Daniel, warga Sabu yang juga Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika di Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur, rupanya sudah cukup lama tidak bertemu dengan Ina Getreda. Ina adalah sebutan untuk kaum perempuan yang berarti ibu. Siang itu, Daniel menyeberang ke Pulau Raijua, sekitar 45 menit dengan kapal cepat dari Pulau Sabu, untuk mempersiapkan rencana pembuatan embung-embung di Pulau Raijua yang gersang. Daniel pun lalu menyempatkan diri menjenguk petenun langganannya, Ina Getreda.
Saat itu Ina Getreda tengah menenun sehelai sarung tenun pesanan dari Bali. Nenek bercucu 22 orang ini masih aktif menenun kain pesanan dari beberapa daerah di luar Sabu. Pemesan dari luar Sabu Raijua biasanya kolektor dan penggemar tenun. Ina Getreda paham, biasanya mereka amat menghargai tenun yang dibuat secara alami, seperti yang dilakukan nenek moyang orang Sabu Raijua.
”Mereka mau tenun yang pakai pewarna alami walaupun pakai benang dari toko (bukan benang yang dipintal sendiri dari pohon kapas). Tenun ini, misalnya, pakai pewarna nila,” kata Ina Getreda yang tengah menenun sarung berwarna indigo gelap yang anggun.
Ramah
Seperti halnya tenun di sejumlah wilayah Nusantara, tenun Sabu tak hanya dipelihara sebagai pusaka leluhur, tetapi juga telah menjadi komoditas. Komodifikasi tenun bagaimanapun berkontribusi memelihara keberlangsungan wastra Nusantara karena memberikan celah ekonomi bagi para petenun, terlebih di pulau gersang seperti Sabu dan Raijua.
Benang pabrikan dan pewarna kimia lantas menjadi tumpuan petenun. Proses produksi tenun menjadi lebih cepat dan lebih banyak dibandingkan dengan pewarna alami sehingga masuknya pendapatan pun bisa lebih cepat. Meski begitu, di Sabu dan Raijua, petenun harus bergeliat untuk memperoleh bahan baku tersebut. Saat ini belum ada koperasi yang dapat memudahkan petenun mengakses bahan baku dengan harga terjangkau dan membantu pemasaran produk akhir.
Ina Henderina (63), petenun di Desa Kolorae, Pulau Raijua, misalnya, memperoleh benang dan pewarna kimia dengan cara titip beli jika ada kerabat atau kenalan yang akan menyeberang ke Pulau Sabu. Benang dan pewarna yang dijual di Pulau Sabu pun masih sporadis oleh pedagang yang didapat dari Kupang, yang berasal dari Surabaya, Jawa Timur. Kualitasnya pun tidak terlalu baik.
Selain memproduksi tenun dengan pewarna kimia, sudah cukup banyak petenun yang juga memproduksi tenun dengan pewarna alam. Beberapa kelompok tenun di Sabu, seperti di Mesara, menggunakan pewarna alam dari tumbuhan sesuai dengan tradisi nenek moyang. Harga jualnya pun lebih tinggi. Kelompok semacam ini dibina oleh Yayasan Pecinta Budaya Bebali di Bali, yang juga memasok benang berkualitas kepada petenun.
Keindahan tenun Sabu dan Raijua sudah demikian tersohor hingga mancanegara, terutama tenun Raijua yang menampilkan motif lebih halus karena setiap ikatan motif pada lungsi hanya terdiri atas enam benang. Tak jarang kolektor asing berburu tenun Sabu Raijua langsung kepada petenun di desa-desa. Bahkan, tenun-tenun tua pun diburu.
Kemiskinan
Bagi Ina Henderina dan petenun Sabu lain, penghasilan tambahan dari penjualan tenun digunakan untuk keperluan hidup yang mendasar, yaitu pangan. Seperti disebut peneliti asal Jepang, Akiko Kagiya, dalam bukunya, Female Culture in Raijua (2010), Sabu Raijua dikenal sebagai pulau yang penduduknya jarang makan. Kondisi tanahnya demikian tandus dan gersang. Penggambaran Akiko itu tidak berlebihan sebab sejak dahulu orang Sabu Raijua memang jarang makan sehari-hari.
Kemiskinan yang menyesakkan di Sabu Raijua itu berangsur diretas sejak kawasan ini menjadi kabupaten empat tahun lalu. Bupati Sabu Raijua Marthen Dira Tome berusaha keras mewujudkan kemandirian pangan bagi penduduk Sabu Raijua. Hasilnya, kini kita bisa melihat ”keajaiban” yang mulai bertumbuhan di Sabu Raijua. Sawah hijau royo-royo pada musim panas, lahan sayur mayur dan buah terhampar. Semua sumber air yang ada dioptimalkan untuk pertanian melalui pipanisasi.
”Kami berusaha mandiri dahulu di bidang pangan walau tanah gersang dan miskin. Slogan kami, ’Sabu Raijua Juga Bisa’,” ujar Marthen.
Oleh karena itu, bisa dipahami bahwa pengembangan tenun sebagai komoditas di Sabu Raijua belum tergarap secara maksimal. Meski begitu, Kepala Dinas Perindustrian Kabupaten Sabu Raijua Lewi Tandirura mengatakan, koperasi tenun akan segera dibentuk dengan target meretas masalah krusial petenun, yakni soal pemasaran, selain pengadaan bahan baku.
Kendati hidup di Sabu begitu keras, lihatlah bagaimana transaksi jual-beli ala Sabu yang begitu mesra. Di pasar dadakan di pelabuhan itu, penjual dan pembeli tawar-menawar dengan penuh sayang. Calon pembeli menawar dagangan dengan mengusap- usap kepala penjual, termasuk mengelus pipinya. Senyum hangat dan suara lembut mewarnai suasana transaksi.
Kerasnya kehidupan dan kemiskinan yang mengimpit tak membuat perilaku mereka menjadi kasar, tetapi mewujud dalam bentuk kehangatan. (Sarie Febriane & Lasti Kurnia)
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.