Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sepasang Kumbang Penari

Kompas.com - 23/10/2014, 17:49 WIB
ALUNAN gamelan Bali memecah keheningan pagi. Ketika itu I Made Bandem memegang lembut tangan sang istri, NLN Suasthi Widjaja Bandem. Di depan pelinggih penjaga rumah atau penunggun karang mereka menarikan percintaan kumbang lelaki dan kumbang perempuan atau tari oleg tamulilingan.

Tarian kumbang menjadi tari wajib yang selalu dibawakan oleh sepasang kekasih ini. Suasthi tampil begitu gemulai menirukan kumbang betina nan ayu. Bandem menyambut keanggunan sang istri dengan gerakan-gerakan tari yang penuh gairah. Keharuman bunga kamboja yang berguguran mengubah suasana menjadi semakin romantis. Perlahan, Suasthi menyematkan sekuntum kamboja ke telinga Bandem.

Tari Bali telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan suami-istri Bandem dan Suasthi. Seolah tak kenal kata lelah, mereka terus bahu-membahu memajukan tari Bali. Hingga kini, Bandem dan Suasthi aktif sebagai pengajar tari di Departemen Teater College of the Holy Cross di Worcester, Massachusetts, Amerika Serikat.

Di sela kesibukannya bolak-balik Denpasar-Massachusetts itulah, kami menemui sepasang maestro tari Bali ini di rumahnya yang nyaman di Denpasar. Kecintaan pada seni pertunjukan maupun seni rupa Bali tertanam di setiap sudut rumah. Dinding rumah dipenuhi lukisan dari seniman seperti Putu Sutawijaya, Edi Sunaryo, dan Joko Pekik.

Ada pula lukisan karya pelukis berdarah campuran Spanyol-Italia yang telah menetap di Bali, Don Antonio Blanco. Ketika masih duduk di bangku SMA, Suasthi pernah menjadi model lukisan Blanco. Di gudang rumah, Bandem juga menyimpan 12 lukisan kuno bertahun 1910. Lukisan tentang leak (penyihir jahat) itu diperolehnya dari seorang etnolog asal Amerika yang menetap di Sanur.

”Rumah ini sebenarnya cukup kalau mau dibuka untuk koleksi seni kontemporer. Sebenarnya sudah lengkap sekali. Ada keinginan membuat perpustakaan di rumah ini. Kami berdua ini multidisiplin. Ibu menari. Saya juga menari, menabuh gamelan, etnografer. Ingin dibagi dengan masyarakat,” kata Bandem.

Bandem merupakan orang Indonesia pertama yang memperoleh gelar doktor di bidang etnomusikologi dari Wesleyan University, Middletown Connecticutt, Amerika Serikat pada 1980. Ia menerima berbagai penghargaan atas sumbangan pemikiran serta perannya dalam bidang seni, seperti International Music Council Award, Dharma Kusuma Art Award, hingga Koizumi Award di Jepang.

Pelestarian tari

Suasthi turut berkontribusi bagi kemajuan seni Bali sebagai dosen, penari, dan koreografer. Ia antara lain pernah menari di depan Presiden Ronald Reagan pada 1986. Karya tari ciptaannya seperti tari Siwa Nataraja menjadi maskot ISI Denpasar, tari Saraswati untuk Universitas Maha Saraswati Denpasar, dan tari Widya Prakrti untuk STIKOM Bali.

”Ingin ada keunikan kala wisuda. Saya punya ide membuat tari kebesaran. Lalu ibu diminta menciptakan. Itu pertama kali sebuah perguruan tinggi menciptakan tari kebesaran. Proses berkaryanya saling mengisi,” tambah Bandem.

Sama-sama paham tentang budaya Bali, Bandem dan Suasthi lantas saling menimpali sekaligus melengkapi dalam wawancara yang berlangsung hingga tengah hari di ruang tamu rumahnya. Bagi mereka, tak ada lagi aku atau kamu, seluruhnya diatasnamakan sebagai ”kita”. Searah, satu tujuan, demi kemajuan budaya Bali.

Bagaimana makna konservasi tari Bali?

Seni bukan benda mati. Kita hidupkan kembali dengan roh baru biar bisa diterima masyarakat sekarang. Bisa diisi dengan sesuatu yang baru. Harus dikasih ruang baru. Kalau tetap dibiarkan jadi stagnan.

Saya sekarang sedang aktif sebagai pembina yayasan pengelola STIKOM Bali. Sedang mengembangkan pemahaman tentang pentingnya database. Kita masih lemah di database. Dari 14.400 benda koleksi di Museum Bali, paling cuma 500 koleksi yang dipamerkan. Sisanya di gudang. Tak ada yang memperhatikan.

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG Pakar musik gamelan Bali, I Made Bandem, menunjukkan salah satu koleksi kain tradisional Bali.
Tahun 1992 saya buat database seni pertunjukan dengan Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI, sekarang dilebur menjadi Institut Seni Indonesia) dan Universitas Udayana. Masih ada 6.015 kelompok seni pertunjukan tradisi di Bali, 70 persennya untuk upacara di pura atau puri. Hanya 30 persen yang untuk pertunjukan. Banyak grup baru bermunculan.

