Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 29/09/2014, 17:48 WIB
EditorI Made Asdhiana
INA Getreda Kanakoi (75) asyik menenun di bawah pohon rindang. Ketika Daniel E Robe (49) datang, dia terkejut gembira. Daniel lalu mendekap erat pundak perempuan tua itu. ”Sudah sejak 30 tahun lalu saya pesan tenun dari Ina Getreda,” ujar Daniel tersenyum haru.

Daniel, warga Sabu yang juga Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika di Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur, rupanya sudah cukup lama tidak bertemu dengan Ina Getreda. Ina adalah sebutan untuk kaum perempuan yang berarti ibu. Siang itu, Daniel menyeberang ke Pulau Raijua, sekitar 45 menit dengan kapal cepat dari Pulau Sabu, untuk mempersiapkan rencana pembuatan embung-embung di Pulau Raijua yang gersang. Daniel pun lalu menyempatkan diri menjenguk petenun langganannya, Ina Getreda.

Saat itu Ina Getreda tengah menenun sehelai sarung tenun pesanan dari Bali. Nenek bercucu 22 orang ini masih aktif menenun kain pesanan dari beberapa daerah di luar Sabu. Pemesan dari luar Sabu Raijua biasanya kolektor dan penggemar tenun. Ina Getreda paham, biasanya mereka amat menghargai tenun yang dibuat secara alami, seperti yang dilakukan nenek moyang orang Sabu Raijua.

”Mereka mau tenun yang pakai pewarna alami walaupun pakai benang dari toko (bukan benang yang dipintal sendiri dari pohon kapas). Tenun ini, misalnya, pakai pewarna nila,” kata Ina Getreda yang tengah menenun sarung berwarna indigo gelap yang anggun.
Ramah

KOMPAS/LASTI KURNIA Mencelup benang dengan pewarna alami di Desa Mesara, Sabu Barat, Sabu Raijua, NTT, Rabu (10/9/2014). Kegiatan produksi tenun oleh kelompok tenun di desa Mesara kini kembali menerapkan pengunaan bahan benang dari kapas dan mengunakan pewarna alami.
Pulau Sabu adalah pulau yang penuh kehangatan. Sikap penduduknya ramah dan hangat, juga kepada pendatang. Di pulau ini, salam di antara dua orang dilakukan dengan cara mencium hidung, yakni saling menempelkan ujung hidung. Tradisi itu berlaku baik sesama laki-laki, perempuan, maupun antara laki-laki dan perempuan, tanpa memandang kerabat atau bukan. ”Karena hidung itu lubang kehidupan,” kata Zadrak Bunga, ketua sanggar petenun di Desa Pedero, Sabu.

Seperti halnya tenun di sejumlah wilayah Nusantara, tenun Sabu tak hanya dipelihara sebagai pusaka leluhur, tetapi juga telah menjadi komoditas. Komodifikasi tenun bagaimanapun berkontribusi memelihara keberlangsungan wastra Nusantara karena memberikan celah ekonomi bagi para petenun, terlebih di pulau gersang seperti Sabu dan Raijua.

Benang pabrikan dan pewarna kimia lantas menjadi tumpuan petenun. Proses produksi tenun menjadi lebih cepat dan lebih banyak dibandingkan dengan pewarna alami sehingga masuknya pendapatan pun bisa lebih cepat. Meski begitu, di Sabu dan Raijua, petenun harus bergeliat untuk memperoleh bahan baku tersebut. Saat ini belum ada koperasi yang dapat memudahkan petenun mengakses bahan baku dengan harga terjangkau dan membantu pemasaran produk akhir.

Ina Henderina (63), petenun di Desa Kolorae, Pulau Raijua, misalnya, memperoleh benang dan pewarna kimia dengan cara titip beli jika ada kerabat atau kenalan yang akan menyeberang ke Pulau Sabu. Benang dan pewarna yang dijual di Pulau Sabu pun masih sporadis oleh pedagang yang didapat dari Kupang, yang berasal dari Surabaya, Jawa Timur. Kualitasnya pun tidak terlalu baik.

