Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Beginilah Ritual Minta Hujan di Kota Semarang

Kompas.com - 21/09/2014, 14:17 WIB
Kontributor Semarang, Nazar Nurdin

Penulis

SEMARANG, KOMPAS.com – Pentas budaya meminta hujan di tengah musim kemarau panjang tersaji indah di halaman Museum Ronggo Warsito, Kota Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (21/9/2014) malam. Pementasan itu mengambil para lakon dari Desa Gumelem, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Aksi mereka dimulai sekitar pukul 21.00 WIB. Sebelum mulai, para lakon berdoa kepada Tuhan agar diberi keselamatan.

Pemetasan itu dilakukan dengan peran dua orang dari para lakon yang saling bertengkar satu sama lain menggunakan kayu rotan sepanjang satu meter. Tokoh Tari Ujungan, Agus Winaryoto, mengatakan pementasan Tari Ujungan merupakan upaya melestarikan tradisi kuno yang sudah berjalan sepanjang waktu. Menurut Agus, Tari Ujungan berasal dari Desa Gumelem pada tahun 1600 saat desa tersebut masih ikut Kerajaan Mataram.

Tari Ujungan meminta hujan digelar saat musim kemarau panjang. Tari Ujungan diangkat dari kisah petani yang berebut air. Dengan menggunakan cangkul, mereka bertengkar dengan saling mengayunkan cangkul. “Cangkul itu diayunkan hingga mereka saling melukai, hingga mengeluarkan darah. Saat itu ada Ki Ageng Giring yang memisahkan mereka berdua. Tapi, pertengkaran itu terus berlanjut hingga hujan turun, sehingga muncullah tarian ini,” ujar Agus menjelaskan.

KOMPAS.COM/NAZAR NURDIN Para lakon Tari Ujungan sedang bertarung sebagai bentuk visualiasi tradisi meminta hujan di tengah musim kemarau, Sabtu (20/9/2014) malam, di halaman Museum Ronggowarsito, Kota Semarang, Jawa Tengah.
Menurut Agus, setelah hujan turun di tengah musim kemarau, justru petani setempat minta kesaktian. Pertengkaran yang semula menggunakan cangkul, diganti menjadi kayu rasiden yang kerap digunakan untuk makanan ternak. Setelah hujan turun dengan deras, pertengkaran berhenti. Para petani diajak untuk Mujung atau bersyukur kepada Tuhan. “Ini sebagai pelestarian adat. Kami visualkan kejadian masa lalu itu, tapi kami modernkan dengan gerak tari,” paparnya.

Aksi yang mereka lakukan terbilang atraktif. Antara satu lakon dengan lakon lain saling bertengkar menggunakan kayu rotan. Mereka saling memukul. Hanya saja, yang boleh dipukul hanya pada bagian paha. Para lakon ini pun hanya boleh dilakukan oleh orang dewasa. Di malam tarian minta hujan ini, para lakon memerankan tiga set atau ada enam petarung.

Meski begitu, ada penonton yang turun ke panggung untuk mencoba Tari Ujungan, sehingga berjumlah delapan orang. Saat pertarungan ke tiga, angin cukup kencang mulai datang. Para pengunjung mengira akan terjadi hujan setelah pementasan. Namun, hingga hampir berakhir, hujan yang ditunggu tak kunjung datang.

KOMPAS.COM/NAZAR NURDIN Para penari Tari Silakupang asal Kabupaten Pemalang menunggu salah satu penari yang tengah kesurupan di dalam sebuah kotak misterius. Acara digelar di halaman Museum Ronggo Warsito, Kota Semarang, Sabtu (21/9/2014) malam.
Selain Tari Ujungan, turut ditampilkan pula Tari Silakupang dari Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah. Tari Silakupang singkatan dari Sintren, Lais dan Kuda Kepang. Pementasan tari ini disertai dengan suara gamelan dan lagu jawa yang dinyanyikan oleh sinden. Salah seorang penari pun terlihat kehilangan kesadaran setelah memasuki kotak satu meter, namun dia masih atraktif memerankan tari Silakupang.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jateng, Prasetyo Aribowo mengatakan pementasan budaya agar mampu menunjang pemeliharaan warisan tradisi kuno yang ada. Selain itu, kesenian tradisi kuno melalui pentas mampu mendongkrak tingkat kunjungan pariwisata di Jawa Tengah. “Ini juga sebagai implementasi visi gubernur, berkepribadian dalam kebudayaan,” kata Prasetyo.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com