Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ditelan Sunyi Perut Tambora

Kompas.com - 25/09/2014, 12:37 WIB

Total volume material yang dikeluarkan Gunung Tambora saat meletus itu mencapai 150 kilometer kubik atau 150 miliar meter kubik. Bandingkan dengan letusan Gunung Merapi di Yogyakarta pada tahun 2010 yang melontarkan 140 juta meter kubik material vulkanik. Bahkan, jika volume material letusan Merapi ini dikalikan 1.000 kali, tetap saja lebih kecil dibandingkan dengan volume letusan Tambora.

Menuruni kaldera

Kedahsyatan letusan itulah yang menuntun perjalanan ke perut Tambora. Pendakian dimulai sekitar pukul 04.30 dini hari dari Pos III Dorocangak di ketinggian 1.820 mdpl. Sebelumnya, untuk mencapai Pos III, kami menghemat tenaga dengan naik mobil gardan ganda dari Pos Pemantauan Gunung Tambora di Doropeti, di ketinggian 15 mdpl.

Perjalanan dengan mobil butuh sekitar lima jam, melewati padang sabana yang dipenuhi kuda, sapi, rusa, hingga monyet liar. Batuan yang dilontarkan letusan Tambora dua abad silam memberi kontras warna hitam pada kuning rerumputan. Terkadang, perjalanan juga melewati hutan cukup lebat.

Sedangkan pendakian dari Pos III hingga ke bibir kaldera membutuhkan jalan kaki selama tiga jam. Rute ini merupakan jalur yang sama, yang dipakai oleh almarhum Wakil Menteri ESDM Widjajono Partowidagdo. Dia meninggal dalam perjalanan menuju bibir kaldera pada April 2012.

Setelah menikmati matahari terbit di tubir kaldera, perjalanan sesungguhnya menuju perut Tambora barulah dimulai. Awalnya adalah bebatuan lepas, yang turus turun tak berkesudahan. Terik matahari menghajar karena sepanjang jalan nyaris tak ada tanaman perindang. Hanya ada edelweis dan belukar yang tak cukup menaungi. Sumber air sama sekali tak ditemukan sehingga membawa bekal air yang cukup menjadi keharusan. Apalagi, cuaca panas gampang membuat dehidrasi.

Mendekati kedalaman sekitar 700 meter dari bibir kaldera atau ketinggian 1.763 mdpl, tebing tegak menghadang. Setelah menuruni tebing dengan tali karmantel sepanjang 50 meter, yang hanya menyisakan 1,5 meter, kami tiba di ceruk sempit. Beberapa kali bunyi gemuruh longsoran terdengar dari atas tebing, lalu debu-debu beterbangan bersamaan dengan kerikil dan bebatuan yang menggelinding. Menunggu momen yang pas menjadi kunci keselamatan, selain nasib baik tentunya.

Setelah delapan jam yang menguras tenaga, perjalanan berujung pada rekahan tebing yang menyerupai pintu gerbang menuju dasar kaldera. Dinding tebing itu memutih dan menguarkan bau belerang menusuk, tanda-tanda mengalami alterasi atau pelapukan oleh aktivitas magma.

Selain asap belerang yang menyembur dari Doro Api To’i, tebing-tebing yang melapuk itu menandai bahwa Tambora tidak benar-benar tidur. Diam-diam, gunung ini mengumpulkan kembali daya kekuatannya, yang mewajibkan kita tetap waspada. Masih butuh ratusan atau bahkan ribuan tahun hingga Anak Tambora itu bisa menyerupai daya leluhurnya. Namun, pengalaman berdiam di dasar Kaldera Tambora menyadarkan betapa kecilnya kita di hadapan kebesaran alam raya. (Ahmad Arif & Hariadi Saptono)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com