Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ditelan Sunyi Perut Tambora

Kompas.com - 25/09/2014, 12:37 WIB
DASAR Kaldera Tambora, di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, Sabtu (23/8/2014) sore itu seperti kuburan raksasa. Dinding batu setinggi seribu meter mengisolasi dari kehidupan luar. Sunyi mencekam. Hanya ada suara gemuruh batuan longsor yang rutin terdengar.

Malam menjemput lebih awal. Masih pukul 17.15 Wita, suasana di perut gunung yang letusannya dua abad lalu menggelapkan dunia itu temaram. Matahari menghilang cepat di balik dinding kaldera yang menjulang. Hamparan tanah pasir dan bebatuan yang seharian dipanggang matahari mulai mendingin. Namun, angin mati membuat udara terasa gerah.

Asap belerang yang samar tercium dari dalam tenda membuat jeri. Apalagi, beberapa kali detektor gas menjerit dan gambar tengkorak muncul dari layarnya, mengabarkan konsentrasi gas belerang telah di ambang batas.

Namun, orang-orang pemberani dari Desa Doropeti, Kecamatan Pekat, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat, yang membantu pendakian, meyakinkan bahwa kondisi dasar kaldera itu masih aman ditinggali. ”Saya pernah tinggal di sini hampir seminggu, menemani dua peneliti Jerman,” kata Rijon.

Kelelahan setelah sejak dini hari berjalan kaki mendaki dinding kaldera lalu menuruninya, memaksa tubuh agar rehat. Lagi pula, kami bisa pergi ke mana?

Perjalanan mendaki kembali ke bibir kaldera pada malam hari hampir mustahil dilakukan. Selain harus mendaki batuan lepas yang gampang longsor, dinding tegak menghadang. Pendakian mesti menggunakan tali-temali dan itu terlalu berisiko jika fisik terlalu lelah, apalagi jika dilakukan malam hari.

KOMPAS/AHMAD ARIF Doro Api To’i merupakan kubah lava baru di dasar kaldera Gunung Tambora di Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat, diambil dengan pesawat tanpa awak atau drone.
Udara gerah membuat tidur tak bisa lelap. Bayangan tentang ancaman gas beracun menghantui. Malam terasa tak berkesudahan. Hanya langit bertaburan bintang yang menenangkan.

Anak Tambora

Kehidupan itu datang bersama matahari pagi, yang menerobos dari rekahan dinding kaldera di ufuk timur. Tak lama kemudian, sinarnya menerpa Doro Api To’i—dari bahasa Bima yang berarti ’gunung api kecil’—sejarak sekitar 100 meter dari tempat kami berkemah. Asap putih tebal menutupi setiap jengkal gundukan batuan setinggi sekitar 30 meter dari dasar kaldera itu.

Seperti namanya, Doro Api To’i adalah anak Tambora yang muncul setelah letusan hebat dua abad lalu. ”Sekitar pukul 19.00 pada 10 April (1815), tiga kolom raksasa muncul dari puncak Gunung Tambora. Setelah mencapai titik tertinggi, ketiga kolom itu bergabung, membentuk sesuatu yang mengerikan. Segera saja tubuh gunung di dekat Saugur (Sanggar) berubah jadi cairan api yang terlontar ke berbagai jurusan,” kisah Raja Sanggar, seperti dicatat Letnan Owen Philips, utusan Thomas Raffles, Letnan Gubernur Jawa, yang saat itu menguasai wilayah Hindia Belanda.

Api dan kolom asap itu terus menyembur dengan dahsyat sampai tercipta kegelapan sempurna oleh udara yang disesaki asap, debu, dan bebatuan. ”Waktu itu sekitar pukul 20.00. Bebatuan (kerikil) terasa sangat halus di Sanggar—kebanyakan tak lebih besar dari kacang tanah,” lanjut Sang Raja.

Dikisahkan, antara pukul 21.00 dan 22.00, abu terus jatuh, diikuti puting beliung yang menerbangkan hampir seluruh rumah di Sanggar. Di perbatasan Sanggar dengan Tambora, badai lebih hebat lagi. Pepohonan tercerabut hingga akar, lalu terbang bersama orang, rumah, ternak, dan apa pun yang ada di atas Bumi. Muka air laut pun naik tiba-tiba hingga 3,7 meter, lalu menyapu rumah di pesisir.

Kerajaan Sanggar porak poranda, sedangkan Kerajaan Tambora dan Kerajaan Pekat tak bersisa sama sekali. Sekitar 91.000 jiwa dilaporkan tewas. Sebanyak 10.000 orang tewas akibat tersapu badai awan panas dan sisanya karena bencana kelaparan dan penyakit yang mendera.

KOMPAS/EDDY HASBY Bunga edelweis tumbuh subur di bibir Kaldera Tambora rute Dorocanga.
Jumlah ini belum termasuk kematian yang terjadi di negara-negara lain, termasuk Eropa, yang didera bencana kelaparan hebat akibat abu vulkanis Tambora yang menyebabkan tahun tanpa musim panas sepanjang tahun setelah letusan itu.

Inilah letusan gunung api terhebat di Bumi yang pernah tercatat manusia modern. Letusan itu memangkas ketinggian Tambora dari 4.200 meter dari permukaan laut (mdpl) menjadi hanya 2.700 mdpl. Tak hanya itu, letusannya juga memuntahkan isi gunung sehingga mencipta kawah sedalam 1.100 meter dengan diameter hingga 6,2 kilometer.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com