MBAY, KOMPAS.com - Sebagian dari tradisi unik di sembilan kabupaten di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) dilupakan dalam mempromosikannya. Berada di kampung terpencil dan pedalaman menjadi salah satu kendala dalam memperkenalkan tradisi yang masih dipertahankan hingga era teknologi di zaman global ini. Apalagi, atraksi budaya yang unik hanya disaksikan oleh warga masyarakat di kampung dan desa itu saja.
Salah satu satu tradisi yang tidak terpengaruh dengan budaya global yang ingar bingar adalah Tradisi “Sepa Api” dari Kampung Pau dan Toda di Kampung Pautola, Desa Pautola, Kecamatan Keo Tengah, Kabupaten Nagekeo, Pulau Flores, NTT. Dalam bahasa warga Keo Tengah, "sepa" diartikan tendang dan "api" diartikan api. Jadi “Sepa Api” adalah sebuah tradisi tendang bara api dari tempurung kelapa.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Bara api tempurung yang siap ditendang pada acara 'sepa api' di Kampung Pautola, Kecamatan Keo Tengah, Kabupaten Nagekeo, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.
Setiap tahun tradisi ini digelar untuk mempertahankan kelangsungannya bagi generasi demi generasi di Kampung Pautola dan sekitarnya. Apa uniknya tradisi ini? Tradisi ini memiliki kekhasan tersendiri di Pulau Flores di mana tradisi digelar dari pukul 18.00 sampai subuh dengan berbagai rangkaian acara yang tidak terlewati.
Ana Susu sekaligus Nete Niro (dukun adat) dan Kepala Suku Besar Suku Pautoada, Yosep Daga kepada Kompas.com beberapa waktu lalu di Kampung Pautola menceriterakan, atraksi “Sepa Api” dibuka dengan acara pertama, Ka Todo Mbue (makan nasi kacang tali) yang dimakan oleh empat Ana Susu, yakni Ana Susu, Geradus Guda, Ana Susu, Hipo Loa, Ana Susu, Nobertus Mado dan saya sendiri di depan rumah adat Suku Pau Toda. Yang melayani makan adalah keempat istri mereka.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Empat kepala suku menari sambil membawa parang dengan mengelilingi api unggun pada acara 'sepa api' di Kampung Pautola, Kecamatan Keo Tengah, Kabupaten Nagekeo, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.
Kedua, Pute Wutu (penari dari empat anak susu atau pelaku adat) yang secara turun temurun diwariskan leluhur di kampung tersebut dengan parang di tangan. Setelah makan nasi kacang tali, empat anak susu (Kepala Suku atau Kepala Adat) bersama dengan Nete Niro (dukun adat) menari di sekeliling Peo.
Peo adalah sebuah tiang yang dikeliling batu yang dibentuk dengan anak tangga. Peo adalah satu tiang bercabang yang ditancapkan di tengah kampung sebagai tanda memuji kehadiran Sang Agung. Setelah itu, bagian ketiga adalah Sara Fai (istri dari empat Ana Susu atau Kepala Suku) menari mengelilingi Peo.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Tarian Ndero dari Pautola, Kecamatan Keo Tengah, Kabupaten Nagekeo, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.
Setelah ketiga proses selesai dilaksanakan, bagian keempat adalah Ndera (Tandak atau tarian massal) yang melibatkan seluruh warga masyarakat dari beberapa kampung di sekitarnya. Selanjutnya, acara Daka Ana (tarian berkelompok-kelompok dengan syair adat berupa pantun atau saling berpantun).
Daka ana ini dilaksanakan kurang lebih selama satu jam dan dilanjutkan prosesi berikutnya yakni Jetu (tarian tandak atau massal) dengan syair berkaitan dengan hasil bumi, yang ditanam di kampung Pautola dan sekitarnya. Semua jenis tanaman holtikultura dan tanaman perdagangan disebutkan satu persatu sambil menyanyi.
Acara ketujuh adalah, Bele Wo (tarian berhadap-hadapan sambil ada syair dengan menari-nari di atas bara api sampai bara api itu padam dan tak terbekas lagi di tanah). Selanjutkan dalam tarian massal dinyanyikan Eo Eo ade tadi manu meo woe ua (syair-syair jenis berbagai tanaman yang harus disebut oleh anggota penari).
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Tarian injak bara api pada acara 'sepa api' di Kampung Pautola, Kecamatan Keo Tengah, Kabupaten Nagekeo, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.
Acara ke sembilan, Toto Madho Wado (menari secara massal seperti menai polnes). Acara kesepuluh adalah Wi Tuka Dako (menari-nari sama seperti menarik usus anjing). Acara kesebelas adalah Ka Fai Nggae (tua-tua adat atau empat ana susu makan nasi kacang). Acara keduabelas, Sepa Api atau tendang bara api dari tempurung kelapa. Sebelum menendang oleh anggota suku yang dikhususkan menendang bara itu, yakni Aloisius Aka. Dalam tarian massal yang berbentuk lingkaran menyanyikan lagu
Oa api Oa api. Selanjutnya bara api diatur dengan baik.