Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Asei, Embrio Lukisan Motif di Kulit Kayu

Kompas.com - 27/09/2014, 17:42 WIB
PULAU Asei adalah salah satu pulau kecil di Papua, tepatnya di Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura. Asei merupakan tempat hadirnya tradisi masyarakat yang melukis motif pada kulit kayu. Tradisi itu hidup sejak empat abad silam.

Kamis (11/9/2014) sekitar pukul 12.00 WIT, cuaca di Pantai Khalkote, Kabupaten Jayapura, tampak cerah. Dari tempat itu terdapat sebuah dermaga kecil yang digunakan masyarakat dan para wisatawan untuk menyeberangi Danau Sentani ke Pulau Asei dengan menggunakan perahu motor berkapasitas 10 penumpang.

Kompas pun mengunjungi lokasi itu dengan menumpang salah satu perahu bersama sejumlah anak sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas yang berdomisili di Asei. Anak-anak itu bersekolah di Jayapura. Sebab, di Asei hanya ada sebuah sekolah dasar swasta. Sekali perjalanan, biayanya sebesar Rp 5.000.

Di sana, Anda akan melihat jernihnya air Danau Sentani dan hutan di Gunung Cycloop yang masih hijau. Namun, hutan seluas 22.000 hektar yang telah ditetapkan pemerintah sebagai cagar alam pada 1987 itu kini terancam punah karena maraknya aksi pembalakan dan pembakaran oleh komunitas masyarakat tertentu yang mendiami area di sekitar Cycloop.

Tak sampai 10 menit, perahu kami tiba di Asei. Di lokasi yang dinamakan Kampung Asei Besar itu tampak 20 perajin sedang memamerkan 500 lukisan kulit kayu beraneka ukuran di atas lantai beralaskan terpal. Ukuran lukisan kulit kayu yang terbesar mencapai 2 meter dengan harga jual Rp 1 juta, sedangkan lukisan dengan ukuran 15 sentimeter seharga Rp 5.000.

”Lukisan kulit kayu dengan ukuran terkecil bisa dijadikan sebagai pembatas buku,” ujar Yuliance Kaigere, salah seorang perajin lukisan kulit kayu.

Ternyata barang-barang lukisan itu dipamerkan kepada rombongan 56 perupa dari 28 provinsi yang sedang berkunjung ke pulau itu. Rombongan tersebut mengikuti kegiatan workshop tentang pembuatan lukisan motif pada kulit kayu. Kegiatan itu merupakan rangkaian acara Pameran Besar Seni Rupa Indonesia yang terselenggara di Taman Budaya Expo Waena, Kota Jayapura, selama empat hari.

KOMPAS.com/Ni Luh Made Pertiwi F. Lukisan kayu kulit di Pulau Asei, Danau Sentani, Jayapura.
Setelah mendengar penjelasan selama sejam dari instruktur, para perupa mulai menggoreskan kuas di atas kulit kayu. Kegiatan ini merupakan pengalaman yang berbeda bagi mereka yang terbiasa menggambar lukisan bergaya realis di atas kanvas.

Muhammad Fajar, seorang perupa yang berasal dari Daerah Istimewa Yogyakarta, menggambar seorang wanita khas penduduk pegunungan tengah yang menggendong hewan ternak di atas kepalanya.

Ia mengatakan baru pertama kali menggambar dengan menggunakan medium kulit kayu. ”Menggambar di atas kulit kayu mempunyai tingkat kesulitan tersendiri. Misalnya, kulit kayu terlalu banyak menyerap tinta yang dicampur dengan air sehingga lukisan sangat lama untuk kering,” tutur Fajar.

Rifda Amalia, salah seorang perupa dari Jawa Barat, menyatakan, penggunaan tinta dari minyak dapat mencegah tingginya daya serap kulit kayu. Selain itu, lanjutnya, gunakanlah kuas berukuran kecil sehingga mudah menggambar di atas kulit kayu yang berbahan kasar itu.

Sempat hilang

Korry Ohe, salah satu tokoh masyarakat di Asei, menuturkan, tradisi melukis motif di atas kulit kayu telah dimulai sejak tahun 1600. Pada waktu itu, kulit kayu dari pohon bernama kombouw menjadi pakaian khas masyarakat. Mereka pun melukis kulit kayu tersebut dengan motif-motif yang memiliki makna tertentu. Tinta yang digunakan berasal dari arang, kapur sirih, dan bubuk batu kapur merah.

”Terdapat 10 motif yang masih bertahan hingga saat ini, di antaranya Yoniki, Fouw, Aye Mehele, O Mane-Mane, Aye Menggey Iuwga, Kheleauw, Khaley, Kino, dan Kheyka. Yoniki merupakan motif yang paling tertinggi karena melambangkan keperkasaan para ondofolo atau tetua adat,” papar pria berusia 54 tahun itu.

Ia mengungkapkan, kebudayaan tersebut sempat hilang pada akhir tahun 1800 karena masuknya peradaban baru. ”Masyarakat telah meninggalkan kulit kayu sebagai pakaian pada masa masuknya injil ke tanah Papua. Akibatnya, seni lukis motif pun terlupakan,” ujar Korry.

KOMPAS/DODY WISNU PRIBADI Atraksi lukis kulit kayu sepanjang 1 kilometer pada Festival Danau Sentani 2014.
Korry juga mengungkapkan, berkat sosialisasi yang terus digalakkan dua antropolog dari Universitas Cenderawasih, Arnold Ap dan Danielo Ayemiseba, masyarakat kembali menekuni tradisi melukis tersebut pada 1975. Akhirnya, tradisi itu kembali diajarkan dan ditularkan kepada anak-anak di Asei sejak duduk di bangku sekolah dasar sehingga kelak saat dewasa bisa menjadikan keterampilan itu sebagai pegangan hidup.

Kepala Seksi Pengumpulan dan Perawatan Koleksi Negara Galeri Nasional Indonesia Sumarmin, yang turut mengikuti rombongan para perupa, menuturkan, seni melukis motif di atas kulit kayu merupakan salah satu tradisi yang langka di dunia. Alasannya, tradisi tersebut memanfaatkan kearifan lokal dan menggunakan hasil hutan sebagai media untuk berekspresi dalam melukis.

”Kami akan berupaya untuk memperjuangkan tradisi ini sebagai salah satu warisan dunia dari Indonesia,” ujar Sumarmin.

Budaya dan potensi wisata di Papua dan Papua Barat pun tampil dalam Kompas Travel Fair yang berlangsung di Jakarta Convention Centre, mulai Jumat (26/9/2014) hingga Minggu. Wilayah ini memang pantas dikunjungi saat liburan. (Fabio M Lopes Costa)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com