Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kidung dari Negeri Seribu Rumpun

Kompas.com - 28/09/2014, 12:54 WIB
SEJENAK saya terdiam memandangi layar ponsel. Sebuah nama muncul di daftar kontak, Susi Kilo 10. Kenangan akan dirinya saat kunjungan saya ke Tanah Papua, mulai muncul. Susi (bukan nama sebenarnya) menghapus air matanya. Saya pun terdiam, tumbuh empati kepadanya. Susi adalah seorang Pekerja Seks Komersial dengan HIV di tubuhnya, yang bekerja di Kilo 10, Timika, Papua. Kilo 10 adalah wilayah prostitusi di Timika, dengan tingkat infeksi HIV/AIDS yang sangat tinggi.

Malam itu, didorong rasa penasaran, saya memberanikan diri menyambangi Kilo 10, berharap dapat berbincang dengan salah seorang dari para penjaja seks tersebut.

Beruntung Susi, yang sudah lima tahun bekerja di sana, bersedia bercerita tentang keadaannya kepada saya. Isak tangisnya mewarnai perbincangan kami. Kerinduannya pada kampung halaman di Pulau Jawa dan kepada kedua anaknya, menjadi pemicu isaknya. Himpitan ekonomi, menjadi alasan ia tetap bertahan ditempat ini. Susi mengaku tertular di tempat ini. Saat ini ia sedang mengumpulkan tabungan yang cukup untuk pulang dan membuka warung di kampungnya.

ARSIP KOMPAS TV Kesenian musik Tifa Suku Komoro di Timika, Papua.
Kemudian berhati-hati saya bertanya tentang kondisinya yang sudah terdiagnosis HIV, bagaimana ia menyikapinya terkait pekerjaan sebagai PSK. Susi pun mengaku saat menerima tamu ia tidak menceritakan kondisinya, namun memaksa tamu untuk menggunakan pelindung atau kondom. Bila sang tamu menolak, Susi tidak akan melayani.

Walau prihatin dengan kondisi Susi, rasa lega terbersit dalam diri saya. Sebagai seorang dokter, mencegah penularan HIV/AIDS sama pentingnya dengan penyakit itu sendiri. Saya berharap, apa yang dikatakan Susi benar adanya, sehingga setidaknya ia tidak menularkan kepada orang lain.

Saya meninggalkan Kilo 10 saat tempat tersebut mulai ramai pengunjung, dengan sejuta rasa berkecamuk dalam benak. Melihat langsung apa yang para pekerja seks komersial hadapi setiap malam, memberi ujian tersendiri bagi saya sebagai dokter.

Saya merasa selama ini cukup mampu mengesampingkan segala rasa yang muncul saat berhadapan dengan pasien di ruang praktik demi memberikan pelayanan kesehatan yang maksimal. Namun sebagai seorang wanita, berada di antara para pekerja seks komersial, di wilayah kerja mereka pada malam hari, dengan pelanggan lalu lalang menggoda dan digoda para pekerja seks komersial, ternyata mempengaruhi saya.

ARSIP KOMPAS TV Mencoba noken, tas khas Papua.
Saya merasa kepala saya penuh dengan pertanyaan yang bercampur dengan kekesalan. Rasa kesal atas pekerjaan yang mereka lakukan, adalah yang utama. Sulit bagi saya untuk mengerti, mengapa mereka bertahan dalam kondisi ini, yang memiliki risiko penularan penyakit mematikan seperti HIV/AIDS, dengan pendapatan yang bisa dibilang tidak seberapa dibandingkan dengan risiko tinggi yang mereka hadapi.

Sejujurnya, ada sebagian dari diri saya saat itu yang menolak untuk perduli terhadap kesehatan mereka. Saya untuk sesaat merasa ini adalah pilihan mereka dan sudah seharusnya mereka mempertimbangkan risikonya. Saat itu bagi saya, menolong mereka terasa membuang-buang waktu, karena bagi saya mereka memilih untuk tetap melakukan pekerjaan ini.

Namun isak tangis Susi menahan saya yang hampir beranjak dari kamar itu. Penyesalannya yang dalam dan keluhan-keluhan yang ia sampaikan tentang kondisi tubuhnya setelah terinfeksi HIV, segera menyadarkan saya akan peran saya sebagai pemberi layanan kesehatan.

Seketika rasa sesal menyusup kalbu, diikuti rasa khawatir sejawat saya yang lain juga memiliki pikiran yang tidak mulia tadi. Bila semua dokter berpikiran seperti saya tadi, maka siapa yang akan memberikan pelayanan kesehatan bagi Susi dan teman-temannya?

ARSIP KOMPAS TV Kesenian ukir Suku Komoro di Timika, Papua.
Saya menyadari, pilihan hidup Susi, tidak seharusnya mengaburkan niat seorang pemberi pelayanan kesehatan untuk memberikan pelayanan yang baik. Terlepas dari ketersediaan maupun ketidaktersediaan pilihan hidup lain bagi Susi dan banyak pekerja seks komersial lainnya, dan terlepas dari pilihan hidup yang mereka jalani, mereka memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik, dengan mengesampingkan semua penilaian dan stigma.

