Alor dan tari papak dari Sumba pun maknanya lebih kurang sama.
Warga Alor menjuluki pulaunya sebagai ”Pulau Berkat”. ”Siapa pun yang pernah menginjakkan kakinya di Alor selalu mendapat berkat karena pulau ini pulau berkat,” kata Bupati Alor Amon Djobo. Berkat itu dapat diartikan bahwa warga Alor ramah, murah senyum, dan melindungi tamu sehingga pendatang merasa betah.
Menyinggahi daerah di Maluku dan NTT seperti melihat wajah lain Indonesia. Semangat Hatta, Soekarno, dan keindahan alam timur Indonesia belum cukup untuk mendongkrak wilayah itu maju. (Mohammad Hilmi Faiq/C Anto Saptowalyono)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.