Seluruh karya ibu sudah terdokumentasi dalam wujud video dan buku. Khawatir kalau karya tari bisa diaku orang. Tari pendet yang bermula dari tari upacara di Bali, misalnya, sempat diaku Malaysia. Kita waswas karena dengan kemajuan teknologi, karya seni tari mudah sekali diklaim.

Bagaimana supaya yang baru tidak menenggelamkan yang lama?

Seni klasik seperti topeng, legong, dan gambuh di Bali enggak pernah mati. Upacara keagamaan juga pasti melibatkan seni. Makanya terus tetap hidup.

Namun kita harus terus membuat koreografi baru, memberi roh baru atas kekayaan seni tradisi kita. Tahun 1983, kami membuat koreografi tari Rejang Dewa dengan 12 penari. Gerak tarinya kami bangun dari beragam perbendaharaan gerak tari Rejang dari seluruh Bali, lalu padukan menjadi koreografi tari baru dengan nama Rejang Dewa. Kami pertama kali menarikannya di depan Presiden Ronald Reagan dan Nancy Reagan dalam acara jamuan makan malam kenegaraan pada 1986.

Publik di Bali menerima tari Rejang Dewa sebagai tari sakral. Semua anak di Bali sekarang belajar Rejang Dewa, antara lain karena koreografi Rejang Dewa lebih mudah dipelajari dibandingkan tari Rejang lainnya yang dianggap sakral.

Belakangan, tahun 2000, terjadi perdebatan sengit di Bali setelah Rejang Dewa dipentaskan di Prambanan dalam rangkaian perayaan Hari Raya Nyepi. Di Prambanan, Rejang Dewa ditarikan 25 mahasiswa ISI Yogyakarta. Tidak ada orang Bali. Orang Bali ribut.

Mereka tidak mengetahui kalau Rejang Dewa adalah koreografi baru. Polemik berlanjut selama dua pekan, bahkan ada desakan agar Bapak minta maaf kepada masyarakat Bali. Kami lalu menulis artikel di surat kabar, menjelaskan proses penciptaan Rejang Dewa, mengakhiri polemik itu.

Tari dan tenun

Kain tradisional Bali bagian tak terpisahkan dari kehidupan penari Bali. Bandem mengisahkan eratnya pertalian antara tari dan kain tenun tradisional Bali. Di meja rumahnya, Suasthi menggelar koleksi beragam tenun Bali kuno, mengisahkan asal-usul tiap-tiap tenunan yang terkumpul dari seluruh penjuru Bali.

”Kami orang Bali meyakini keterampilan menenun di Bali diturunkan Dewi Ratih yang mengajari cara memintal kapas dan menenun kain. Kain tenun dikerjakan di puri para bangsawan dengan segenap keyakinan untuk mempersembahkan keindahan, menghasilkan busana terbaik dalam setiap pemujaan dan ritual. Ada masa ketika seorang gadis Bali tidaklah utuh tanpa keterampilan menenun,” kata Bandem.

Itulah mengapa Bali begitu kaya dengan beragam kain tenun tradisional. Mulai dari endek, gringsing, cepuk, rangrang, dekat dengan keseharian manusia Bali, dan dekat dengan para penari. Di antara itu semua, endek sebagai tenun ikat pakan memiliki keluwesan mengadopsi beragam motif tenun klasik lainnya dan kerap diunggah ke panggung para penari, termasuk panggung karya-karya Suasthi.

Sejak 1983, Suasthi menjadikan tenun endek dengan beragam corak motif tenun tradisional seperti gringsing sebagai kostum untuk koreografi tari ciptaannya. ”Saya mencintai tenunan dari mana saja. Karena kami penari, kami membeli kain, kami membeli topeng,” kata Suasthi.

Erat kaitan antara tari dan tenun?

Karena untuk kostum. Banyak gerakan tari muncul oleh karena penggunaan kostum. Misal pakai saput, banyak sekali gerakan tari yang muncul akibat kostum ini. Tenun itu penting pada gerak tari. Revitalisasi memberi jiwa yang baru. Dikembangkan menjadi fashion. Dibuat desain mengarah ke lebih enak dipakai.

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG Seniman gamelan Bali, I Made Bandem (kiri), dan istrinya, Suasthi Widjaja, seorang penari dan koreografer, mengenakan tenun Bali.
Saya mengangkat wastra Bali yang biasa dipakai buat upacara ke dalam tarian. Pada waktu itu saya angkat endek bali dengan motif gringsing sebagai kostum tarian. Dan ditambah prada motif emas dalam kostum. Sejak itu seniman lain melihat, bagus juga endek dipakai lalu banyak yang mengikuti.

Ketika saya diminta menggarap tari tantri saat mengikuti festival di Jakarta tahun 1983, saya angkat wastra Bali ke dalam pementasan. Awalnya, sedikit diprotes. Saya bilang ini salah satu jalan kita lestarikan wastra Bali. Kami turut menyelenggarakan pameran wastra Bali di Jakarta.

Banyak grup mempelajari tarian kami. Mereka mulai bikin kostum sesuai yang saya desain. Endek mulai hidup lagi. Karena digunakan dalam tari-tarian. Grup kesenian ke luar negeri pasti pakai endek. Sangat eksotis. Unik. Orang Indonesia enggak perlu cari sesuatu yang lain dari yang dia miliki. Kita kaya sekali. (Aryo Wisanggeni & Mawar Kusuma) 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com