Pelajaran Berharga Bernama Malaria

Malam itu, dalam perjalanan pulang dari Kilo 10, saya mendapat kabar rekan seperjalanan saya, Maulana, demamnya semakin tinggi. Sudah dua hari terakhir  Maul merasa demam serta kurang enak badan. Seketika jantung saya berdebar keras mendengar kondisi Maul, ini pasti malaria. Mimpi buruk bagi pelancong, terutama di Papua yang memang daerah endemik. Padahal kami semua minum obat malaria dengan dosis pencegahan sebelum berangkat ke Papua.

Sebetulnya kami sudah sempat membawa Maul ke klinik setempat saat mulai demam, untuk pemeriksaan darah tepi. Namun diagnosa dari klinik setempat tidak menunjang diagnosa saya yang dari awal memang sudah curiga Malaria. Belakangan saya ketahui, di daerah endemis, pendatang bisa saja menunjukkan gejala klinis yang berat seperti Maul, padahal jumlah parasit yang ada di tubuhnya masih sedikit dan sulit dideteksi melalui pemeriksaan darah tepi. Selain itu, konsumsi obat malaria dosis pencegahan juga ternyata dapat mengacaukan pemeriksaan darah tepi.

Beruntung malam itu saya ditemani oleh teman-teman tenaga kesehatan yang sudah lama bertugas di Papua. Dari mereka saya ketahui bahwa obat malaria yang saya berikan untuk Maul ternyata tidak sesuai untuk mengobati malaria di Papua, karena sudah terjadi resistensi terhadap obat tersebut. Dari mereka juga saya akhirnya mendapat akses obat malaria yang tepat bagi Maul.

Malam itu, sembari memperhatikan tetesan cairan infus yang saya pasang di tangan kiri Maul sebagai terapi suportif untuk mengganti cairan yang hilang saat demam, saya mensyukuri keputusan saya untuk mendengarkan saran tenaga kesehatan setempat, walaupun mereka bukan dokter.

ARSIP KOMPAS TV Kesenian ukir dan musik Tifa Suku Komoro di Timika, Papua.
Saya harus mengakui, sesaat setelah mereka mengemukakan bahwa obat yang saya berikan tidak sesuai, saya bingung bagaimana harus merespon. Ego saya tersentil. Segala rasa berkecamuk. Rasa malu. Rasa gagal. Rasa khawatir akan kondisi Maul. Untungnya suara hati saya untuk mengikuti anjuran para tenaga kesehatan setempat, terdengar lebih keras.

Bisa saya bayangkan, bila saat itu saya tidak mendengarkan anjuran mereka, kemungkinan besar kondisi Maul akan sangat buruk, bahkan fatal.

Bagi saya, kepulihan Maul serta pertanggungjawaban tindakan dan keputusan saya kepada Sang Khalik, diri sendiri dan Maul sebagai pasien saya, lebih penting dari rasa malu. Karena profesi yang saya jalani ini, terikat sumpah yang mempertaruhkan kehormatan diri saya.

Maka kali lain bila pun saya harus mendengar anjuran dari orang yang bukan dokter, demi kebaikan pasien, maka saya tidak akan ragu mendengarkannya dan mempertimbangkannya, terutama dalam perjalanan, di mana mereka yang tinggal lebih lama kemungkinan lebih mengetahui karakteristik dan kondisi lingkungan. Sebuah pelajaran yang mahal dan berharga melalui malaria yang derita Maul, yang kemudian pulih dalam waktu 3 hari.

Kuliner ala Rawa-rawa

Sulit sekali rasanya menghentikan tawa saya siang itu di Otakwa. Bukan karena ada yang lucu. Tapi karena saya terjebak dalam lumpur rawa. Saya tak henti-hentinya menertawakan keadaan sekeliling saya. Sebatas pangkal paha saya terendam dalam lumpur rawa dan rasanya mustahil untuk berpindah tempat. Pak Marius yang membawa saya siang itu pun tidak dapat menahan geli melihat saya terjebak dalam lumpur rawa, berteriak teriak tertawa hampir histeris.

Semua kelimuan dalam mengarungi rawa ada di kepala saya. Bahwa kita sebaiknya tidak menginjak jejak yang ditinggalkan orang mendahului kita karena jejak yang mereka tinggalkan menyebabkan konsistensi lumpur menjadi lembek dan makin sulit untuk melepaskan diri. Tapi teori tinggal teori. Saat itu saya hampir lupa tujuan saya menyusuri lumpur rawa Otakwa, mencari cacing Tambelo segar untuk dimakan.

