Demikian pula pengelolaan sawah tidak menggunakan pupuk kimia. ”Kami pakai daun mengkudu yang ditumbuk dan disebar sebagai pupuk. Bisa juga pakai kulit jeruk atau kotoran ayam,” kata Aldi. Warga juga dilarang menggunakan sarana transportasi apa pun. Mereka berjalan kaki ke mana-mana.
Aldi sudah 12 kali ke Jakarta. Semua perjalanan dilakukan dengan berjalan kaki. Padahal, perjalanan dari Baduy Dalam ke Jakarta membutuhkan waktu hingga tiga hari. ”Saya pernah ke salah satu kantor stasiun televisi. Lalu, kami ke Monas (Monumen Nasional). Tim stasiun televisi naik mobil, saya jalan kaki,” kata Aldi tertawa.
Pantangan menggunakan peralatan elektronik membuat permukiman Baduy Dalam terasa hening. Kampung lain yang dihuni Baduy Dalam adalah Cikeusik dan Cikartawana.
Semua warga Baduy Dalam pun mengenakan ikat kepala. ”Warnanya putih. Itu semacam tanda kesucian. Kalau sudah dewasa, ikat kepala harus dipakai. Saat mandi dan tidur saja dilepas,” ujar Sangsang (32), warga Baduy Dalam.
Sangsang menambahkan, warga Baduy Dalam tidak menjual beras yang mereka panen. Beras disimpan di lumbung padi (leuit) untuk mencukupi kebutuhan pangan secara mandiri. Strategi ketahanan pangan membuat Baduy Dalam selalu terhindar dari kelaparan.
Singgah di Baduy Dalam mengingatkan kami akan kearifan lokal yang diterapkan dalam keseharian nenek moyang berabad-abad. Baduy Dalam tetap terbebas dari polusi asap knalpot, kontaminasi bahan kimia, dan krisis pangan.
Rasanya belum puas berbincang-bincang dan mengamati kebajikan Baduy Dalam saat hari beranjak siang. Kami harus berkemas-kemas. Selain pengetahuan baru, kami tentu membawa buah tangan saat pulang. Beberapa warga mendatangi rumah tempat kami menginap.
Di teras bambu, mereka menjajakan tiga keranjang penuh kerajinan. Gantungan kunci, misalnya, dijual seharga Rp 5.000, kain tenun berukuran panjang 150 sentimeter dan lebar 20 sentimeter seharga Rp 50.000, dan tas anyaman serat kulit kayu seharga Rp 20.000. Selain itu, dijual pula madu yang diambil dari hutan sekitar.
Harga madu Rp 35.000 dalam botol dengan isi sekitar 350 mililiter. Setelah membeli oleh-oleh, kami kembali menyusuri hutan rimbun.
Setelah berjalan kaki empat jam, kami tiba di Terminal Ciboleger untuk naik minibus. Ciboleger berjarak sekitar 40 kilometer dari Rangkasbitung, ibu kota Lebak. Waktu tempuh dari Ciboleger ke Rangkasbitung sekitar dua jam. Sementara jarak Ciboleger dari Jakarta sekitar 130 kilometer dengan waktu tempuh empat jam. Pilihan lain adalah kereta api dari Stasiun Tanah Abang, Jakarta, ke Rangkasbitung, dilanjutkan dengan angkutan umum ke Ciboleger. (Dwi Bayu Radius)
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.