Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Melepas Penat dengan "Travelling"

Kompas.com - 18/10/2014, 17:26 WIB
ADA saja cara untuk melepaskan diri dari kepenatan Ibu Kota. Salah satu yang nge-trend belakangan ini adalah bertualang ke sejumlah daerah di Tanah Air. Sebagian orang tur keliling Eropa dan negara-negara Asia. Lalu, pengalaman mereka dibagikan melalui blog, buku travelling, dan artikel di majalah.

Pada Minggu (12/10/2014) siang, pasangan suami-istri Teddy W Kusuma dan Maesy Angelina duduk bersisian di sebuah kafe di daerah Kuningan, Jakarta Selatan. Di hadapan mereka ada sebuah komputer jinjing menyala. Jemari Maesy bergerak lincah di atas papan ketik.

Teddy membaca cerita yang dibuat Maesy. Sesekali dia memberikan masukan untuk ditambahkan dalam tulisan. Cerita yang mereka tuliskan diunggah di blog http://thedustysneakers.com/.

Teddy yang karyawan financial management analysist di sebuah lembaga donor internasional menganggap kegiatan menulis bisa melatih otak kanannya agar lebih kreatif. Pasangan ini sudah menulis kisah-kisah perjalanan sejak tahun 2009.

Saat itu, Maesy mendapat beasiswa pendidikan ke Belanda. Di sela-sela waktu kuliahnya, Maesy mengunjungi sejumlah negara di Eropa, seperti Perancis, Ceko, Portugal, dan Belgia.

Di Tanah Air, Teddy juga menikmati perjalanannya keliling Indonesia. Dia mengunjungi antara lain Merauke, Papua, dan Bukittinggi, Sumatra Barat. Teddy juga berinteraksi dengan masyarakat adat Baduy di Lebak, Banten. Selain itu, dia juga mendaki Gunung Merapi, Merbabu, Sindoro, Ceremai, Rinjani, dan sejumlah gunung lainnya.

KOMPAS/PRIYOMBODO Suasana senja di Jam Gadang, Bukittinggi, Sumatera Barat, beberapa waktu lalu. Jam Gadang hingga kini menjadi ikon sekaligus tujuan wisata di Bukittinggi.
Untuk menjaga hubungan jarak jauh, Maesy dan Teddy saling mengirimkan cerita. Bulan September lalu, cerita mereka diterbitkan menjadi buku berjudul The Dusty Sneakers, Kisah Kawan di Ujung Sana.

Dalam salah satu ceritanya, Teddy membagikan pengalaman mendaki Gunung Merapi di Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta. Saat beristirahat di Pasar Bubrah, Teddy bermimpi bertemu ayahnya yang sudah meninggal.

Mimpi itu membuat dia bahagia sekaligus takut. Perjalanan mendaki gunung adalah perjalanan yang membutuhkan kewaspadaan. Seorang pendaki bisa saja kecelakaan hingga meninggal. Namun, begitu sampai puncak gunung dan melihat matahari terbit, rasa letih dan takutnya lenyap. Bagi Teddy, perjalanan merupakan salah satu cara mengenal diri sendiri sekaligus memahami apa yang paling berarti dalam hidup ini.

Kegiatan travelling juga dinikmati Agni Malagina (35), pengajar Sastra Tiongkok di Universitas Indonesia. Kesenangan itu berasal dari pengalaman masa kecilnya.

Saat masih tinggal di Karanganyar, Kebumen, Jawa Tengah, Agni kecil gemar bersepeda menyusuri pantai dan berjalan menelusuri gua. Neneknya juga kerap mengajak dia menikmati berbagai makanan di pasar tradisional.

KOMPAS IMAGES / FIKRIA HIDAYAT Pendaki menuruni sisi utara Gunung Merapi (2.896 mdpl) menuju pos Pasar Bubrah di jalur Selo, Boyolali, Jawa Tengah, Minggu (8/6/2014). Merapi adalah salah satu gunung berapi teraktif di dunia. Status gunung saat ini normal setelah sempat dinaikkan karena terjadi beberapa erupsi kecil. Pendakian ke gunung ini masih berbahaya penuh material lepas.
Bagi Agni, perjalanan adalah salah satu cara keluar dari kepenatan kota. Tahun lalu, Agni pergi ke Timor Timur. Selain jalan-jalan dan wisata kuliner, dia meneliti kehidupan masyarakat Tiongkok. Penelitian dipakai untuk bahan disertasi. Dia juga menulis artikel yang dimuat dalam majalah dan situs berita National Geographic Indonesia. ”Kadang-kadang, keluar dari Jakarta itu asyik banget,” kata Agni.

Tak harus jauh

Bagi Farchan Noor Rachman, penulis Backpacking Jepang, travelling tidak berarti pergi ke tempat jauh dengan biaya mahal. ”Mengunjungi museum, menikmati makanan di pasar tradisional, dan berinteraksi dengan masyarakat lokal adalah bagian dari travelling,” katanya.

Saat masih kuliah, bersama sekitar 20 temannya pemuda yang biasa disapa Efenerr mengunjungi berbagai kota di Pulau Jawa. ”Aku dan teman-teman rela tidur di emperan toko atau nginep di kantor polisi. Kalau mau jalan-jalan bisa naik truk atau kereta ekonomi,” kenang Farchan.

Perjalanan mengajarkan Farchan akan makna toleransi. Semangat itu yang membuat dia bertahan hidup di kota besar dengan segala dinamikanya. ”Pernah suatu hari aku mendapat telepon dari orang Papua. Dia marah-marah akan suatu hal. Karena sudah terbiasa berinteraksi dengan orang dari beragam latar belakang, aku menjawab dalam logat Papua. Orang itu langsung melunak dan tidak marah lagi,” kata Farchan yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil itu.

Agni pun menuturkan hal senada. Daripada selalu mengeluhkan kondisi Ibu Kota yang selalu ramai, macet, dan kotor, Agni berusaha menikmati kota ini dengan kacamata seorang ”pejalan”. Setiap akhir pekan Agni jelajah kuliner di Jakarta dan sekitarnya. Dari penjelajahannya itu Agni menemukan menu tradisional yang enak dengan harga terjangkau.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO Kunjungan wisatawan mancanegara di Museum Nasional, Jakarta, Jumat (4/10/2013). Beberapa waktu lalu, museum tersebut kehilangan empat artefak berlapis emas yang merupakan peninggalan Kerajaan Mataram Kuno pada abad ke-10 Masehi.
Bagi Teddy dan Maesy, Jakarta memiliki daya tarik berupa sudut-sudut kreatif yang tumbuh antara lain di pasar tradisional dan ruang terbuka hijau. Bagi mereka, Jakarta memang sumpek, tetapi bisa dinikmati asalkan mau membuka diri.

Psikolog dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia, Irma Gustiana, mengatakan, travelling merupakan cara menghilangkan kejenuhan dan rasa tidak nyaman. ”Kegiatan ini bisa mengurangi stres akibat polusi dan kemacetan hidup di kota besar,” kata Irma.

Menurut Irma, masyarakat perlu menyusun rencana travelling sebaik mungkin, terutama perlu disesuaikan dengan kemampuan keuangan. ”Travelling harus dilakukan secara ’sehat’ dan jangan malah membebani diri sendiri,” katanya. (A14)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com