Pekerjaannya itu nyaris tidak berhenti karena Hasmuni juga menjual benang bermotif siap tenun untuk para petenun di Lombok Barat. Harganya berkisar Rp 75.000-Rp 100.000. ”Di sini ada 15 pembuat motif, termasuk saya. Dalam satu bulan, saya bisa membuat 200 motif,” ungkap Hasmuni.
Kondisi serupa terjadi di Desa Ungga, Praya Barat Daya, Lombok Tengah, yang dikenal sebagai salah satu sentra kain songket. Ani (34), pemilik art shop Aldi’s, mengatakan, setelah peristiwa bom Bali, industri tenun Lombok turut terpukul. Untungnya, tiga tahun terakhir, kondisi kembali stabil, bahkan terus membaik.
Ani berkisah, dua tahun lalu, Bali bahkan pernah memesan 1.000 lembar kain tenun rangrang kepada para perajin tenun Lombok. Itu sebabnya, di sejumlah sentra perajin tenun Lombok hingga kini banyak ditemukan produksi tenun rangrang.
Ani, yang sejak 12 tahun lalu menjalin kerja sama dengan sejumlah perajin, saat ini banyak menerima pesanan dari Bali dan Jakarta. ”Kalau ke Jakarta sekali kirim bisa sampai 50 lembar. Bulan lalu, saya kirim ke Thamrin City 40 lembar,” ujar Yani. Berbeda dengan kain tenun ikat, kain songket dijual Rp 700.000-Rp 1,5 juta per lembar, bergantung pada kerumitan motif.
Pasar lokal
Bukan hanya pasar di luar Lombok, pasar lokal tenun Lombok pun tidak kalah bergairah. Anjuran pemerintah provinsi terkait dengan penggunaan batik dan tenun bagi pegawai negeri sipil pada setiap Kamis juga sedikit banyak mendorong konsumsi tenun, termasuk tenun Lombok.
Potret antusiasme pasar lokal terhadap tenun Lombok dapat ditemui di sejumlah penjahit yang tersebar di seluruh Lombok. Selain modiste, bermunculan pula para desainer yang mengolah tenun Lombok menjadi produk berkualitas tinggi.
Selain baju, kain tenun baik ikat maupun songket juga diolah menjadi produk lain, seperti tas, dompet, dasi, dan perlengkapan dekorasi interior, seperti dilakukan Linda Hamidy Grander dan Maya Damayanti. Hanya saja, menurut Linda, masih dibutuhkan penyesuaian motif dan warna agar memenuhi kebutuhan dunia mode.
Supawati (38) dari Desa Pringgasela, Kecamatan Pringgasela, Lombok Timur, menuturkan, permintaan kain tenun selain digunakan untuk seragam juga dipakai untuk keperluan adat dan penggunaan sehari-hari, seperti sarung untuk shalat. Di Pringgasela, kain songket dibuat dengan motif lebih sederhana atau tidak terlalu dekoratif. ”Biasanya hanya motif horizontal dan vertikal saja seperti motif lambe,” kata Supawati.
Di Pringgasela, kain umbaq yang digunakan untuk ikat pinggang bersalin bermotif garis juga masih diproduksi. Bahkan, kain kafan warna-warni, kain capuatu yang digunakan untuk sarung bantal kursi, dan kain untuk selimut pun masih diproduksi.
Menurut Ketua Dekranasda Provinsi Nusa Tenggara Barat Erica Zainul Majdi, Dekranasda berupaya meningkatkan kualitas produk tenun melalui pembinaan para perajin.
Ini memang saat yang tepat bagi tenun Lombok yang tengah bergeliat untuk memilih berpacu mengejar waktu atau tergerus oleh waktu. (Khaerul Anwar)
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.