KOMPAS/LASTI KURNIA Nahere(42) melakukan ritual bakar batu laut (batu kapur) di desa Namata, Sabu Barat, Sabu Raijua, NTT, Selasa (9/9/2014). Pengunaan sarung tenun menjadi busana yang wajib digunakan dalam kegiatan-kegiatan ritual.
Benang ukuran 32/2 yang dipakai Ina Henderina, misalnya, tampak berbulu dan tidak merata diameter ketebalannya. Padahal, setelah perjalanan panjang, harga benang per bantal yang dibebankan kepada Ina Henderina bisa mencapai Rp 200.000, yang menghasilkan dua lembar sarung (ei) atau tiga lembar selimut (hi’i). Sementara harga jual sarung atau selimut yang ditenunnya selama sepekan itu hanya sekitar Rp 300.000.

Selain memproduksi tenun dengan pewarna kimia, sudah cukup banyak petenun yang juga memproduksi tenun dengan pewarna alam. Beberapa kelompok tenun di Sabu, seperti di Mesara, menggunakan pewarna alam dari tumbuhan sesuai dengan tradisi nenek moyang. Harga jualnya pun lebih tinggi. Kelompok semacam ini dibina oleh Yayasan Pecinta Budaya Bebali di Bali, yang juga memasok benang berkualitas kepada petenun.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rekomendasi untuk anda
27th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

Terkini Lainnya

4 Tempat Snorkeling dan Diving di Sabang, Asyik Lihat Terumbu Karang

4 Tempat Snorkeling dan Diving di Sabang, Asyik Lihat Terumbu Karang

Jalan Jalan
5 Tips Berkunjung ke Museum Multatuli, Baca Sejarah Dahulu

5 Tips Berkunjung ke Museum Multatuli, Baca Sejarah Dahulu

Travel Tips
20 Tempat Liburan di Sumatera Utara yang Paling Terkenal 

20 Tempat Liburan di Sumatera Utara yang Paling Terkenal 

Jalan Jalan
Jalur Pedestrian Batam Center Jadi Tempat Tongkrongan Instagramable

Jalur Pedestrian Batam Center Jadi Tempat Tongkrongan Instagramable

Travel Update
Kursi KA Ekonomi Dimodifikasi, Tak Lagi Tegak 90 Derajat

Kursi KA Ekonomi Dimodifikasi, Tak Lagi Tegak 90 Derajat

Travel Update
4 Tips Berkunjung ke Perpustakaan Nasional, Bawa Uang Tunai

4 Tips Berkunjung ke Perpustakaan Nasional, Bawa Uang Tunai

Travel Tips
Rute Transportasi ke Perpustakaan Nasional, Naik Transjakarta dan KRL

Rute Transportasi ke Perpustakaan Nasional, Naik Transjakarta dan KRL

Travel Tips
Pendakian Arjuno-Welirang Tutup Sementara per 27 Mei 2023, Imbas Kebakaran Hutan

Pendakian Arjuno-Welirang Tutup Sementara per 27 Mei 2023, Imbas Kebakaran Hutan

Travel Update
6 Tradisi Perayaan Waisak di India, Tanah Kelahiran Sang Buddha 

6 Tradisi Perayaan Waisak di India, Tanah Kelahiran Sang Buddha 

Jalan Jalan
Harga Tiket dan Jam Buka Pameran Keris Kuno Era Majapahit di Yogyakarta

Harga Tiket dan Jam Buka Pameran Keris Kuno Era Majapahit di Yogyakarta

Travel Tips
Animalium BRIN Cibinong, Belajar Seputar Hewan Saat Libur Sekolah

Animalium BRIN Cibinong, Belajar Seputar Hewan Saat Libur Sekolah

Jalan Jalan
5 Tips Pilih Hotel untuk Liburan Sekolah, Pilih yang Ramah Anak

5 Tips Pilih Hotel untuk Liburan Sekolah, Pilih yang Ramah Anak

Travel Tips
Dukung Waisak 2023, Batik Air Sediakan 63.360 Kursi Menuju Yogya dan Solo

Dukung Waisak 2023, Batik Air Sediakan 63.360 Kursi Menuju Yogya dan Solo

Travel Update
Lokasi Ndalem Poenakawan di Yogyakarta, Tempat Pameran Keris Era Majapahit dan Mataram Islam

Lokasi Ndalem Poenakawan di Yogyakarta, Tempat Pameran Keris Era Majapahit dan Mataram Islam

Travel Tips
7 Penginapan Murah Dekat Candi Borobudur, Rp 100.000-an Per Malam 

7 Penginapan Murah Dekat Candi Borobudur, Rp 100.000-an Per Malam 

Hotel Story
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+