Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Keberagaman Tebokan Jenang dan Joko Pring...

Kompas.com - 08/11/2014, 18:21 WIB
SYUKUR atas pangan dan rezeki melebur dalam kirab tebokan jenang di Desa Kaliputu, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, akhir Oktober lalu. Warna-warni jenang di atas tebokan, gunungan kecil, dan aneka bahan pembuat jenang berbaur dengan kegembiraan warga yang menyambut di tepi jalan.

Tak lupa tokoh cikal bakal jenang kudus, seperti Mbah Dempok Soponyono, cucu Mbah Dempok, Sunan Kudus, dan Syekh Jangkung atau Saridin, dihadirkan. Tokoh itu menjadi pengingat sejarah pangan lokal dan penghargaan atas keberagaman di Kudus.

Mbah Dempok Soponyono, Syekh Jangkung, dan cucu Mbah Dempok melatari lahirnya jenang kudus. Waktu itu, cucu Mbah Dempok mati suri gara-gara diganggu Banaspati, makhluk halus berambut api.

Untuk membangunkannya kembali, Syekh Jangkung meminta kaum ibu membuat jenang bubur gamping. Berkat jenang bubur gamping itulah cucu Mbah Dempok terbebas dari gangguan Banaspati.

Adapun Sunan Kudus adalah salah seorang dari wali sanga yang mengedepankan toleransi atas keberagaman masyarakat dan agama. Untuk menghormati pemeluk agama Hindu, Sunan Kudus melarang pengikutnya menyembelih sapi.

Kirab pengingat sejarah pangan dan keberagaman di Kudus itu berakhir di Pesarean Sedo Mukti. Di pemakaman itulah bupati Kudus tempo dulu dimakamkan. Di tempat itu pula Raden Mas Panji Sosrokartono (1877-1952) yang berjuluk sebagai Mandor Klungsu dan Joko Pring, kakak Raden Ajeng Kartini, dimakamkan.

”Melalui kirab itu, kami ingin bersyukur atas jenang yang menghidupi warga Desa Kaliputu. Melalui kirab itu pula, kami ingin terus melanggengkan keberagaman yang diserukan Sunan Kudus dan Sosrokartono,” kata penggerak Desa Wisata Jenang Kaliputu, Masduki.

Di Desa Kaliputu terdapat tak kurang dari 48 industri jenang skala besar dan kecil, antara lain bermerek Menara, Mubarok, Karomah, Rizona, Kenia, dan Murni. Setiap industri jenang di desa itu menyerap 15-50 tenaga kerja. Setidaknya ada sekitar 960 warga yang bekerja di sektor industri jenang dari total penduduk Desa Kaliputu sebanyak 2.094 orang.

Menurut Masduki, dahulu jenang tidak diperjualbelikan. Sejumlah warga membuat jenang untuk salah satu hidangan wajib setiap kali ada hajatan, terutama pernikahan dan khitanan.

Setelah banyak yang pesan, segelintir warga memberanikan diri memasarkannya di pasar. Waktu itu jenang dijual kiloan dalam bentuk potongan besar dan belum dikemas kecil-kecil.

”Seiring dengan perkembangan zaman, jenang mulai dijual sebagai jajanan anak-anak di sekolah dan kemudian sebagai oleh-oleh bagi para peziarah,” lanjut Masduki.

Ia menambahkan, agar pembeli jenang tidak bosan dengan rasa, bentuk, dan kemasan jenang, banyak perajin berinovasi dan berkreasi. Mereka, misalnya, membuat jenang berkulit coklat atau jenang rasa pandan, wijen, durian, dan stroberi dengan perpaduan aneka warna, terutama hijau dan merah.

”Kami juga mengemas jenang secara klasik dan modern, misalnya dengan anyaman daun pandan hutan, kertas, plastik, dan anyaman bambu. Itulah yang kami sebut sebagai keberagaman jenang kudus,” ungkapnya.

”Pring” tebokan

Masduki menambahkan pula, tempat jenang yang terbuat dari bambu, terutama tebokan, tetap dilestarikan. Tebokan merupakan wadah yang pertama kali digunakan warga untuk menjual jenang. Tak mengherankan jika warga Desa Kaliputu menyebut tradisi itu sebagai kirab tebokan jenang.

Hadi Priyanto, penulis buku Sosrokartono, De Javasche Prins, menyatakan, tidak banyak orang yang tahu bahwa pring atau bambu menjadi inspirasi hidup Sosrokartono. Salah satu filosofinya tentang bambu adalah susah padha susah, seneng padha seneng, eling padha eling, pring padha pring (susah sama susah, senang sama senang, ingat sama ingat, dan bambu sama bambu).

Bagi Sosrokartono, bambu merupakan pohon yang seluruh bagiannya dapat dimanfaatkan oleh siapa saja yang berkepentingan. Bambu bisa untuk membuat rumah, mulai dari tiang, atap, dinding, hingga pagar. Bambu juga bisa dibuat kursi, balai, sangkar, keranjang, dan tebokan.

Cikal bakal pohon bambu, yaitu bung (rebung) atau bambu muda, dapat dimanfaatkan untuk sayuran dan makanan. Bambu juga beragam jenisnya, antara lain bambu petung, ori, wuluh, dan apus. ”Artinya, apa pun jenis, warna, bentuk, dan pemanfaatannya, bambu tetap bambu. Tak ada perbedaan, semua sama. Sama seperti kita, manusia. Apa pun bangsa, agama, ras, warna kulit, bahasa, dan suku kita, kita tetap sama, sama-sama tahu, sama-sama manusia,” tutur Hadi.

Hadi mengatakan, dari filosofi bambu itu, Sosrokartono dikenal pula dengan sebutan Joko Pring. Tradisi tebokan jenang pun dimaknai lebih mendalam.... (HENDRIYO WIDI)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com