Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tarian Legong Langka Dipentaskan di "Kemilau Legong"

Kompas.com - 28/11/2014, 17:03 WIB
Ni Luh Made Pertiwi F

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Tari klasik Legong asal Bali berpadu dengan seni video yang modern. Seperti apa jadinya? Hal itu akan terjawab di pertunjukan tari "Kemilau Legong" yang akan diadakan pada hari Minggu (30/11/2014) di Goethe Institut, Jalan Sam Ratulangi, Jakarta Pusat pukul 16.00 WIB.

Pertujukan tari ini dibawakan oleh Bengkel Tari AyuBulan di bawah bimbingan maestro tari Legong, Bulantrisna Djelantik. Pentas ini juga sekaligus menandai 20 tahun berdirinya Bengkel Tari AyuBulan, sebuah komunitas pecinta dan penari Legong.

"Ini untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap salah satu tari klasik Bali yaitu Legong. Legong sendiri adalah tari Bali yang berangkat dari ritual," ungkap Bulan yang tahun ini menginjak umur 67 dan masih aktif menari maupun mengajar, saat jumpa pers di Jakarta, Kamis (27/11/2014).

Seperti dijelaskan Bulan, Tari Legong merupakan seni pertunjukan yang tidak terikat upacara atau ritual tertentu, walaupun memang berawal dari ritual. Tari Legong banyak dipentaskan murni untuk seni pertunjukan. Berbeda dengan banyak tari klasik Bali yang umumnya ditarikan dalam rangka upacara keagamaan.

"Tari Legong diajarkan secara turun temurun selama 200 sampai 300 tahun lamanya," kata Bulan.

Pada pementasan "Kemilau Legong", beberapa jenis tarian tua Legong akan dihadirkan kembali. Tari-tarian ini tak dikenal luas di Bali dan amat langka dipentaskan di luar Bali.

Beberapa tarian yang nantinya akan ditampilkan antara lain Legong Kupu-kupu Carum yang melambangkan kehidupan singkat penuh manfaat dari seekor kupu-kupu. Kemudian Legong Kuntir yang merupakan cuplikan epos Ramayana mengenai kisah perkelahian dua ksatria monyet Subali dan Sugriwa. Lalu Legong Kuntul mengenai sekawanan burung kuntul.

Terakhir adalah Dramatari Legong Smaradahanan. Drama tari lebih memang tetap menampilkan tarian Legong, namun dikemas dalam sebuah drama. Dramatari ini merupakan gubahan Bulantrisna Djelantik.

Kisahnya tentang kedukaan di kahyangan ketika Dewa Siwa yang tengah bertapa dibangunkan secara terpaksa oleh anaknya, Dewa Semara. Dewa Semara diutus membangunkan Dewa Siwa karena para dewa membutuhkannya untuk mengusir kekuatan jahat yang menyusup masuk. Dalam kemurkaan, Dewa Siwa tak sengaja membakar Dewa Semara dan Dewi Ratih, istri Dewa Semara. Abu kedua sejoli ini turun ke bumi dan mengisi hati manusia dengan rasa cinta kasih.

Menurut Bulan, nantinya akan ada 20 penari yang pentas. Ia pun akan ikut naik panggung walau usianya sudah terbilang senja. Selain itu, selama pementasan juga akan dilengkapi seni visual berupa video art. Krisna Murti, seorang seniman video akan terlibat dalam pementasan ini.

"Tari Bali yang dipentaskan di masyarakat urban pasti dimaknai berbeda. Kami membantu penekanan di video sebagai latar," kata Krisna.

Misalnya ketika penari menari dalam posisi vertikal atau horisontal, layar menampilkan visual bulatan seolah bulan atau matahari. "Lalu ada efek visual seperti lahar," tuturnya.

Ia mengumpulkan video sampai ke Bali, misalnya ke Pantai Balangan untuk mendapatkan panorama laut. Video ini akan sinergi dengan cerita dan penampilan para penari. "Ketika beberapa hal tidak tercapai oleh tarian karena terbatas bahasa tubuh, bisa dilengkapi dengan video," kata Krisna.

Sementara itu, menurut salah satu penari, Putri Minangsari, pentas "Kemilau Legong" terbuka untuk masyarakat umum. Tiket dijual dengan harga Rp 150.000. Namun Putri mengaku saat ini daftar penonton sudah masuk daftar tunggu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com