Imas (28) dan para pemetik teh di Kebun Teh Negara Kanaan, Ciwidey, Jawa Barat, tergolong orang-orang yang berbahagia karena bisa menikmati teh kualitas terbaik. Penghargaan mereka terhadap teh tak hanya diwujudkan dengan meminum sebanyak-banyaknya teh setiap hari.
Ketika dingin udara pegunungan Ciwidey, Jawa Barat, masih membekap pagi, Imas dan rekan-rekannya yang tinggal di bedeng karyawan pemetik teh sudah bersiap bekerja. Tak lupa memoleskan lipstik serta bedak, para perempuan ini berjalan beriringan dengan rekan pria sesama pemetik teh.
Lima tahun bekerja sebagai pemetik, Imas selalu berdandan sebelum bekerja. Di kebun, ia tak hanya menemukan pekerjaan, tapi berjumpa dengan pria pemetik teh yang kini menjadi suaminya. ”Sudah biasa dandan setiap hari. Enggak enak kalau kerja enggak dandan. Jadi senang dan semangat bekerja,” kata Imas yang terbiasa meminum hingga dua liter teh per hari.
Pemetik teh bekerja dari pukul 07.00 hingga pukul 14.00 di kebun yang jauh dari ingar-bingar kota. Mereka bekerja di bawah terik matahari dan tetap memetik teh ketika hujan lebat mengguyur bumi. ”Kalau musim hujan, tetap memetik teh. Di kebun sih rasanya hangat. Banyak berdiri. Kalau banyak minum teh, tidak sakit pinggang,” tambah Imas.
Mereka bekerja dalam satu kelompok yang terdiri dari 25 orang. Target produksi per bulan mencapai 36 ton untuk luasan 28 hektar. Suami istri atau kerabat dekat tak diperbolehkan bekerja dalam satu kelompok agar tidak mengganggu proses produksi ketika harus cuti. Dalam sehari, Imas bisa memetik 40-50 kilogram teh yang dihargai Rp 1.400 per kilogram.
Imas dan kawan-kawannya merupakan ujung tombak produksi teh. Proses produksi teh-terutama pada saat pemetikan-membutuhkan banyak tenaga kerja. Pekerja seperti Imas yang begitu menikmati persentuhan dengan teh kini sulit ditemui. Di banyak negara, termasuk Jepang, kendala minimnya tenaga kerja ini menjadi salah satu penyebab anjloknya produksi.
Titik cerah
Perkebunan teh di Indonesia menyerap 320.000 pekerja dan menyumbang devisa bersih 110 juta dollar AS per tahun. Namun, produksi nasional sebesar 140.000 ton terus turun sejak 2000. Rachmat Badruddin, Ketua Dewan Teh Indonesia, menyebut penyusutan kebun teh pada angka yang sangat mengkhawatirkan, 3.000 hektar per tahun.
Bandingkan dengan produksi teh Tiongkok yang mencapai 1,93 juta ton dan terus meningkat 8,4 persen setiap tahunnya dengan luasan areal teh mencapai 38,69 juta hektar di tahun 2013. ”Sejak sepuluh tahun terakhir, produksi teh terus meningkat,” kata Secretary General China Chamber of Tea, CFNA, Cai Jun.
Sempat menduduki peringkat lima sebagai produsen teh terbesar, posisi Indonesia kini melorot menjadi ketujuh. Penurunan produksi serta luasan terjadi karena biaya produksi tinggi, sedangkan harga jual rendah. Sebanyak 46 persen kebun teh dimiliki rakyat dengan kepemilikan hanya 0,7 hektar per petani, 25 persen swasta, dan sisanya dimiliki PT Perkebunan.
Saat ini, 60 persen produksi teh dilempar ke pasar ekspor. Namun, sebagian besar teh diekspor tanpa merek sehingga dibeli murah dengan harga 1.5-1.7 dollar AS per kg. Teh Indonesia semakin tak dikenal karena hanya digunakan sebagai bahan pencampur racikan teh. Harga jual teh di pasar lokal pun tak menggembirakan karena telanjur dicap murah.
Berupaya membangkitkan kejayaan teh, beberapa pabrik membuat terobosan dengan memproduksi hanya teh kualitas terbaik. Pemilik Perkebunan Teh Negara Kanaan, PT Kabepe Chakra, membuat inovasi dengan memproduksi teh khusus seperti white tea, grey dragon, serta teh hijau jepang seperti sencha, konacha, dan genmaicha sejak 2000.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.