Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari Sawah Turun ke Bakmi

Kompas.com - 13/11/2014, 08:50 WIB
Oleh: Ferganata Indra Riatmoko

PACUL, arit, ani-ani, bahkan alat pertanian sebesar bajak pun dipajang di Warung Bakmi Jowo Mbah Gito, Yogyakarta. ”Artefak” budaya agraris itu menjadi pembeda warung Mbah Gito dengan penjaja bakmi jowo yang belakangan marak di Yogya dan sekitarnya.

”Alat pertanian seperti garu, luku, dan wadung yang terpasang itu yang menghidupi saya sejak kecil. Alat-alat itu dipasang sebagai pengingat akan jerih payah ayah saya dalam menghidupi keluarga,” kata Sugito (64) yang ayahnya adalah petani.

Suasana ndeso atau atmosfer pedesaan memang langsung terasa ketika kita masuk ke Warung Bakmi Jowo Mbah Gito di Jalan Nyi Ageng Nis, Depokan Lor, Peleman, Kelurahan Rejowinangun, Kecamatan Kotagede, Yogyakarta. Bentuknya seperti gubuk reyot, tapi bersih dan nyaman. Sekat antartempat makan pengunjung dipisahkan dengan kayu-kayu berukuran besar bekas kandang ternak.

Selain peranti pertanian, ada pula gong, kenthongan, kleningan sapi, sampai radio lawas. Sayup-sayup terdengar tembang-tembang campursari, atau uyon-uyon karawitan Jawa. Suasana pedesaan itulah yang menemani tamu menikmati bakmi jowo versi Mbah Gito.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO Sugito (64) dan Suminah (56), pemilik Warung Bakmi Jowo Mbah Gito, di Kotagede, Yogyakarta.
Papan tulis dengan tulisan aksara Jawa menyebut nama warung. Ditambah tulisan dalam huruf Latin berbahasa Jawa, Bikak siang ndalu yang artinya buka siang malam, dari pukul 09.00 sampai 23.00. Daftar menu juga ditulis dengan kapur di dalam papan tulis. Terbaca deretan menu seperti Bakmi Spesial, Bakmi Godhog/Goreng, dan Magelangan yang berupa mi campur nasi.

Kami mencoba salah sau menu andalan, yaitu bakmi godhog atau mi rebus. Kita bisa memilih mi godhog nyemek atau berkuah minim, atau ukuran standar dengan kuah melimpah. Seperti bakmi jowo lainnya, bakmi godhog ala Mbah Gito juga menggunakan jenis mi basah. Mbah Gito menggunakan mi pesanan khusus dari Ketandan, Yogyakarta.

Mi dimasak dengan bumbu seperti bawang putih, kemiri, merica, dan udang. Di dalamnya ada kubis, irisan tomat, bawang goreng, telor bebek, dan suwiran daging ayam kampung. Untuk menu Bakmi Spesial, suwiran ayam disajikan dengan jumlah lebih banyak.

Cicipi juga mi gorengnya. Dengan campuran daun sawi dan orek-orek telur, rasa mi ini membawa kenangan pada jajanan masa lalu. Mi sebaiknya disantap ketika uap panasnya masih mengepul. Di situ ada rasa segar, gurih, bercampur pedas merica. Tak sedikit yang sering menambahkannya dengan gigitan cabe rawit sehingga mengeluarkan suara hah... hah.... Rasa panas di mulut langsung dinetralkan dengan seduhan teh poci kental dan gula batu.

Bakmi atau mi yang berasal dari Tiongkok, dalam pandangan Murdjiati Gardjito, Staf Ahli Pusat Kajian Makanan Tradisional Universitas Gadjah Mada, merupakan salah satu jenis makanan yang telah menjadi bagian dari budaya kuliner di Jawa. Mi, bihun, bahkan capcay (capjae dalam pelafalan Jawa ) disertakan dalam makanan untuk slametan atau selamatan. ”Ini hasil akulturasi kuliner China,” kata Murdjiati.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO Suasana Warung Bakmi Jowo Mbah Gito di Kotagede, Yogyakarta.
Tentang bakmi godhog Murdjiati menduga hal itu merupakan kreativitas lokal untuk mencari kehangatan dan kesegaran, terutama saat udara dingin, seperti pada malam di musim hujan.

Mantap di bakmi

Sugito atau Mbah Gito membuka usaha Warung Bakmi Jowo Mbah Gito pada tahun 2008. Sebelum itu, selama 30 tahun Sugito berjualan hasil bumi di sejumlah kota di pesisir selatan Jawa Tengah dan Yogyakarta. Pada tahun pertama berdirinya warung tersebut, Sugito masih berbisnis hasil bumi. Alasannya, ia masih khawatir akan keberhasilan warungnya.

”Dua tahun pertama lumayan laku. Tapi pada tahun ketiga saya hampir saja memutuskan untuk tidak melanjutkan lagi usaha warung ini karena setiap hari tombok terus,” ujar Sugito.

Sugito kemudian memutuskan untuk tetap bertahan dengan mengubah strategi pemasaran. Ia pun kemudian menggencarkan promosi warungnya pada kenalannya di sejumlah instansi pemerintah. Usaha itu berhasil. Memasuki tahun keempat, warungnya kembali ramai pengunjung.

”Promosi warung bakmi harus agresif dan tidak bisa hanya menunggu pengunjung datang. Hal itu karena bakmi berbeda dengan soto yang bisa dimakan hampir setiap hari,” kata Sugito.

Promosi warung kini lebih mengandalkan sistem getok tular, alias dari mulut ke mulut.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO Wajah luar gaya pedesaan Bakmi Jowo Mbah Gito, di Kotagede, Yogyakarta.
Sugito mempelajari cara memasak bakmi bersama teman-temannya di tempat asalnya di Kecamatan Karangmojo, Gunung Kidul, DI Yogyakarta, sekitar tahun 1968. Ia pun pernah berdagang mi di kawasan Prawirotaman, Yogyakarta, dengan menggunakan lapak nonpermanen pada tahun 1976. Namun, waktu itu bisnis kuliner itu belum dijalani dengan serius karena Sugito juga punya bisnis jual beli hasil bumi.

Kini Sugito telah berketetapan hati di usaha kuliner bakmi jowo. Ia menyewa lahan seluas 700 meter yang disewanya selama 10 tahun. Ke depan, warung tersebut diupayakan menempati lahan milik sendiri yang lebih luas dan jauh dari permukiman sehingga acara karawitan yang digelar setiap akhir pekan tidak mengganggu lingkungan sekitar.

Makin mantaplah cara Sugito menyatukan selera lidah Jawa dengan lingkup sosio-kultural yang melahirkan bakmi jowo itu dalam satu atap bernama Warung Bakmi Jowo Mbah Gito. (MYR/XAR)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com