Malam menjemput lebih awal. Masih pukul 17.15 Wita, suasana di perut gunung yang letusannya dua abad lalu menggelapkan dunia itu temaram. Matahari menghilang cepat di balik dinding kaldera yang menjulang. Hamparan tanah pasir dan bebatuan yang seharian dipanggang matahari mulai mendingin. Namun, angin mati membuat udara terasa gerah.
Asap belerang yang samar tercium dari dalam tenda membuat jeri. Apalagi, beberapa kali detektor gas menjerit dan gambar tengkorak muncul dari layarnya, mengabarkan konsentrasi gas belerang telah di ambang batas.
Namun, orang-orang pemberani dari Desa Doropeti, Kecamatan Pekat, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat, yang membantu pendakian, meyakinkan bahwa kondisi dasar kaldera itu masih aman ditinggali. ”Saya pernah tinggal di sini hampir seminggu, menemani dua peneliti Jerman,” kata Rijon.
Kelelahan setelah sejak dini hari berjalan kaki mendaki dinding kaldera lalu menuruninya, memaksa tubuh agar rehat. Lagi pula, kami bisa pergi ke mana?
Perjalanan mendaki kembali ke bibir kaldera pada malam hari hampir mustahil dilakukan. Selain harus mendaki batuan lepas yang gampang longsor, dinding tegak menghadang. Pendakian mesti menggunakan tali-temali dan itu terlalu berisiko jika fisik terlalu lelah, apalagi jika dilakukan malam hari.
Anak Tambora
Kehidupan itu datang bersama matahari pagi, yang menerobos dari rekahan dinding kaldera di ufuk timur. Tak lama kemudian, sinarnya menerpa Doro Api To’i—dari bahasa Bima yang berarti ’gunung api kecil’—sejarak sekitar 100 meter dari tempat kami berkemah. Asap putih tebal menutupi setiap jengkal gundukan batuan setinggi sekitar 30 meter dari dasar kaldera itu.
Seperti namanya, Doro Api To’i adalah anak Tambora yang muncul setelah letusan hebat dua abad lalu. ”Sekitar pukul 19.00 pada 10 April (1815), tiga kolom raksasa muncul dari puncak Gunung Tambora. Setelah mencapai titik tertinggi, ketiga kolom itu bergabung, membentuk sesuatu yang mengerikan. Segera saja tubuh gunung di dekat Saugur (Sanggar) berubah jadi cairan api yang terlontar ke berbagai jurusan,” kisah Raja Sanggar, seperti dicatat Letnan Owen Philips, utusan Thomas Raffles, Letnan Gubernur Jawa, yang saat itu menguasai wilayah Hindia Belanda.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.