PACUL, arit, ani-ani, bahkan alat pertanian sebesar bajak pun dipajang di Warung Bakmi Jowo Mbah Gito, Yogyakarta. ”Artefak” budaya agraris itu menjadi pembeda warung Mbah Gito dengan penjaja bakmi jowo yang belakangan marak di Yogya dan sekitarnya.
”Alat pertanian seperti garu, luku, dan wadung yang terpasang itu yang menghidupi saya sejak kecil. Alat-alat itu dipasang sebagai pengingat akan jerih payah ayah saya dalam menghidupi keluarga,” kata Sugito (64) yang ayahnya adalah petani.
Suasana ndeso atau atmosfer pedesaan memang langsung terasa ketika kita masuk ke Warung Bakmi Jowo Mbah Gito di Jalan Nyi Ageng Nis, Depokan Lor, Peleman, Kelurahan Rejowinangun, Kecamatan Kotagede, Yogyakarta. Bentuknya seperti gubuk reyot, tapi bersih dan nyaman. Sekat antartempat makan pengunjung dipisahkan dengan kayu-kayu berukuran besar bekas kandang ternak.
Selain peranti pertanian, ada pula gong, kenthongan, kleningan sapi, sampai radio lawas. Sayup-sayup terdengar tembang-tembang campursari, atau uyon-uyon karawitan Jawa. Suasana pedesaan itulah yang menemani tamu menikmati bakmi jowo versi Mbah Gito.
Kami mencoba salah sau menu andalan, yaitu bakmi godhog atau mi rebus. Kita bisa memilih mi godhog nyemek atau berkuah minim, atau ukuran standar dengan kuah melimpah. Seperti bakmi jowo lainnya, bakmi godhog ala Mbah Gito juga menggunakan jenis mi basah. Mbah Gito menggunakan mi pesanan khusus dari Ketandan, Yogyakarta.
Mi dimasak dengan bumbu seperti bawang putih, kemiri, merica, dan udang. Di dalamnya ada kubis, irisan tomat, bawang goreng, telor bebek, dan suwiran daging ayam kampung. Untuk menu Bakmi Spesial, suwiran ayam disajikan dengan jumlah lebih banyak.
Cicipi juga mi gorengnya. Dengan campuran daun sawi dan orek-orek telur, rasa mi ini membawa kenangan pada jajanan masa lalu. Mi sebaiknya disantap ketika uap panasnya masih mengepul. Di situ ada rasa segar, gurih, bercampur pedas merica. Tak sedikit yang sering menambahkannya dengan gigitan cabe rawit sehingga mengeluarkan suara hah... hah.... Rasa panas di mulut langsung dinetralkan dengan seduhan teh poci kental dan gula batu.
Bakmi atau mi yang berasal dari Tiongkok, dalam pandangan Murdjiati Gardjito, Staf Ahli Pusat Kajian Makanan Tradisional Universitas Gadjah Mada, merupakan salah satu jenis makanan yang telah menjadi bagian dari budaya kuliner di Jawa. Mi, bihun, bahkan capcay (capjae dalam pelafalan Jawa ) disertakan dalam makanan untuk slametan atau selamatan. ”Ini hasil akulturasi kuliner China,” kata Murdjiati.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.