Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Patti Seery, Melambungkan Kelas Pinisi

Kompas.com - 26/09/2014, 08:43 WIB
KAPAL tradisional asal Sulawesi Selatan, pinisi, telah kondang selama berabad-abad sebagai urat nadi yang mengalirkan perdagangan maritim Nusantara. Di tangan Patti Seery (62), warga Amerika Serikat yang menaruh kecintaan mendalam terhadap kapal ini, pinisi ”naik kelas” menjadi kapal pesiar mewah nan elegan.

”Sejak pertama kali melihat kapal ini (pinisi) di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta, tahun 1980, saya langsung jatuh cinta,” kata Patti saat ditemui di atas geladak MSV Silolona, pinisi pesiar miliknya yang tengah lego jangkar di lepas pantai Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu (21/9/2014).

MSV Silolona adalah pinisi hasil karya perajin dari Desa Ara, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan (Sulsel). Desa Ara adalah ”pabrik” pembuat pinisi yang terkenal akan keterampilan turun-temurun warganya dalam membuat kapal layar tersebut.

Kapal sepanjang 50 meter dengan bobot 275 ton itu mulai dibangun pada 2001 dan membutuhkan waktu penyelesaian selama 2,5 tahun. Sejak pertama berlayar pada 2004, Silolona telah melayani pesanan wisata maritim ke sejumlah pulau dan destinasi di Indonesia, Malaysia, Thailand, Myanmar, hingga India.

Kapal yang terdaftar di Bali itu mampu menarik minat wisatawan berkantong tebal, kebanyakan wisatawan asing, yang ingin menjelajahi keindahan Nusantara dari atas laut. Tidak hanya kaya, tetapi banyak pelanggan Silolona juga merupakan sosok terkenal dari dunia hiburan mancanegara hingga politisi. Salah satunya adalah mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair.

Berkat kesuksesan bisnis itu, pada 2012 Patti bisa membuat satu pinisi lagi yang berukuran lebih kecil, yakni MSV Si Datu Bua. ”Adik” Silolona yang memiliki panjang 40 meter dengan bobot mati 173 ton itu tidak kalah mewah dan elegan. ”Saya masih mau menambah pinisi lagi,” kata Patti.

Pasar ikan

Cinta perempuan itu kepada pinisi dan pelayaran di Nusantara bermula pada suatu pagi 34 tahun silam. Kala itu dia baru sehari menginjakkan kaki di Jakarta karena ikut suaminya, Douglas, yang pindah bekerja di PT Pertamina.

”Saya pergi naik taksi ke pasar ikan di Sunda Kelapa untuk melihat-lihat suasana kota pada pagi hari. Di sini saya menyaksikan kapal-kapal pinisi yang sandar di pelabuhan dengan segala hiruk-pikuk aktivitasnya,” cerita Patti.

Dari pertemuan pertama tersebut, ketertarikan Patti terhadap pinisi terus tumbuh. Hal itu juga didorong oleh minatnya yang tinggi dalam bidang kebudayaan dan sejarah. Oleh karena itu, tak butuh waktu lama sebelum dia memutuskan menyewa salah satu pinisi di Sunda Kelapa untuk rekreasi berlayar bersama anak-anaknya.

”Pinisi adalah kapal yang sarat tradisi dan mewarnai sejarah negeri ini. Kapal ini sudah menjelajahi lautan untuk mengangkut rempah-rempah jauh sebelum bangsa Barat datang ke Indonesia,” kata Patti.

Selain itu, dia juga mengagumi tingkat keahlian para perajin dalam membuat kapal dengan tangan. Ini adalah sesuatu yang sudah sangat jarang ditemui di dunia. Patti pun memandang pinisi bukan sekadar alat transportasi, melainkan juga karya seni yang bernilai tinggi. ”Tidak ada arsitek yang bisa membuat kapal ini seperti orang Ara membuat pinisi,” ujarnya.

