Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tentukan Pilihanmu
0 hari menuju
Pemilu 2024
Kompas.com - 01/12/2014, 10:46 WIB
EditorI Made Asdhiana
DI tengah gejolak kenaikan bahan bakar minyak, inflasi, hingga distribusi barang, petani Jawa barat meneteskan air mata dan harapan. Esok mungkin lebih cerah bagi mereka.

Gerimis mulai berjatuhan saat Suhenda (37) dan puluhan warga Kampung Cikareumbi, Desa Cikidang, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, mulai melemparkan tomat pertama ke udara, tanda dimulainya Festival Perang Tomat, Rabu (19/11/2014) siang. Sasarannya sekelompok warga Cikareumbi lain berada 100 meter di hadapan Suhenda dan kawan-kawan.

Sebanyak 1 ton tomat yang disediakan untuk saling dilempar peserta. Dalam waktu sekitar setengah jam, tomat busuk akibat cuaca dan berlubang dimakan ulat itu berserakan di jalanan kampung selebar 3 meter.

Beberapa kali dihantam buah tomat, Suhenda tidak menghentikan serangannya. Tubuhnya dilindungi perisai dan helm seperti prajurit Romawi, yang terbuat dari anyaman bambu. Tomat lunak tidak membuat Suhenda kesakitan. Ia tertawa lepas meskipun kegetiran ada di baliknya.

”Semoga lemparan ini membuang semua kesialan. Meskipun harga tomat pasca panen Rp 3.000 per kilogram, cuaca dan ulat menghancurkan panen terakhir. Terlalu sering digarap dengan tanaman serupa, tanah mulai kehilangan kesuburan. Dari total 20 ton panen petani Cikareumbi, hanya setengahnya yang laku dijual kepada tengkulak,” kata Suhenda.

Di mata Mas Nanu Munajar Dahlan (54), penggagas acara perang tomat, bukan hanya dampak perubahan alam yang mengkhawatirkan petani. Dililit sejumlah utang kepada tengkulak dan lemahnya distribusi panen ikut membuat petani sulit sejahtera.

”Selain bersyukur atas panen, apa pun hasilnya, kami ingin semua pihak sadar dan paham, banyak masalah yang harus ditanggung petani sendirian sejak lama,” kata Dahlan.

Sumarna (84), petani asal Kampung Cikawari, Desa Wangunharja, Kecamatan Lembang, adalah salah satunya. Menjadi petani sejak 60 tahun lalu, kakek itu tidak pernah lepas dari jeratan tengkulak. Setiap menanam sayur, pinjaman kepada tengkulak menjadi andalannya.

Pada musim tanam kali ini, misalnya, kakek Sumarna harus mengembalikan pinjaman ditambah bunga sebesar Rp 5 juta. Padahal, saat panen ia hanya mendapatkan total Rp 5,2 juta. Sumarna hanya bisa gigit jari. Dalam waktu tiga bulan menanam, ia hanya menghasilkan Rp uang 200.000.

”Tidak ada yang dapat saya kumpulkan meskipun telah puluhan tahun menjadi petani. Kali ini hanya bisa berharap. Seperti tomat busuk yang hancur dilempar, saya ingin pemimpin baru memberi harapan. Semoga sektor pertanian lebih diperhatikan setelah harga bahan bakar minyak naik,” kata Sumarna.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rekomendasi untuk anda
27th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+