Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perang Tak Bermusuhan

Kompas.com - 06/11/2014, 12:50 WIB
RATUSAN pria memadati Jalan Raya Kapal di depan Pura Desa dan Pura Puseh Desa Adat Kapal, Kabupaten Badung, Bali, Selasa (14/10/2014). Mereka terbagi dalam dua kelompok besar, berhadapan di tengah jalan. Hari itu, dalam penanggalan Bali jatuh pada Anggara Umanis Landep, adalah hari penting untuk krama (warga) desa adat setempat.

Pada hari itu, warga Desa Adat Kapal menggelar siat tipat bantal di depan Pura Desa dan Pura Puseh Desa Adat Kapal. Tradisi siat tipat bantal atau Aci Rah Pengangon digelar setiap satu tahun sekali.

Siat berarti perang. Dalam peperangan itu, warga dibagi dua kelompok. Senjata yang digunakan dalam peperangan berupa tipat atau ketupat dan bantal atau penganan dari ketan yang dibungkus janur dan berbentuk lonjong.

Lalu lintas kendaraan dari arah Denpasar menuju Mengwi dan sebaliknya yang akan melintasi Jalan Raya Kapal dihentikan. Keriuhan warga di tengah jalan itu bertambah dengan suara gong yang ditabuh dan ceng-ceng yang dipukulkan. Sorak sorai warga yang menonton turut membakar semangat peserta perang ketupat dan bantal.

Peperangan yang berlangsung sekitar 40 menit itu cukup sengit, tetapi tidak ada permusuhan. Bahkan, seusai perang, semua warga desa yang terlibat siat tipat bantal saling menyalami. ”Tradisi ini bukan dilandasi permusuhan,” kata I Made Wartika, Petajuh (Wakil) Bendesa Desa Adat Kapal. ”Landasan filosofis tradisi ini adalah persembahan dan permohonan kepada Tuhan agar memberi kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh warga Desa Kapal,” tambah Wartika.

Kabupaten Badung adalah jantung pariwisata Bali. Badung memiliki tempat wisata yang mendunia, seperti Pantai Kuta di wilayah selatan. Badung dan Bali umumnya memiliki beragam tradisi unik dan menarik yang menjadi penambah daya tarik wisata. Tradisi itu berakar dari budaya yang tumbuh dan hidup sejak ribuan tahun silam. Siat tipat bantal termasuk di antaranya. Tradisi ini dijalankan warga Desa Adat Kapal, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, sejak abad ke-14 Masehi.

Atraksi ini bermula dari petunjuk gaib yang diterima Ki Kebo Iwa, patih kerajaan Bali, pada abad ke-14 Masehi. Ketika patih kerajaan Bali bersemedi di Kahyangan Purusada di Desa Kapal, Ki Kebo Iwa bertugas membuat persembahan Aci Rah Pengangon dengan sesajen berupa tipat dan bantal. Tujuannya agar paceklik di Bali segera berakhir dan masyarakat Bali memperoleh kemakmuran.

Ketupat menyimbolkan pradana, yang dalam tradisi Hindu di Bali mencerminkan unsur feminin. Sementara bantal menyimbolkan purusa atau unsur maskulin. Pertemuan kedua unsur itu, yakni purusa dan pradana, dipercaya memberikan kemakmuran dan menjaga kelangsungan hidup. Desa Kapal berada di jalur strategis pariwisata Bali. ”Jalan Raya Kapal adalah akses penting dalam perhubungan Denpasar, Badung, dan Tabanan,” kata Ardana, anggota DPRD Kabupaten Badung.

Bertahan

Warga Desa Adat Kapal tetap memegang teguh tradisi menghaturkan ketupat dan bantal dalam persembahyangan di pura. Bahkan, mereka juga tidak menjual ketupat dari janur selain sebagai persembahan. Tradisi ini hanya digelar pada bulan keempat dalam penanggalan Bali, yakni September dan Oktober, masa setelah musim panen.

Siat tipat bantal oleh krama Desa Adat Kapal mulai digelar pada siang hari. Sebelumnya, warga mengadakan persembahyangan di Pura Desa dan Pura Puseh Desa Adat Kapal. Jelang pelaksanaan siat tipat bantal dipentaskan pula fragmen tari yang menceritakan lahirnya tradisi unik itu.

Prosesi siat tipat bantal diawali dengan perang dua kelompok warga dari dua banjar berbeda di depan Bale Agung yang berada di jaba (halaman) Pura Desa dan Pura Puseh Desa Adat Kapal.

Semua peserta yang berperang di depan Bale Agung diharuskan membuka baju. Mereka bertelanjang dada dan hanya memakai kamen (kain) dan udeng (ikat kepala).

Setelah perang di depan Bale Agung dihentikan pengurus desa adat, perang serupa dilanjutkan di luar kompleks pura dengan peserta lebih banyak. Meskipun warga diimbau agar melemparkan ketupat dan bantal ke atas, peserta lain memilih menyambitkan ketupat dan bantal ke arah lawan.

Senjata yang dilemparkan itu hanya ketupat dan bantal yang lembek, tetapi tetap saja menimbulkan sakit. Namun, siat tipat bantal itu mencerminkan kehidupan budaya agraris warga Desa Kapal dan masyarakat Bali secara umum. Tradisi itu bentuk kearifan budaya leluhur yang bertahan sampai saat ini di tengah derasnya gempuran pembangunan.

Bendesa (Pemimpin Desa) Adat Kapal Anak Agung Gede Dharmayasa mengatakan, mereka membuat awig-awig (peraturan adat) yang mewajibkan setiap orang yang membeli lahan di wilayah Desa Adat Kapal menaati seluruh peraturan adat desa, termasuk turut memelihara pura kahyangan desa.

”Peraturan itu dibuat untuk menjaga keutuhan wilayah desa, terutama melindungi sawah dan lahan yang masih tersisa di wilayah Desa Adat Kapal,” ujar Dharmayasa.

Kearifan lokal masyarakat agraris di Bali masih hidup dan bertahan meski sawah banyak yang berkurang dan beralih fungsi. (Cokorda Yudistira)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com