Berkeliling Indonesia dan Asia Tenggara dengan kapal laut sewaan pun kerap dilakoni Patti meski telah pindah kembali ke Amerika Serikat (AS) delapan tahun kemudian. Tidak sekadar menikmati pelayaran yang menjadi gairah hidupnya, tetapi Patti juga jatuh cinta kepada masyarakat dan kebudayaan lokal sejumlah daerah di Indonesia.

Dia pun banyak menjalin persahabatan serta ikatan kekeluargaan dengan masyarakat adat, seniman, dan budayawan. Bahkan, saking cintanya kepada Indonesia, anak kedua Patti yang lahir di negeri ini diberi nama Sutrisno. ”Panggilannya Tresno,” ujar Patti.

Sebuah peristiwa sekitar tahun 1998 kemudian membulatkan tekad Patti untuk membuat pinisi pesiar milik sendiri. Waktu itu dia menyewa pinisi yang dimodifikasi menjadi kapal penumpang untuk mengunjungi Papua.

Namun, pelayanan kapal tersebut sangat buruk dan sempat mengalami kerusakan pula. ”Waktu saya meminta uang kembali kepada si penyewa, dia menolak. Di situlah saya berpikir untuk membuat pinisi sendiri,” cerita Patti.

Dari sejumlah kenalan dan sahabat di Sulsel yang telah terjalin lama, dia menemukan perajin pinisi dari Ara, Muhammad Nurka. Nurka mampu menerjemahkan keinginan Patti yang mendesain sendiri kapal tersebut. Adapun pembuatan kapalnya dilakukan di Kalimantan, daerah yang banyak terdapat kayu ulin, bahan utama pembuatan kapal.

Riset ke Belanda

Agar tampilannya persis seperti pinisi yang digunakan pelaut-pelaut Nusantara pada masa lampau, Patti melakukan riset langsung ke Belanda. Di ”Negeri Kincir Angin”, dia menemukan gambar-gambar pinisi dari arsip masa pemerintahan kolonial Belanda yang dipakai sebagai rujukan untuk membuat Silolona.

Oleh karena sejak awal memang ditujukan sebagai kapal pesiar, beberapa modifikasi teknis pun dilakukan, mengingat adanya perbedaan antara kapal kargo dan penumpang. ”Salah satu yang dimodifikasi adalah bentuk lambungnya,” ujar Patti.

Lambung tradisional pinisi sebenarnya berbentuk huruf ”U” untuk menampung banyak muatan barang dan stabil saat melaju di lautan. Namun, kelemahan lambung ini adalah mudah goyang saat tak diisi kargo. Oleh karena itulah lambung pinisi lalu dibuat berbentuk huruf ”V” yang bisa menjaga keseimbangan kapal.

Selain perbedaan teknis itu, pinisi milik Patti juga dilengkapi dengan fasilitas kenyamanan hotel berbintang. Silolona memiliki lima kamar tidur berpendingin ruangan, tempat bersantai (lounge) di bagian buritan dan haluan kapal, kursi berjemur di dek atas, serta tempat untuk makan.

Fasilitas serupa dimiliki pinisi Si Datu Bua. Hanya saja jumlah kamar Si Datu Bua lebih sedikit, yakni tiga. Silolona didukung oleh 17 kru dan staf, sementara Si Datu Bua didukung 13 orang. Hampir semua pegawainya, termasuk nakhoda, adalah orang Indonesia dari berbagai latar belakang dan daerah di Tanah Air.

Selain kenyamanan, unsur keselamatan dan keamanan kapal juga menjadi perhatian utamanya. Spesifikasi keselamatan kapal dibuat sesuai dengan spesifikasi Germanischer Llyod, organisasi klasifikasi kapal dunia.

Seluruh pelayanan kepada tamu pun dipastikan selalu dalam kondisi prima karena Patti selalu ikut dalam setiap pelayaran.

”Namun, sekarang saya pusing karena harus sering ’meloncat’ antara Silolona dan Si Datu Bua,” ujarnya sambil tertawa. (Mohamad Final Daeng)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com