ARSIP KOMPAS TV Mengambil cacing Tambelo dari pohon kayu yang sudah tumbang.
Tidak berapa jauh berjalan di daerah yang bebas lumpur, Pak Marius dan istrinya menemukan batang pohon bakau yang sudah lapuk. Mereka yakin banyak cacing Tambelo yang berdiam di sana. Cacing tambelo segar yang kaya protein itu, menjadi makan siang saya di Otakwa hari itu. Rasa jijik yang saya kira akan timbul, lenyap tertutup rasa lapar, terutama setelah tenaga saya terkuras untuk melintasi rawa berlumpur.

Diluar perkiraan saya, tidak ada bau dan rasa tidak enak dari cacing mentah itu. Tanpa keraguan, cacing tambelo adalah salah satu makanan tinggi protein yang pernah saya konsumsi.

Setelah mengkonsumsi sekitar 5-6 cacing tambelo dewasa yang kira-kira berukuran 15-20 cm, saya pun terduduk kekenyangan di bawah sebuah pohon, sambil memperhatikan Pak Marius dan istrinya mengumpulkan cacing-cacing tambelo untuk dibawa pulang.

Saya pun kemudian teringat sederetan nama rumah makan cepat saji di ibu kota. Rumah-rumah makan cepat saji, yang ternyata, rasanya tidak seberapa dibanding cacing Tambelo yang baru saja saya konsumsi. Rumah-rumah makan cepat saji yang kontribusinya terhadap penyakit jantung dan pembuluh darah tidak dapat kita abaikan. Saat itu, seketika saya pun mengerti, betapa alam, menyajikan yang terbaik bagi penghuninya, dan maka, merupakan kewajiban bagi kita, para penghuninya, untuk menjaganya.

Petualangan dr Ratih dalam Doctors Go Wild episode "Kidung dari Negeri Seribu Rumpun" ditayangkan Kompas TV, Senin (29/9/2014) pukul 20.00 WIB. (dr Ratih Citra Sari)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Panduan Lengkap ke Desa Wisata Koto Kaciak, Simak Sebelum Datang

Panduan Lengkap ke Desa Wisata Koto Kaciak, Simak Sebelum Datang

Travel Tips
Traveloka Resmikan Wahana Baru di Kidzania Jakarta, Ada Diskon 25 Persen

Traveloka Resmikan Wahana Baru di Kidzania Jakarta, Ada Diskon 25 Persen

Travel Update
Barcelona Hapus Rute Bus dari Google Maps, Ini Alasannya

Barcelona Hapus Rute Bus dari Google Maps, Ini Alasannya

Travel Update
4 Tips Berkunjung ke Desa Wisata Koto Kaciak, Datang Pagi Hari

4 Tips Berkunjung ke Desa Wisata Koto Kaciak, Datang Pagi Hari

Travel Tips
Cara Menuju ke Desa Wisata Lerep Kabupaten Semarang

Cara Menuju ke Desa Wisata Lerep Kabupaten Semarang

Jalan Jalan
4 Oleh-Oleh Desa Wisata Koto Kaciak, Ada Rinuak dan Celana Gadebong

4 Oleh-Oleh Desa Wisata Koto Kaciak, Ada Rinuak dan Celana Gadebong

Travel Tips
Istana Gyeongbokgung di Korea Akan Buka Tur Malam Hari mulai Mei 2024

Istana Gyeongbokgung di Korea Akan Buka Tur Malam Hari mulai Mei 2024

Travel Update
Desa Wisata Lerep, Tawarkan Paket Wisata Alam Mulai dari Rp 60.000

Desa Wisata Lerep, Tawarkan Paket Wisata Alam Mulai dari Rp 60.000

Jalan Jalan
Itinerary Seharian Sekitar Museum Mpu Tantular Sidoarjo, Ngapain Saja?

Itinerary Seharian Sekitar Museum Mpu Tantular Sidoarjo, Ngapain Saja?

Jalan Jalan
 7 Olahraga Tradisional Unik Indonesia, Ada Bentengan

7 Olahraga Tradisional Unik Indonesia, Ada Bentengan

Jalan Jalan
5 Tips Liburan dengan Anak-anak Menggunakan Kereta Api Jarak Jauh

5 Tips Liburan dengan Anak-anak Menggunakan Kereta Api Jarak Jauh

Travel Tips
Mengenal Desa Wisata Koto Kaciak, Surga Budaya di Kaki Bukit Barisan

Mengenal Desa Wisata Koto Kaciak, Surga Budaya di Kaki Bukit Barisan

Jalan Jalan
Aktivitas Wisata di Bromo Ditutup mulai 25 April 2024, Ini Alasannya

Aktivitas Wisata di Bromo Ditutup mulai 25 April 2024, Ini Alasannya

Travel Update
Bali Jadi Tuan Rumah Acara UN Tourism tentang Pemberdayaan Perempuan

Bali Jadi Tuan Rumah Acara UN Tourism tentang Pemberdayaan Perempuan

Travel Update
Hari Kartini, Pelita Air Luncurkan Penerbangan dengan Pilot dan Awak Kabin Perempuan

Hari Kartini, Pelita Air Luncurkan Penerbangan dengan Pilot dan Awak Kabin Perempuan

Travel Update
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com