Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tradisi “Sepa Api” dari Nagekeo

Kompas.com - 27/10/2014, 09:53 WIB
Kontributor Manggarai, Markus Makur

Penulis

MBAY, KOMPAS.com - Sebagian dari tradisi unik di sembilan kabupaten di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) dilupakan dalam mempromosikannya. Berada di kampung terpencil dan pedalaman menjadi salah satu kendala dalam memperkenalkan tradisi yang masih dipertahankan hingga era teknologi di zaman global ini. Apalagi, atraksi budaya yang unik hanya disaksikan oleh warga masyarakat di kampung dan desa itu saja.

Salah satu satu tradisi yang tidak terpengaruh dengan budaya global yang ingar bingar adalah Tradisi “Sepa Api” dari Kampung Pau dan Toda di Kampung Pautola, Desa Pautola, Kecamatan Keo Tengah, Kabupaten Nagekeo, Pulau Flores, NTT. Dalam bahasa warga Keo Tengah, "sepa" diartikan tendang dan "api" diartikan api. Jadi “Sepa Api” adalah sebuah tradisi tendang bara api dari tempurung kelapa.

KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Bara api tempurung yang siap ditendang pada acara 'sepa api' di Kampung Pautola, Kecamatan Keo Tengah, Kabupaten Nagekeo, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.
Setiap tahun tradisi ini digelar untuk mempertahankan kelangsungannya bagi generasi demi generasi di Kampung Pautola dan sekitarnya. Apa uniknya tradisi ini? Tradisi ini memiliki kekhasan tersendiri di Pulau Flores di mana tradisi digelar dari pukul 18.00 sampai subuh dengan berbagai rangkaian acara yang tidak terlewati.

Ana Susu sekaligus Nete Niro (dukun adat) dan Kepala Suku Besar Suku Pautoada, Yosep Daga kepada Kompas.com beberapa waktu lalu di Kampung Pautola menceriterakan, atraksi “Sepa Api” dibuka dengan acara  pertama, Ka Todo Mbue (makan nasi kacang tali) yang dimakan oleh empat Ana Susu, yakni Ana Susu, Geradus Guda, Ana Susu, Hipo Loa, Ana Susu, Nobertus Mado dan saya sendiri di depan rumah adat Suku Pau Toda. Yang melayani makan adalah keempat istri mereka.

KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Empat kepala suku menari sambil membawa parang dengan mengelilingi api unggun pada acara 'sepa api' di Kampung Pautola, Kecamatan Keo Tengah, Kabupaten Nagekeo, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.
Kedua, Pute Wutu (penari dari empat anak susu atau pelaku adat) yang secara turun temurun diwariskan leluhur di kampung tersebut dengan parang di tangan. Setelah makan nasi kacang tali, empat anak susu (Kepala Suku atau Kepala Adat) bersama dengan Nete Niro (dukun adat) menari di sekeliling Peo.

Peo adalah sebuah tiang yang dikeliling batu yang dibentuk dengan anak tangga. Peo adalah satu tiang bercabang yang ditancapkan di tengah kampung sebagai tanda memuji kehadiran Sang Agung. Setelah itu, bagian ketiga adalah Sara Fai (istri dari empat Ana Susu atau Kepala Suku) menari mengelilingi Peo.

KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Tarian Ndero dari Pautola, Kecamatan Keo Tengah, Kabupaten Nagekeo, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.
Setelah ketiga proses selesai dilaksanakan, bagian keempat adalah Ndera (Tandak atau tarian massal) yang melibatkan seluruh warga masyarakat dari beberapa kampung di sekitarnya. Selanjutnya, acara Daka Ana (tarian berkelompok-kelompok dengan syair adat berupa pantun atau saling berpantun).

Daka ana ini dilaksanakan kurang lebih selama satu jam dan dilanjutkan prosesi berikutnya yakni Jetu (tarian tandak atau massal) dengan syair berkaitan dengan hasil bumi, yang ditanam di kampung Pautola dan sekitarnya. Semua jenis tanaman holtikultura dan tanaman perdagangan disebutkan satu persatu sambil menyanyi.

Acara ketujuh adalah, Bele Wo (tarian berhadap-hadapan sambil ada syair dengan menari-nari di atas bara api sampai bara api itu padam dan tak terbekas lagi di tanah). Selanjutkan dalam tarian massal dinyanyikan Eo Eo ade tadi manu meo woe ua (syair-syair jenis berbagai tanaman yang harus disebut oleh anggota penari).

KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Tarian injak bara api pada acara 'sepa api' di Kampung Pautola, Kecamatan Keo Tengah, Kabupaten Nagekeo, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.
Acara ke sembilan, Toto Madho Wado (menari secara massal seperti menai polnes). Acara kesepuluh adalah Wi Tuka Dako (menari-nari sama seperti menarik usus anjing). Acara kesebelas adalah Ka Fai Nggae (tua-tua adat atau empat ana susu makan nasi kacang). Acara keduabelas, Sepa Api atau tendang bara api dari tempurung kelapa. Sebelum menendang oleh anggota suku yang dikhususkan menendang bara itu, yakni Aloisius Aka. Dalam tarian massal yang berbentuk lingkaran menyanyikan lagu Oa api Oa api. Selanjutnya bara api diatur dengan baik.

Di tengah-tengah tarian itu, Aloisius Aka dijemput dari rumah adat Suku Toda untuk melaksanakan “Sepa Api”. Setelah ditendang bara api itu, warga yang terus melaksanakan tarian massal menginjak-injak bara api sampai tak berbekas. Selanjutnya, pada acara ketigabelas, Ka Todo Pale (makan umum di halaman kampung Pautola). Dan penutup dari rangkaian atraksi “Sepa Api” adalah Papa Todi yakni saling lempar antar warga Pau dan Toda secara massal dengan buah-buah seperti buah kelapa muda yang kecil, buah labu, buah pinang, buah enau dan buah-buah lainnya.

KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Saling lempar dengan kelapa muda di Kampung Pautola, Kecamatan Keo Tengah, Kabupaten Nagekeo, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.
Ana Susu, Geradus Guda, Hipo Loa dan Nobertus Mado menuturkan, atraksi-atraksi “Sepa api” yang terus digelar setiap tahun untuk mengisahkan perjuangan leluhur di kampung tersebut saat berperang. Dikisahkan ada seorang leluhur di kampung itu memiliki ilmu kebal (dukun yang tak terkalahkan) dengan berbagai cara. Kecuali dibakar dengan bara api yang terbuat dari tempurung kelapa. Dikisahkan seorang yang memiliki ilmu kebal itu dibakar oleh masyarakat akibat tindakan-tindakan yang mengganggu warga kampung. Dikisahkan, orang itu dibakar sampai tubuhnya hangus terbakar dan abunya diinjak-injak sampai tak berbekas.

“Kami harus melaksanakan tradisi secara turun temurun, dan apabila tak melaksanakan acara ini dalam setiap tahun maka leluhur akan menegur warga masyarakat dalam berbagai bentuk,” jelasnya.

KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Rumah adat Suku Pautola di Kecamatan Keo Tengah, Kabupaten Nagekeo, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur
Vinsensius Pitu, tokoh adat Kampung Pautola menjelaskan, tradisi ini melibatkan leluhur kampung Pautola yang sudah meninggal dunia, sebelum dimulai acara terlebih dahulu digelar acara memanggil leluhur. Tujuannya, agar atraksi ini tidak ada kecelakaan sebab dalam tarian massal, warga kampung menginjak-injak bara api unggun. Buktinya, setelah menginjak-injak bara api unggun, telapak kaki atau kaki warga yang ikut dalam tarian massal ini tidak mengalami luka.

Uniknya, lanjut Pitu, atraksi ini tidak ikuti oleh anak gadis dan anak laki-laki remaja. Apabila ada anak gadis kampung yang ikut maka anak gadis itu tidak memiliki keturunan jika tidak diobati oleh Nete Niro atau dukun adat yang diwariskan turun temurun. Dan di tengah-tengah halaman kampung, ada sebuah batu yang dilarang injak. Jika ada kaum perempuan injak batu itu maka apabila tidak diobati maka rambutnya rontok. Jika ada kaum perempuan menginjak batu yang berbentuk bulat itu, secepatnya menginformasikan kepada Nete Niro (dukun adat) untuk diobati.

“Kami berterima kasih kepada Pemkab Nagekeo di mana tradisi kami diliput media massa. Kami mengharapkan promosi melalui media massa dapat memperkenalkan tradisi ”Sepa Api” yang satu-satunya di NTT berada di Kampung Pautola. Kami mengharapkan ke depannya, pemimpin di NTT dapat menyaksikan atraksi unik ini,” katanya.

KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Kepala Suku Pautoda di Kecamatan Keo Tengah, Kabupaten Nagekeo, Pulau Flores, NTT.
Michael Mura, tokoh adat Tegu Toda, Kampung Pautola mengatakan, sejarah pertama bagi masyarakat Pautola di mana ritual “Sepa Api” dibuka secara resmi oleh Wakil Bupati Nagekeo, Paulus. Pemerintah Kabupaten Nagekeo sudah mulai memperhatikan budaya yang masih tersembunyi di kampung-kampung di Kabupaten Nagekeo.

“Kami akan terus mempromosikan tradisi ini bersama dengan Pemerintah Kabupaten Nagekeo berusia 7 tahun setelah mekar dari kabupaten induknya yakni Kabupaten Ngada. Ada untungnya sebuah daerah dimekarkan. Tradisi-tradisi unik dapat diperhatikan,” jelasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com